Selasa, 30 Desember 2008
Senin, 15 Desember 2008
Anthony Giddens
Anthony Giddens |
Oleh: Dr.I.Wibowo |
Bersamaan dengan itu Giddens pasti juga mengingat pembantaian orang Yahudi oleh Hitler pada tahun 1940-an di Jerman, pembantain petani oleh Stalin pada tahun-tahun yang sama di Rusia, lalu mungkin sekali pada pembunuhan di Kamboja di bawah Pol Pot. (Apakah dia akan memasukkan juga Indonesia sekitarnya pada waktu itu ada data yang sama mengerikannya?) Dunia zaman sekarang bagi Giddens memang dicengkeram oleh kekerasan. Akan tetapi yang lebih menggelisahkannya adalah bahwa "it's importance has never been adequately analysed within the major traditions of social theory." Ambisi Giddens-kalau boleh dikatakan demikian bukan hanya memperbaiki teori sosiologi sehubungan dengan gejala perang. Dalam wawancaranya dengan Pierson, ia mengatakan: " Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya institusi-institusi modern". Rupanya Giddens tidak hanya ingin mengkritik dan mengecam kegagalan teoretisi pendahulunya, tetapi ia juga ingin mengajukan alternatif. Bukan sembarang alternatif, melainkan sebuah alternatif yang bersifat paradigmatic shift. Harap dicatat bahwa proyek yang ambisius ini sebenarnya bukan cita-cita Giddens sejak muda. Cita-cita Anthony Giddens semula sederhana saja: menjadi pegawai negeri. Sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga pengawal jawatan kereta api, ia hanya dapat melanjutkan studi di Universitas Hull, sebuah universitas kecil yang kalah bergengsi dibandingkan Universitas Oxford atau Cambridge. Giddens sendiri memang tidak melamar ke sana karena tidak membayangkan dapat diterima di sana. Demikian pula ketika ia harus meluruskan studi lanjutannya di London School of Economics (LSE). Ia ke sana semata-mata karen adorongan dari dosennya, Peter Worsely. Perjalanan karir intelektualnya tidak pernah dirancang sejak muda, banyak hal-hal kebetulan yang terjadi. Ia mulai mengembangkan minat intelektual justru ketika ia di Leicester University, tempat kerjanya setelah lulus. Seorang sosiolog yang baru kemudian menjadi termasyhur, Norbert Elias, memberikan banyak inspirasi kepadanya. Giddens memulai proyeknya dengan cara yang biasa. Ia mulai dengan membaca dan mempelajari pemikiran tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam sosiologi, Karl Marx, Emili Durkheim, dan Max Weber. Semuanya dibaca dalam bahasa aslinya (Jerman atau Perancis). Hasilnya ia terbitkan sebagai buku, capitalism and Modern Social Theory. An analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (1971). Buku ini serta merta mendapat tanggapan hangat sebagaimana tampak pada komentar di kulit belakang buku. Setelah tokoh-tokoh sosiologi dikuasai, Giddens melanjutkan petualangannya dengan memasuki pemikir-pemikir besar kontemporer. Dua bukunya yang memuat inti pemikirannya, New Rules of Sociological Method (1976, revisi 1993) sulit diikuti kalau orang tidak terlebih dahulu akrab dengan pemikiran filsuf-filsuf besar: Wittgenstein, Husserl, Heidegger, Popper, Gadamer. Dengan lancar ia pergi bolak balik dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Dari dialog dengan sedemikian banyak teori, Giddens tiba pada "teori strukturisasi" (theory of structuration). Buku The Constitution of Society (1980) barangkali dapat dikatakan sebagai buku inti dari pemikiran Giddens yang menguraikan teori strukturisasi. Teori ini sebenarnya ingin menyelesaikan konflik besar dalam ilmu sosial yang terjadi sampai sekarang, yaitu konflik antara "struktur" dan "agenda." Contoh paling dekat adalah segala macam kerusuhan di Tanah air selama dua tahun terakhir ini. Mereka yang berpihak ke "struktur" segera mengatakan bahwa ketertiban dapat dipulihkan dengan memanggil agamawan. Para agamawan diharapkan dapat "menginsyafkan" rakyat akan nilai-nilai agama. Adapun mereka yang berpihak ke "agensi" akan mengatakan bahwa massa yang melihat bahwa cara kekerasan tidak dihuklum, akan terus memakai kekerasan untuk mencapai tujuannya. Di sisni ada perhitungan untung-rugi. Pada kenyataannya, setelah agamawan datang dan setelah aparat keamanan datang, ketertiban tidak kunjung datang juga. Menurut pendapat Giddens, "the Hobbesian problem of order" tidak mungkin dijelaskan oleh fungsionalisme Parson karena fungsionalisme dengan teorinya tentang "peran" malah akan terus menerus membenturkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Jadi, ketika Parson ingin menjelaskan tentang consensus, ia malah tak henti-hentinya melahirkan conflict. Teori strukturisasi ingin menyelesaikan dualisme "struktur" dan "agensi" selama-lamanya. Untuk memudahkan menerangkan teori ini, Giddens mengambil contoh bahasa. Dalam berbahasa , seorang penutur harus tahu dengan tepat tata-bahasa, bagaimana urutan subyek, predikat, obyek, bagaimana menggandengkan kata-kata, dan sebagainya. Inilah "struktur." Orang memang tidak mungkin keluar dari struktur ini, atau kalau dia nekat, tidak seorangpun dapat memahami apa yang di katakan. Akan tetapi "struktur" bukan hanya suatu hal yang "menghambat." Ia juga "memampukan," sebab setelah ia menguasai tata-bahasa ia dapat berkomunikasi lancar dengan lawan bicaranya. Demikian pula "masyarakat." Ketertiban dan keteraturan pada masyarakat bukan hasil dari sebuah kekuasaan yang melindas setiap pengacau (Hobbes) juga bukan karena tiap-tiap orang menjalankan peran dan fungsinya, lalu diikat oleh nilai-nilai (Parson). Giddens menekan peranan individu yang menjalani hidup sehari-hari, melewati aneka macam rutin. Mereka inilah yang-katakan-berjasa dalam memproduksi dan memproduksi masyarakat. Dalam rangka inilah Giddens memperkenalkan istilah yang berakar dalam Heidegger: ontological security". Juga masuk dalam pembahasan ini unsur time-space distanciation. Atas dasar teori strukturisasi ini Giddens dapat melanjutkan penjelajahannya ke wilayah lain, ke sosiologi substantif. Di sini Giddens mulai dengan mengadakan observasi atas keadaan dunia modern. Seperti telah disinggung di atas, pemakaian kekerasan (yang menjadi "perang") adalah salah satu ciri modernitas. Di samping itu masih ada tiga fenomen lain: masalah jurang kaya-miskin, masalah penghancuran lingkungan, dan masalah penindasan oleh negara. Orang tidak dapat memungkiri fakta bahwa ada sekelompok kecil orang yang memiliki kekayaan melimpah, dan sebagian besar lain yang bahkan tidak dapat menikmati kebutuhan dasar. Penghancuran lingkungan barangkali dapat dikaitkan dengan kemiskinan, tetapi hal ini oleh Giddens dilihat sebagai gejala terpisah. Hutan, gunung, sungai, danau, laut, bahkan udara dirusak oleh manusia. Sementara itu negara dengan intensif mengadakan "surveillance" (pengawasan) atas warganya dengan memakai segala macam formulir dan kartu. Di Indonesia hal ini paling jelas tampak dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP). * * * * * *
|
Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan Kepala Pusat Studi Cina, Jakarta |
Keterangan Artikel Sumber: Kompas Tanggal: 28 Jun 00 Catatan: - |
Kamis, 11 Desember 2008
Kajian Epistemologis
Pendahuluan
Epistemologi termasuk kajian yang penting. Telah terjadi perdebatan filosofis yang sengit mengenai pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat. Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilanya tidak ditetapkan, maka tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya (M. Baqir Ash Shadr: 1994, hal 25)). Oleh karena itu, segala hal tentang epistemologi perlu untuk dibahas dan diketahui. Louis O. Katsouf membentuk sembilan pertanyaan sebagai kerangka umum dalam memahami epistemologi. Sembilan pertanyaan tersebut adalah Apakah mengetahui itu? Apakah yang menentukan asal pengetahuan kita? Bagaimana cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Bagaimana cara kita membedakan pengetahuan dan pendapat? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu? Corak-corak pengetahuan yang ada? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah Kesalahan itu?
Makalah ini akan mencoba menjawab masalah-masalah tersebut.
Pengertian Epistemologi
Secara etimologi epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi berarti ilmu yang mengkaji segala sesuatu tentang pengetahuan. Pengetahuan adalah apa yang dikenal atau hasil pekerjaan tahu.
John Locke, filsuf yang amat berpengaruh setelah renaisans Eropa, menjadikan epistemologi sebagai pangkal tolak dan pusat diskusi filsafatnya. Ia menganggap keliru untuk membicarakan metafisika sebelum menyelesaikan teori pengetahuan. Ia memandang masalah-masalah epistemologi harus mendahului masalah-masalah lain (Gazalba: 1991, hal 13) Gazalba selanjutnya menulis bahwa pengetahuan terdiri dari kesatuan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Jadi pengetahuan di sini harus mempunyai obyek. Sementara itu sesuatu yang menjadi penentu munculnya pengetahuan dalam diri kita adalah kenyataan. Dengan demikian yang namanya pengetahuan adalah harus pasti. Maka menurut Louis O. Katsouf bahwa yang dimaksud dengan mempunyai pengetahuan berarti mempunyai kepastian bahwa apa yang kita nyatakan dalam pernyatan tersebut sungguh benar atau sungguh benar-benar halnya. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa seseorang dikatakan mempunyai pengtahuan jika memang dia benar-benar mempunyai kepastian terhadap realitas dan sudah masuk pada wilayah kesadarannya.
Pengetahuan tentu berbeda dengan pendapat. Kalau pengetahuan ukurannya adalah kepastian dan harus disadari, maka tentu saja pengetahuan membutuhkan penalaran. Karena dalam konteks ini pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera, ingatan atau angan-angan (Katsouf: 2003). Jadi di sini awal mula peristiwa atau kenyataan yang menjadi sumber pengetahuan tidak harus jelas atau pasti, tapi ketika itu sudah diolah menjadi sebuah pengetahuan maka statusnya harus pasti atau jelas. Sementara pendapat adalah hasil kesimpulan sementara atas peristiwa yang kita alami, baik dari penglihatan atau ingatan tertentu yang kita punyai. Bisa jadi apa yang dilihat oleh mata kita adalah sesuatu yang menipu kita.
Macam-macam pandangan tentang teori pengetahuan
Dalam ranah filsafat, dikenal banyak aliran filsafat yang mengemukakan pandangan yang beragam tentang teori pengetahuan. Yaitu:
Pertama, rasionalisme. Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan berasal dari rasio. Akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Artinya pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Bapak dalam aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan jargonnya “aku berpikir maka aku ada”. Ia menolak tradisi abad pertengahan yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah wahyu Ilahi (teosentrisme). Baginya, manusia dapat mencapai pengetahuan dengan rasionya, sekligus menjadikannya pusat penyelidikan.
Kedua, empirisme. Kata ini berasal dari kata Yunani Empirikos yang bersal dari kata empiria, artinya pengalaman. Aliran ini menganggap bahwa sumber dan berlakunya pengetahuan ialah aspek empiri dari pengalaman (Gazalba: 1991, hal 25) Tokoh-tokohnya banyak yang berasal dari daratan Inggris. Di antaranya adalah John Locke (1632-1704). Menurut Locke, akal hanyalah secarik kertas tanpa tulisan (tabula rasa) yang menerima hal-hal dari pengalaman. Satu-satunya obyek pengetahuan adalah gagasan yang timbul karena pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Maksud dari teori ini adalah bahwa ketika manusia lahir jiwanya sebenarnya kosong dan bersih, belum terisi oleh pengetahuan apapun. Lambat laun pengalamannya telah mengisi jiwanya yang kosong tersebut, kemudian seseorang tadi mempunyai pengetahuan. Manusia tidak membawa ide bawaan, sumber pengetahuan adalah pengamatan yang menghasilkan kesan-kesan (impression) yang diterima langsung dari pengalaman, dan ide-ide yang merefleksikan atau mengggambarkan kembali dari kesan-kesan itu (Ekky al Malaky: 2001, hal 30).
Ketiga, intuisionisme. Aliran ini menolak pengetahuan yang berdasarkan pemikiran, menganggap hakikatnya tidak teliti dan tidak sehat. Tokoh aliran ini adalah Henry Bergson (1859-1941). Menurut Bergson obyek-obyek yang kita respon itu adalah obyek yang selalu berubah. Sementara akal hanya bisa menangkap dan memahami secara penuh manakala ia mengkonsentrasikan dirinya pada obyek itu. Akal hanya mampu memahami bagian–bagian dari obyek, kemudian bagian-bagian itu digabungkan oleh akal. Itu tidak sama dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang obyek itu. Jelasnya apa yang ditangkap oleh indera maupun akal adalah pengetahuan yang diskursif. Pengetahuan diskursif ini, menurut Bergson, diperoleh melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakan pada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu. Jadi ini tergantung dari perspektif atau sudut pandang yang kita miliki. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengetahuan yang benar-benar menyeluruh dibutuhkan yang namanya intuisi (Katsouf: 2004, hal 141). Intuisi inilah yang bisa menghasilkan pengetahuan yang menyeluruh dan komprehensif. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Jadi pengetahuan yang diperoleh adalah langsung secara intuitif. Karena dengan pola yang demikian, maka pengetahuan yang diterima tidak berupa simbol-simbol atau pelukisan (Jujun S. Suriaswumantri: 2005, hal 53).
Keempat, positivisme. Dalam pandangan aliran ini, segala sesuatu harus dapat diverivikasi, harus jelas ukuran-ukuran yang logis dan rasional, dapat dibuktikan dan diuji secara ilmiah melalui observasi. Tokohnya adalah August Comte (1798-1857). Ia berpendapat bahwa indera memang amat penting untuk memperoleh pengetahuan tapi harus dipertajam dan dikuatkan dengan alat bantu melalui eksperimen (Ekky al Malaky: 2001, hal 31)
Kelima, skeptisisme. Skeptisisme adalah paham yang mengingkari akan adanya pengetahuan yang sesungguhnya tentang adanya pengetahuan. Menurut Gazalba, paham ini dapat menyelesaikan masalah-masalah teori pengetahuan dengan mengingkari masalah-masalah itu sendiri. Menurut aliran ini pada dasarnya tidak ada cara untuk mengetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Hal ini didasarkan pada dua unsur (1) kenisbian penginderaan; dan (2) adanya kesepakatan yang sesungguhnya mengenai apa yang merupakan halnya dan bukan halnya (Katsouf: 2004, hal 147).
Keenam, idealisme. Aliran ini menyatakan bahwa yang ada sebenarnya adalah ide-ide. Berkeley mengatakan bahwa hanya ide cita kita saja yang nyata. Dalilnya yang terkenal adalah “esse est percipi”, ada ialah ada dalam tanggapan. Yang kita ketahui hanyalah bagaimana suatu objek itu kita tanggap, bukan objek itu sendiri. Karena itu kita tidak mungkin mengetahui bagaimana objek menurut dirinya sendiri (Gazalba: 1991, hal 32-33).
Masalah Kebenaran
Apakah kebenaran itu? Menurut Sidi Gazalba, kebenran dalam filsafat adlah lawan dari kekhilafan, kekeliruan, atau khayalan. Kebenaran adalah soal hubnungan antara pengetahuan dan apa yang jadi objeknya, yaitu apabila terdapat perdsesuaian dalam hubungan antara objek dan pengetahuan kita tentang objek itu. Jadi konsep kebenaran epistemologi ini berkait erat dengan sebuah pernyataan. Kalau berbicara tentang pernyataan tentu berbicara juga tentang makna pernyataan itu. Makna pernyataan itu, menurut Katsouf, disebut dengan proposisi. Antara pernyataan dengan proposisi mempunyai perbedaan yang prinsipil, kalau pernyataan bersifat sintaksis sementara kalau proposisi bersifat semantik. Menurut Katsouf yang namanya kebenaran adalah bersifat semantik. Jadi kebenaran itu ada pada proposisi bukan pada sintaksis.
Kesimpulan
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang seluk beluk pengetahuan, mulai dari pengertian, asal-usul, metode sampai pada sahnya kebenaran pengetahuan itu sendiri. Terdapat banyak metode guna mencari pengetahuan. Di antaranya: empirisme, rasionalisme, intuisionisme, skeptisisme dan positivisme. Epistemologi sangat diperlukan karena dari situlah pengetahuan manusia berasal.
Daftar Pustaka:
Al Malaky, Ekky, 2001, Filsafat Untuk Semua, Jakarta: Lentera
Ash Shadr, M. Baqir, 1994, Falsafatuna, Bandung: Mizan
Gazalba, Sidi, 1991, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang
Katsouf, O. Louis, 2004, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Tafsir, Ahmad, 2005, Filsafat Umum; akal dan hati sejak Thales sampai Chapra,
Bandung: PT. Rosda Karya
Suriasumantri, S. Jujun, 2005, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Pemikiran Karl marx
A. Pendahuluan
Sejarah akan berbeda sekarang ini tanpa Karl Marx. Demikian salah satu kesimpulan Franz Magnis Suseno mengenai pemikiran Karl Marx.[1] Tidak mengherankan jika Michael Hart meletakkan Karl Max di tempat yang tinggi dalam susunan Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam sejarah. Pada masa jayanya, jumlah manusia yang sedikitnya terpengaruh oleh Marxisme mendekati angka 1,3 milyar. Jumlah penganut ini lebih besar dari jumlah penganut ideologi mana pun sepanjang sejarah manusia.[2]
Pengaruh pemikiran Karl Marx tidak bisa diragukan lagi dalam sejarah perjalanan dunia ini. Marx tidak hanya merangsang perubahan cara berpikir, akan tetapi juga mengubah cara manusia bertindak. Seperti dikatakan Marx sendiri, “Para filosof hanya menginterpretasikan dunia dalam berbagai cara; masalahnya adalah bagaimana mengubah dunia.” Hal inilah yang kemudian membedakan Marx dari filosof lain, misalnya, Auguste Comte atau Martin Heidegger, bahkan David Hume yang hanya sanggup mengubah cara manusia berfikir. Meskipun tidak bisa dipungkiri juga bahwa perubahan pemikiran ini berdampak pada kehidupan masyarakat luas, namun efeknya tidak sebesar Karl Marx. Filsafat Marx lebih diletakkan untuk mengubah dunia. Bahkan sebagai ideologi, “Marxisme” menyemangati sebagian besar gerakan buruh sejak akhir abad ke-19 dan dalam abad ke-20 yang mendasari kebanyakan gerakan pembebasan sosial.[3]
Makalah ini mula-mula akan mengemukakan tentang latar belakang hidup Marx, kemudian perjalanan intelektualnya sebagai penerus Hegel dan pembaruan serta pengkayaan terhadap pemikiran gurunya tersebut. Bagian mengenai Marxisme akan disinggung sesudah pembahasan tentang perkembangan intelektual Marx.
B. Biografi Karl Marx
Karl Marx, lahir di bulan Mei 1818 di Trier, Jerman. Ayahnya seorang pengacara yang beberapa tahun sebelumnya pindah agama Yahudi menjadi Kristen Protestan. Perpindahan agama ayahnya yang begitu mudah diduga merupakan alasan mengapa Karl Marx tidak pernah tertarik dengan Agama. Ayahnya mengharapkan Marx menjadi notaris sebagaimana ayahnya. Karl Marx sendiri lebih menyukai untuk menjadi Penyair daripada seorang ahli hukum. Hukum merupakan ilmu yang digemari pada saat itu. etengah semester ia bertahan, dan melompat ke Universitas Berlin, fokus pada filsafat. Masih semester dua, Marx sudah masuk kelompok diskusi paling ditakuti di kampus itu, Klub Para Doktor, dan menjadi anggota yang paling radikal. Kelompok ini selalu memakai Filsafat Hegel untuk menyerang kekolotan Prussia. Tak heran, klub ini pun digelari “Kaum Hegelian Muda”. Namun karena mereka juga menentang agama Protestan, klub ini digolongkan menjadi Hegelian Kiri, lawan Hegelian Kanan, yang menafsirkan Hegel sebagai teolog Protestan.
Pada tahun 1841, Marx dipromosikan menjadi doktor dengan disertasi “The Difference between The Natural Philosophy of Democritus and Epicurus”. Kertas kerja dan pengantar disertasi ini secara jelas menunjukkan Marx sangat Hegelian, dan antiagama. Hal terakhir ini juga yang membuat Marx dicap sesat, dan mulai dijauhi rekan-rekannya. Marx tumbuh di tengah pergolakan politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para Borjuis yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal dan membawa perubahan hubungan sosial. Meskipun ia memperjuangkan kelas orang-orang tertindas sebagai referensi empiris dalam mengembangkan teori filsafatnya.[4]
Selama hampir setahun ia menjadi pimpinan redaksi sebuah harian radikal 1843, sesudah harian itu dilarang oleh pemerintah Prussia, ia kawin dengan Jenny Von Westphalen, putri seorang bangsawan, dan pindah ke Paris. Di sana ia tidak hanya berkenalan dengan Friedrich Engels (1820-1895) yang akan menjadi teman akrab dan “penerjemah” teori-teorinya melainkan juga dengan tokoh-tokoh sosialis Perancis. Dari seorang liberal radikal ia menjadi seorang sosialis. Beberapa tulisan penting berasal waktu 1845, atas permintaan pemerintah Prussia, ia diusir oleh pemerintah Perancis dan pindah ke Brussel di Belgia. Dalam tahun-tahun ini ia mengembangkan teorinya yang definitif. Ia dan Engels terlibat dalam macam-macam kegiatan kelompok-kelompok sosialis. Bersama dengan Engels ia menulis Manifesto Komunis yang terbit bulan Januari 1848. Sebelum kemudian pecahlah apa yang disebut revolusi’48, semula di Perancis, kemudian juga di Prussia dan Austria. Marx kembali ke Jerman secara ilegal. Tetapi revolusi itu akhirnya gagal. Karena diusir dari Belgia, Marx akhirnya pindah ke London dimana ia akan menetap untuk sisa hidupnya.
Di London mulai tahap baru dalam hidup Marx. Aksi-aksi praktis dan revolusioner ditinggalkan dan perhatian dipusatkannya pada pekerjaan teroritis, terutama pada studi ilmu ekonomi. Tahun-tahun itu merupakan tahun-tahun paling gelap dalam kehidupannya. Ia tidak mempunyai sumber pendapatan yang tetap dan hidup dari kiriman uang sewaktu-waktu dari Engels. Keluarganya miskin dan sering kelaparan. Karena sikapnya yang sombong dan otoriter, hampir semua bekas kawan terasing daripadanya. Akhirnya, baru 1867, terbit jilid pertama Das Kapital, karya utama Marx yang memuat kritiknya terhadap kapitalisme (jilid kedua dan ketiga baru diterbitkan oleh Engels sesudah Marx meninggal). Tahun-tahun terakhir hidupnya amat sepi dan tahun 1883 ia meninggal dunia.[5]
C. Hegel dan Marx: Awal Perjalanan Intelektual
Setidaknya filsafat Hegel mengandung hal yang bernilai seperti: teori tentang gerak yang abadi, perkembangan dari jiwa yang universal, dan terutama metode dialektika.[6] Hal yang disebut terakhir inilah yang akan dijelaskan lebih lanjut. Dialektika berarti sesuatu itu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh hubungannya. Dialektika bisa juga dirumuskan sebagai teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan. Contoh yang tepat untuk menjelaskan dialektika adalah dialog. Dalam setiap dialog, terdapat sebuah tesis, yang kemudian melahirkan anti-tesis, dan selanjutnya muncul sintesis. Proses demikian berulang terus menerus.[7]
Hegel menyatakan bahwa hukum dialektika ini memimpin perkembangan jiwa. Dunia menurut Hegel berada dalam proses perkembangan.[8] Namun ia tidak menerapkan hukum ini lebih jauh lagi kepada alam dan masyarakat. Hegel adalah seorang idealis. Menurut Hegel, esensi kenyataan bukanlah benda materiil, melainkan jiwa. Idealisme berpandangan metafisika bahwa realitas yang utama adalah ide atau gagasan.[9]
Dari pandangan Hegel tentang dialektika, Marx kemudian menyusun kembali, membangun bangunan pemikiran yang lebih baik dari gurunya tersebut. Marx tidak puas terhadap dialektika Hegel yang berpusat pada ide/roh. Hal ini bagi Marx terlalu abstrak dan tidak menyentuh realitas konkret. Pengertian ini tidak sesuai dengan tesis Karl Marx bahwa filsafat harus mengubah cara orang bertindak. Dalam pandangannya, filsafat tidak boleh statis, tetapi harus aktif membuat perubahan-perubahan karena yang terpenting adalah perbuatan dan materi, bukan ide-ide. Manusia selalu terkait dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan yang melahirkan sejarah. Marx membalik dialektika ide Hegel menjadi dialetika materi. Apabila Hegel menyatakan bahwa kesadaranlah yang menentukan realitas, maka Marx mendekonstruksinya dengan mengatakan bahwa praksis materiallah yang menentukan kesadaran.[10]
Materialisme adalah teori yang menyatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan melalui hukum yang mengatur materi dan gerak. Meterialisme berpendapat bahwa semua kejadian dan kondisi adalah sebab akibat lazim dari kejadian-kejadian dan kondisi-kondisi sebelumnya. Dengan demikian, materialisme selalu memberikan penekanan bahwa materi merupakan ukuran segalanya, melalui paradigma materi ini segala sesuatu dapat diterangkan.[11]
Materialisme dialektis memiliki asumsi dasar bahwa benda merupakan suatu kenyataan pokok, bahwa kenyataan itu benar-benar objektif, tidak semata berada dalam kesadaran manusia. Konsekuensi logisnya adalah pengetahuan realitas secara otomatis menjadi tidak bisa dipisahkan dengan kesadaran manusia. Bahkan materialisme mengakui bahwa kenyataan berada di luar persepsi kita tentangnya, sehingga kenyataan obyektif adalah penentu terakhir terhadap ide.[12]
Pembalikan Marx dari idealisme Hegel ke materialisme memang tidak berarti ia meninggalkan dialektika Hegel. Materialisme Marx adalah materialisme dialektis yang meyakini kebudayaan akan mengalami kemajuan. Jika dalam Hegel adalah realisasai total roh absolut, maka dalam Marx kemajuan kualitatif tersebut berupa masyarakat tanpa kelas (masyarakat yang tidak lagi didominasi materi).[13] Visi Marx untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas merupakan gambaran praksis dari ide dasar materialisme sosialisnya. Sistem feodal yang tergantikan oleh sistem kapitalis telah membawa perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial. Marx yakin suatu saat, kapitalisme akan menemui kehancuran dan melahirkan sintesis, komunis sebagai ideologi kekuatan baru, masyarakat tanpa kelas.[14]
D. Marxisme
Marxisme berawal dari tulisan-tulisan Karl Marx. Dalam arti luas, Marxisme berarti paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Pandangan-pandangan ini mencakup ajaran Marx mengenai materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya dalam kehidupan sosial.[15] Marxisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19, dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas bahwa/kelas buruh. Menurut analisa Marx, kondisi-kondisi dan kemungkinan-kemungkinan teknis sudah berkembang dan merubah proses produksi industrial, tetapi struktur organisasi proses produksi dan struktur masyarakat masih bertahan pada tingkat lama yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas atas. Jadi, banyak orang yang dibutuhkan untuk bekerja, tetapi hanya sedikit yang mengemudikan proses produksi dan mendapat keuntungan. Karena maksud kerja manusia yang sebenarnya adalah menguasai alam sendiri dan merealisasikan cita-cita dirinya sendiri, sehingga terjadi keterasingan manusia dari harkatnya dan dari buah/hasil kerjanya. Karena keterasingan manusia dari hasi kerjanya terjadi dalam jumlah besar (kerja massa) dan global, pemecahannya harus juga bersifat kolektif dan global.
Berbeda dengan model-model sosialisme lama, Marxisme menyatakan dirinya sebagai “sosialisme ilmiah”. Untuk mendukung klaim tersebut, Marx mendasarkan pada penelitian syarat-syarat objektif perkembangan masyarakat. Marx menolak pendasaran sosialisme pda pertimbangan-pertimbangan moral. Materialisme sejarah merupakan dasar bagi sosialisme ilmiah tersebut. Marx yakin bahwa ia telah menemukan hukum objektif perkembangan sejarah. Objek pencarian materialisme historis adalah hukum-hukum gerakan dan perkembangan masyarakat insani yang paling universal. Marx menciptakan suatu pemahaman sejarah menjadi seperti sains yang pasti dan eksak. Karena hal itulah Marx menyatakan bahwa sosialismenya bersifat ilmiah karena berdasarkan pada pengetahuan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat.[16]
Marxisme pada hakekatnya bukanlah merupakan suatu penafsiran terhadap perubahan proses-proses dalam masyarakat, akan tetapi merupakan sebuah terori yang menyatakan bahwa hukum objektif perkembangan masyarakat dapat ditetapkan sama seperti halnya penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga bisa bersifat pasti dan universal. Dengan mengajukan sosialisme ilmiah sebagai penerapan hukum dasar alam pada masyarakat, teori Marx seakan-akan dibenarkan oleh ilmu-ilmu alam, karena memiliki objektivitas seperti ilmu-ilmu alam.[17]
E. Kesimpulan dan Kritik
Filsafat Karl Marx meruapak salah satu filsafat yang palling berpengaruh di dalam perkembangan sejarah. Kemampuan gagasan Marx untuk berdialektika dengan zaman, menjadikannya pemikir yang tidak pernah sepi dari kritikan dan pujian atasnya. Namun, apapun tanggapan dunia terhadapnya, kehadirannya telah menggerakkan kesadaran kelompok buruh, budak dan aktivis sosialis untuk mengorganisir diri dan berjuang mewujudkan perubahan.
Pendapat Karl Marx tentang tujuan akhir berupa masyarakat tanpa kelas sebenarnya merupakan suatu yang paradoks dengan konsep dialektis itu sendiri. Dialektisisme merupakan sebuah proses yang terus menerus sehingga tidak akan tercipta kemandegan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mungkin masyarakat tanpa kelas akan terwujud? Bukankah dalam proses bermasyarakat tetap harus ada pembagian kerja? Teori masyarakat tanpa kelas Marx memang semacam utopisme yang penuh paradoks dalam teori-teorinya. Pandangan Marx tentang sejarah yang saintifik telah mereduksi kemanusian. Mansia hanya menjadi korban dari barang-barang produksi dan tidak lagi memiliki independensi.
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral, 2006, Percik Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra
Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia
Hart, Michael H., 1992, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, terj.
Mahbub Djunaedi, Jakarta: Pustaka Jaya
Rius, 2000, Marx Untuk pemula, Yogyakarta: Insist
Santoso, Listiyono, dkk., 2007, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruz Media
Sumber http://rumahputih.net . Diakses pada 20 Oktober 2008
Suseno, Franz Magnis, 2001, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke
Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia
[1] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. xi
[2] Michael H. Hart, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992) hlm. 86-7
[3] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. xi
[4] Sumber http://rumahputih.net . Diakses pada 20 Oktober 2008
[5] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. 46-9
[6] Rius, Marx Untuk pemula, (Yogyakarta: Insist, 2000) hlm. 70
[7] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. 61-62
[8] Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007) hlm. 40
[9] Rius, Marx Untuk pemula, (Yogyakarta: Insist, 2000) hlm. 70-1
[10] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006) hlm. 47
[11] Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007) hlm. 39-40
[12] Ibid, 43
[13] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006) hlm, 189
[14] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. 161-2
[15] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000) hlm. 575
[16] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. 136-7
[17] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia, 2001) hlm. 218-9
Selasa, 09 Desember 2008
einstein sang jenius
- Pre-script note:
Halaman ini merupakan sub-bagian dari
Sedikit Tentang Mekanika Kuantum dan Filosofinya (4b/5)
Informasi terkait topik ini:
Albert Einstein, dilahirkan pada 14 Maret 1879, bisa dibilang sebagai fisikawan terbesar abad ke-20. Pada usia 26 tahun, ia mempublikasikan empat karya besar yang hingga kini diakui sebagai masterpiece dunia fisika: (1) Teori Relativitas Khusus, (2) Kesetaraan Massa-Energi (E = mc2), (3) Efek Fotolistrik, dan (4) Analisis Gerak Brown. Ketenarannya sebagai jenius dimahkotai oleh penemuan Teori Relativitas Umum di tahun 1915; teori yang — oleh beberapa kalangan — dianggap sebagai “pencapaian kreatif terbesar manusia sepanjang sejarah”.[10]
Albert Einstein (1879-1955)
Sebelum menilik filsafat Einstein, baiklah jika kita meninjau bagaimana sejarah hidupnya lebih dulu.
Tak berbeda dengan Werner Heisenberg, Einstein tumbuh sebagai fisikawan dengan latar belakang matematika yang kuat. Sejak usia belia ia sudah mempelajari prinsip dasar aljabar. Adalah pamannya, Jakob Einstein, yang memperkenalkannya pada dunia hitung-menghitung.
Didikan matematika sejak belia ini membuat Einstein sangat terpaku, sekaligus terampil, dalam menyelesaikan persamaan aljabar. Ini menuju pada rasa suka yang berlebihan: pada akhirnya, kemampuannya di bidang non-eksakta menjadi detrimental. Jika Heisenberg nyaris gagal mempertahankan disertasi gara-gara interferometer, maka Einstein lain lagi: ia hampir ditolak masuk Politeknik Zurich karena nilai bahasa dan biologi yang rendah.[11]
Untungnya sang rektor berbaik hati. Mengingat nilai fisika dan matematika yang tinggi, Einstein diizinkan masuk dengan catatan. Jika ia bersedia mengulang setahun sekolah menengah di Swiss, maka ia akan diterima di Zurich tahun ajaran berikutnya.[12]
ed. note
Saya membayangkan, jika Dewi Fortuna benar ada, mungkin tipe favoritnya adalah pria jenius. Heisenberg dan Einstein kelihatannya pernah ketiban cinta.
Kesukaan Einstein terhadap matematika mengantarkannya pada sudut pandang yang mirip dengan Heisenberg. Keduanya sama-sama percaya bahwa alam semesta dapat, dan seharusnya bisa, dipetakan menggunakan ilmu matematika. Meskipun demikian terdapat perbedaan mendasar:
Heisenberg memandang kenyataan fisika sebagai sekumpulan ide (“in favor of Plato”). Sebagaimana telah kita bahas, ini membuatnya jadi seorang idealis. Einstein berbeda: ia menganggap matematika semata sebagai sarana mennjelaskan konsep dan hubungan. Ini membuatnya terkesan condong pada instrumentalisme, sebagaimana akan saya kutipkan berikut ini.
Our experience hitherto justifies us in trusting that nature is the realization of the simplest that is mathematically conceivable. I am convinced that purely mathematical construction enables us to find those concepts and those lawlike connections between them that provide the key to the understanding of natural phenomena.
~ Albert Einstein, 1933[13]
Tapi, apakah matematika saja cukup untuk melambangkan kenyataan? Menurut Einstein, tidak. Di sinilah ia berbeda pendapat dengan Heisenberg.
How can it be that mathematics, being after all a product of human thought which is independent of experience, is so admirably appropriate to the objects of reality? Is human reason, then, without experience, merely by taking thought, able to fathom the properties of real things?
In my opinion the answer to this question is briefly this: As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain; and as far as they are certain, they do not refer to reality.
~ Albert Einstein, 1921[14]
Dalam kutipan di atas, Einstein menarik garis tegas antara formalisme matematika dan kenyataan yang sebenarnya. Matematika murni bisa membantu menjelaskan kenyataan. Tetapi, untuk menjelaskan kenyataan yang sebenarnya, tidak. Di sinilah ia mengkritik idealisme a la Heisenberg.
Bagaimana bisa konsepsi manusia, yang independen dari pengalaman sehari-hari, diandalkan untuk menjelaskan kenyataan obyektif? Einstein mengindikasikan: harus ada suatu ‘perkenalan’ dengan dunia. Bagaimana berkenalan dengan dunia? Tak lain melalui “pengalaman” (experience). Hanya dengan bantuan pengalaman, matematika bisa berguna dalam menjelaskan kenyataan (dalam konteks ini: hukum fisika).
Experience naturally remains the sole criterion of the usefulness of a mathematical construction for physics. But the actual creative principle lies in mathematics. Thus, in a certain sense, I take it to be true that pure thought can grasp the real, as the ancients had dreamed.
~ Albert Einstein, 1933[13]
Di sini kita melihat bahwa Einstein tidak tergiring mendewakan matematika sebagai kebenaran mutlak. Matematika berperan sebagai daya kreatif. Tetapi, bisakah daya kreatif itu tepat dalam menggambarkan “dunia”? Belum tentu.
Menurut Einstein, di sini kita harus memperhitungkan “pengalaman” (baca: hasil percobaan dalam fisika). Hasil percobaan akan memberitahu apakah model matematika kita sudah tepat. Jika sudah tepat, maka bisa dipertahankan — tetapi, jika terbukti salah, maka matematika tersebut harus diganti.
ed. note
Ibaratnya, di era klasik model matematika Newton terasa benar. Meskipun demikian, percobaan di masa kini membuktikan gejala yang memfalsifikasinya (e.g. pembelokan cahaya oleh gravitasi).
“Pengalaman” bahwa cahaya berbelok oleh gravitasi menunjukkan derajat kebenaran matematika Newton, sebagaimana dijelaskan oleh Einstein di atas. Berangkat dari sini kita membutuhkan matematika baru yang lebih canggih — yakni Relativitas Umum. ^^
Einstein menolak QM: Falsafah Realisme
Sebagai ilmuwan, Einstein memiliki semangat yang kuat untuk berpijak pada realitas. Dalam berbagai karyanya, semangat ini mewujud pada keterlibatan prinsip geometri (ia tidak menyukai formalisme abstrak model mekanika matriks). Ia adalah fisikawan modern berhaluan realis, sebagaimana Erwin Schrödinger.
Tak pelak, sebagai seorang realis, Einstein merasa pendekatan keidean yang subyektif tidak cocok untuk memahami alam. Ia percaya alam semesta bersifat terpisah dan tidak-tergantung pengamat.[13]
Perhatikan bedanya dengan idealisme subyektif Heisenberg!
*) Hal ini tidak bertentangan dengan Teori Relativitas. Untuk penjelasan lebih lanjut, silakan baca: komentar saya yang ini.
Kita bisa melihat bahwa Einstein dan Heisenberg bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya sama-sama diberkahi dengan kemampuan matematika cemerlang dan intuisi yang kuat. Meskipun demikian, haluan filsafat mereka bertolak belakang: Heisenberg adalah seorang idealis-subyektif, sementara Einstein adalah realis-obyektif.
I think that a particle must have a separate reality independent of the measurements. That is an electron has spin, location and so forth even when it is not being measured. I like to think that the moon is there even if I am not looking at it.”
~ Albert Einstein[15]
Pandangan ini kemudian membuatnya berselisih paham dengan Bohr dan Heisenberg mengenai QM, terutama Tafsiran Kopenhagen. Terhadap QM sendiri Einstein mempunyai keberatan sebagai berikut:
- Sifat probabilistik QM menunjukkan bahwa teori ini belum sempurna
- Asas Ketidakpastian Heisenberg tidak berlaku mutlak, melainkan terdapat satu-dua pengecualian yang bisa melanggarnya
- Positivisme Bohr cenderung tidak tepat, karena partikel kuantum sudah ada sebelum diukur
- Aksi nonlokal tidak benar-benar terjadi tanpa perantara
Menurut Einstein, alam semesta harusnya bersifat deterministik. Ia menduga bahwa terdapat variabel kuantum X yang berperan di latar belakang.
Baca juga: Bohr-Einstein Debates
Bohr dan Heisenberg percaya bahwa, sebelum diukur, partikel dapat dianggap abstrak. Meskipun demikian Einstein percaya bahwa sistem kuantum bersifat obyektif/tak tergantung pengamat.
Melainkan melalui variabel tersembunyi yang bersifat deterministik (c.f. butir 1)
Inilah keberatan Einstein terhadap mekanika kuantum. Klaim ini sangat dipengaruhi oleh filsafat realisme.
Sayangnya, walaupun sangat kokoh secara intuisi, hasil percobaan tidak mendukung kebenarannya. Sebagaimana akan saya jelaskan berikut ini.
Pertama: sejauh ini, tidak ditemukan bukti/petunjuk adanya variabel tersembunyi di latar belakang. Dengan demikian, kedudukan klaim #1 dan #4 menjadi lemah (walaupun masih terbuka kemungkinan benar).
Kedua: klaim Einstein mengenai keruntuhan AKH sudah ditanggapi dengan memuaskan oleh Bohr (lihat: Bohr-Einstein Debates). Dengan demikian, klaim #2 bahwa AKH tidak universal telah tumbang.
Ketiga: klaim #3 belum bisa diverifikasi maupun difalsifikasi. Dengan demikian, kedudukannya hingga saat ini adalah netral.
Di sini kita lihat bahwa QM tidak mendukung filsafat realisme Einstein. Justru sebaliknya — alam tampak memfavoritkan pandangan Bohr-Heisenberg yang lebih ‘antik’. Apakah ini pertanda bahwa alam semesta aslinya subyektif?
Jangan-jangan, sebenarnya kita bukan sekadar ‘penonton’ di alam semesta ini. Tapi, siapa yang tahu?
Sebagaimana sudah kita lihat bersama di atas, haluan filsafat Einstein adalah realisme (atau lebih tepatnya, realisme saintifik). Meskipun demikian, terdapat pula sentuhan lain dalam pemikirannya.
Di satu sisi, ia memandang matematika sebagai suatu daya kreatif, kemampuan untuk menginduksi kenyataan. Di sisi lain, ia menimbang bahwa sekadar matematika tidak cukup — agar bisa mendapat gambaran dunia dengan sebenarnya, seseorang harus menimba pengalaman (atau “percobaan” di bidang fisika).
Pengalaman, “hasil percobaan fisika” inilah yang kemudian dirangkai dalam konsep bernama matematika. Adapun pengalaman ini juga berfungsi sebagai petunjuk: sudahkah model matematika ini benar? Lagi-lagi, pengalaman juga yang menentukan.
Sebagaimana sudah kita lihat bersama, Einstein mempunyai afinitas yang kuat untuk bersikap “membumi”. Boleh jadi, ini juga sebabnya intuisinya cenderung kuat dan menolak QM. Dibandingkan ide Bohr-Heisenberg, realisme Einstein terkesan lebih akrab dengan logika sehari-hari.
———
[1] Halaman Wikiquote Niels Bohr — sebagaimana dikutip dalam “The Unity of Human Knowledge” (esai, Oktober 1960)
[2] Faye, Jan. Niels Bohr and Vienna Circle (format .doc)
[3] Niels Henrik David Bohr (biografi online)
[4] Cramer, John. View on Copenhagen Interpretation
[5] Student Years, 1920 - 1927: The Sad Story of Heisenberg’s Doctorate; bagian dari situs biografi Werner Heisenberg (David C. Cassidy & American Institute of Physics)
[6] Halaman Wikiquote Werner Heisenberg — sebagaimana dikutip dalam The New York Times Book Review (8 Maret 1992)
[7] Weiss, Michael. Anschaulichkeit, Abscheulichkeit
[8] Heisenberg - Quantum Mechanics, 1925-1927: The Uncertainty Principle; bagian dari situs biografi Werner Heisenberg (David C. Cassidy & American Institute of Physics)
[9] Heisenberg, Werner. Physics and Philosophy (1958)
[10] Max Born, sebagaimana dikutip dalam Fundamental Principles of Relativity (physics.about.com)
[11] Wospakrik, Hans J. 1987. “Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum Einstein”. Bandung: Penerbit ITB (halaman 82)
[12] ibid.
[13] Albert Einstein, Philosophy of Science (Stanford Encyclopedia of Philosophy Archive)
[14] Unreasonable Effectiveness
[15] Albert Einstein - A Series of Selected Quotations (Mountain Man Graphics)
[16] New Scientist, 14 Juli 2001: Taming the Multiverse. Arsip dimuat dengan izin.
[17] ibid.
[18] Deutsch, David. Taking Science Seriously
[19] Philosophy Now: Filiz peach Interviews David Deutsch, arsip wawancara di website David Deutsch
[20] Halaman Wikiquote David Deutsch, sebagaimana dimuat dalam buku Fabric of Reality
[21] ibid.
[22] Shikhovtsev, Eugene. Biographical Sketch of Hugh Everett, III
Logika
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam khazanah peradaban Islam persolan bahasa dan logika muncul ketika terjadi perdebatan tentang kata dan makna antara Abu sa’id al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M). menurut sl-Syirafi yang ahli bahasa, kata muncul lebih dahulu daripada makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing. Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dahulu disbanding kata, begitu pula logika muncul lebih dahulu daripada bahasa. Makna dan logiika inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan sesamanya tak lain karena ia memiliki akal untuk berfikir. Al-Qur’an yang merupakan sumber autentik dan absolut, yang tak diragukan lagi kebenaranya sangat menghargai peranan akal ini. Bahkan, pertanyaan yang berupa seruan “untuk selalu berfikir” bagi seseorang sangat banyak sekali dijumpai dalam berbagai ayat, di antaranya : Al-Baqarah: 44, 76, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, Hud: 51, Yusuf: 109, Al-Anbiya’: 67, Al-Mukminun: 80, Al-Qashash: 60, Shaffat: 138 (Lihat. Fathurrahman, pada sub kalimat “afalaa ta’qilun”).
Akal merupakan suatu sarana super canggih, dikaruniai Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya. Dengan akal manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Atau memahami lebih mendalam lagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Manusia karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan befikir yang dimilikinya.
Ketika manusia itu masih diberi kehidupan, dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula aktivitas berfikir tidak akan terlepas darinya. Manusia termasuk anda selalu berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada saat itulah ilmu logika berperan penting dalam mencari suatu kebenaran.
Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: “Aku berfikir, karena itu aku ada”. Bahkan dalam teori pensyariatan hukun Islam, teori logika --- yang jelas menggunakan nalar---, sama sekali tak dapat “melepaskan diri” dari apa yang kita sebut sebagai logika tadi. Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan ahlu al-qiyas (analogi) memandang syariat itu sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an al-Karim. (Lihat tarikh at-Tasyri’, hlm. 366)
Dalam teori ijtihad, Imam Syafi’ie, ketika memahami al-Qur’an maupun Sunnah ada istilah dilalah ghairu mandhum (penunjukan kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafdh yang tidak sharih) yang tentunya dibutuhkan analisis ‘berfikir tepat’ dalam memahaminya.(Lih. Modifikasi Hukum Islam, hlm. 35).
Contoh di atas sengaja penulis paparakan, sekali lagi, tak lain hanyalah untuk menekankan bahwa signifikansi akal teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh kredibilitas dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap persoalan kehidupan.
Akan tetapi, hasil pemikiran manusia, meskipun dengan menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan kebenarannya.
Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berfikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah, maka disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir ilmiah yang kita kenal ilmu logika atau manthiq. Bahkan, Syeh Abdurrahman al-Akkhdari dalam Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq mengatakan bahwa peran ilmu mantiq atau logika seperti halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam pegucapan).
Maka setidaknya, itulah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini, meskipun di dalamnya hanya menyinggung sebagaian kecil dari ilmu logika itu sendiri, seperti arti, obyek, bagian, dan manfaatnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, penulis dapat memberikan rumusan masalah dalam makalah ini menjadi beberapa topik, yakni:
1.apakah pengertian logika itu?
2.bagaimana sejarah munculnya ilmu logika?
3.apa saja obyek dan pembagian logika?
4.mengapa logika penting untuk dipelajari?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Logika
Kata logika menurut kamus berarti cabang ilmu pengetahuan yang mengamati tentang prinsip-prinsip pemikiran deduktif dan induktif. Kata logika menurut istilahnya berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu haruslah mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran, penalaran adalah suatu bentuk pemikirann yang meliputi tiga unsur, yaitu konsep pernyataan dan penalaran.
Logika adalah bahasa Latin berasala dari kata “logos” yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain digunakan sebagai gantinya adalah “mantiq”, kata Arab yang diambil dari kata kerja “nathaqa” yang berarati berkata atau berucap. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa: ‘alasannya tidak logis’, ‘argumentasi logis’, ‘kabar itu tidak logis’. Yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Dalam buku Logicand Language of Education mantiq disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berfikir benar, sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai hukum yang memelihara hati nurani dari kersalahan dalam berfikir. Sedangkan Irving. M. Copi menyatakan, “logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.”
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa perkataan logika adalah berasal dari kata sifat “logike” (bahasa Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa. Jadi logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu mantiq atau logika adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kseimpulan salah. Hal ini tentunya, disebabakan bahwa dalam berfikir, manusia tidak selalu benar serta acapkali terjerumus dalam sikap skeptis dan terjebak dalam kesalahan berfikir dengan tanpa terasa. Bahkan akal satu-satunya bentuk yang indah, karena akal paling penting dalam pandangan Islam. Oleh karena itu, Allah swt selalu memuji orang-orang yang berakal sebagaimana firman-Nya dalm surat al-Baqarah ayat 164 dan surat Ar-Ra’d ayat 3-4.
Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
Dengan demikian, maka tak heran jika Al-Farabi menjuluki ilmu logika atau mantiq ini dengan dasar ilmu-ilmu (raisul uluum), Ibnu sina menjulukinya sebagai khadim al-uluum, dan sebagian yang lain menjulukinya sebagai ilmu akal.
B.Sejarah Munculnya Ilmu Logika
Nama logika pertama kali muncul pada Filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum Masehi) tetapi dalam arti “seni berdebat”. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah Masehi) adalah orang pertama yang mempergunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Yunani adalah negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang mendapat karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Socrates, Plato, Aristoteles dan banyak yang lainnya adalah tokoh-tokoh ilmiah kelas super dunia yang tidak ada ilmuwan nasional dan internasional tidak mengenalnya sampai sekarang dan akan datang. Tetapi, khusus untuk logika atau ilmu mantiq Aristoteleslah yang menjadi guru utamanya.
Akan tetapi, meski Aristoteles terkenal sebagai “Bapak Logika”, itu tidak berarti bahwa sebelum dia tidak ada logika. Segala orang ilmiah dan ahli filosofi sebelum Aristoteles menggunakan logika sebaik-baiknya. Dalam literatur lain, disebutkan bahwa Aristoteleslah orang yang pertama kali meletakkan ilmu logika, yang sebelumnya memang tidak pernah ada ilmu tentang logika tersebut. Maka tak heran jika ia dijuluki sebagai “Muallim Awwal” (Guru pertama). Bahkan Filosof Besar Immanuel Kant mengatakan 21 abad kemudian, bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju selangkah pun dan tidak pula dapat mundur.
Sepintas, ada beragam pendapat tentang siapa peletak pertama ilmu logika ini. Akan tetapi jika ditelisik lebih mendalam, maka akan tampak suatu benang merah bahwa sebelum Aristoteles memang ada logika, akan tetapi ilmu logika sebagai ilmu yang sistematis dan tersusun resmi baru muncul sejak Aristoteles, dan memang dialah yang pertama akali membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu sistem.
Kecerdasan penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain, lahirnya kelompok Safshathah. Kelompk ini dengan ketangkasan debat yang mereka miliki menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan moral dengan cara mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sebagai benar, tetapi membuat penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah:
Kebaikan adalah apa yang Anda pandang baik
Keburukan adalah apa yang anda pandang buruk
Apa yang diyakini benar oleh seseorang, itulah yang benar buat dia
Apa yang diyakini salah oleh seseorang, itulah yang salah buat dia
Aristoteles (384 –322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah dengan pernyataan-pernyataan logis yang brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya. Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan. Plato (427-347 SM.), Murid Socrates hanya menambahnya sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 M) pemikir terbesar bangsa Jerman menyatakan bahwa logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak bisa ditambah lagi walau sedikit karena sudah cukup sempurna.
Logika formal merupakan hasil ciptaan Aristoteles yang dirintis oleh retorika kaum Shofis dan dialektika yang umum digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato. Inti pokok logika Aristoteles ialah ajarannya mengenai penalaran dan pembuktian. Baginya, penalaran pertama-tama merupakan silogisme yang di dalamnya berdasar dua buah tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk dapat secara lurus melakukan penyimpulan ini perlu diketahui mengenai hakikat tanggapan, ada tanggapan singular dan tanggapan particular.
Akan tetapi Konsili Nicae (325 M), menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena, Antiokia dan Roma. Pelajar logika juga dilarang kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang tidak merusak akidah kristiani. Hal ini merupakan pukulan mematikan bagi filsafat Yunani dan sekaligus logika. Sejak masa itu sampai hampir seribu tahun lamanya alam pemikiran di Barat menjadi padam, sehingga dikenal dengan zaman Drak Ages (zaman gelap).
Pada abad ke-7 Masehi berkembanglah agama islam di jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama ini telah dipeluk secara meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai Thian Shan. Dizaman kekuasaan khalifah Abbasiyyah sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga ada suatu masa dalam sejarah islam yang dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika karya Aristoteles juga diterjemahkan dan diberi nama Ilmu Mantiq.
Di antara ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu Mantiq adalah Abdullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishaq Al-Kindi, Abu Nasr Al-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Gahzali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi dan banyak lagi yang lain. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari abad gelapnya malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika.
Kemudian menyusullah zaman kemunduran dibidang mantiq atau logika karena dianggap terlalu memuja akal. Di antara ulama-ulama besar islam seperti Muhyiddin An-Nawawi, Ibnu Shalah, Taqiyuddin ibnu Taimiyah, Syadzuddin at-Taftsajani malah mengharamkan mempelajari ilmu mantiq. Namun komunitas ulama dan cendikiawan Muslim membolehkan bahkan menganjurkan untuk mempelajarinya sebagai penyempurna dalam menginterpretasikan hadits dan al-Qur’an.
C.Obyek Kajian Logika
Oleh karena yang berfikir itu manusia maka harus dikatakan bahwa lapangan penyelidikan logika ialah manusia itu sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut tertentu, yakni budinya. Begitu pula berfikir adalah obyek material logika. Berfikir di sini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berfikir manusia mengolah, mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya.
Jika dilihat dari obyeknya, dikenal sebagai logika formal (Manthiq As-Shuari) dan logika material (al-Manthiq al-maddi). Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda secara radikal, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertentangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material, yakni menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Logika formal disebut juga logika minor. Logika material disebut logika mayor.
D.Pembagian logika
Sistematisasi logika dapat diklsaifikasikan menjadi beberapa bagian, tergantung dari mana kita meninjaunya.
Pertama, dari segi obyeknya. Pada bagian ini logika dapat dibedakan menjadi dua, (1) logika formal atau mantiq as-shuwari, (2) logika material atau mantiq al-maddi. Hal ini sudah dijelaskan pada sub “Obyek Logika”.
Kedua, dari segi kualitasnya. Disini Mantiq/logika dapat dibedakan menjadi Naturalis (Mantiq al-Fithri), yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan manusia. Akal manusia yang normal dapat berjalan dan bekerja secara spontan sesuai hokum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertentangan adalah tidak sama.
Tetapi dalam mengahadapi permasalahan yang rumit dan dalam berfikir, manusia banyak dipengaruhi oleh kecendrungan pribadi disamping bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Nah, untuk mengatsai kenyataan yang tidak bisa ditanggulangi oleh Mnatiq al-Fitri, manusia menyusun hokum-hukum patokan-patokan , rumus-rumus berfikir lurus. Logika inilah yang disebut dengan Logika Artifisialis atau Logika Ilmiah (Mantiq As-Suri) yang bertugas membantu Mantiq Al-Fitri. Mantiq ini memperhalus, mempertajam, serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti,, efisien, mudah dan aman.
Ketiga, dari segi metodenya, mantiq/logika dapat dibedakan atas Logika Tradisional (Mantiq al-Qadim) dan Logika Modern (Mantiq al-Hadits). Logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan logika para Logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti system Logika Aristoteles. Sedangkan Logika Modern tumbuh dan berkembang mulai pada abad XIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlainan dengan sisitem Logika Aristoeteles. Saatnya dimulai sejak Raymundus Lullus menemukan metode baru logika yang disebut Ars magna.
Adapun Logika menurut The Liang Gie (1980) terbagi menjadi lima bagian:
1.Logika makna luas dan logika makna sempit
Dalam arti sempit istilah tersebut dipakai searti dengan deduktif atau logika formal. Sedangkan dalam arti yang lebih luas pemakaiannya mencakup kesimpulan-kesimpulan dari berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem penjelasan di susun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan mengenai logika itu sendiri.
2.Logika Deduktif dan Induktif
Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas pelajaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.
3.Logika Formal dan Material
Logika formal adalah mempelajari asas aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati agar orang dapat berfikir dengan benar mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Dan sekarang, logika formal adalah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah cara berfikir untuk mencapai kebenaran.
4.Logika Murni dan Terapan
Logika murni adalah merupakan suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam suatu cabang ilmu dari sitilah yang dipakai dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu bidang-bidang filsafat dan juga dalam pembicaraan yang menggunakan bahasa sehari-hari.
5.Logika Falsafati dan Matematik
Logika falsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika yang masih berhubungan sangat erat dengan pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika. Adapun logika matematik serta bentuk lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda atau kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa.
E.Manfaat Logika (Ilmu Mantiq)
Di antara manfaat ilmu mantiq atau logika ialah:
a.membuat daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi juga lebih menjadi berkembang melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta mengungkap permasalahan secara ilmiah.
b.membuat seseorang menjadi mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada waktunya.
c.membuat seseorang mampu membedakan--- ini merupakan manfaat yang paling asasi ilmu mantiq atau logika ---antara pikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan urut pikir yang salah yang dengan sendirinya akan menampilkan kesimpulan yang salah.
F.Analisis Pembahasan
Dari berbagai uraian di atas maka dapatlah ditarik “benang merah” bahwa para pemikir muslim sepaakat bahwa kekuatan akal atau rasionalisme sangat diperlukan dalm kajian-kajian keagamaan. Namun, sampai sejauh mana kemampuan rasio bisa diikuti dan dipakai, inilah yang menjadi persoalan. Sebagian menyatakan bahwa rasio mesti ditempatkan di bawah wahyu, sebaliknya sebagian yang lain menganggap bahwa rasio saja telah cukup untuk membimbing manusia dalam mengenal kebenaran dan Tuhan, wahyu hanya diperlukan sebagai justifikasi penemuan akal.
Bertolak dari berbagai pendapat para pemikir muslim tersebut, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan dalam analisis ini, yakni tentang cacat dan kelemahan dari penalaran logika yang di dalamnya menggunakan prinsip silogisme. Artinya, meskipun kekuatan nalar burhani ini sangat diperlukan dalam kajian keislaman, ternyata banyak mengandung kelemahan-kelemahan.
1.Prinsip silogisme burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih mengutamakan sesuatu yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya, realitas tidak hanya pada apa yang konkret, yang tertangkap indera, tetapi ada juga realitas yang di luar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya, di sini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme, seperti dikatakan Suhrawardi.
2.Silogisme tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksisitensi empiris di luar pikiran seperti soal warna, rasa, bau atau bayangan. Artinya, tidak semua keadaan atau objek diungkap lewat silogisme sebagimana kritik yang disampaikan Suhrawrdi dan Leibniz (1646-1716 M). (Lorens Bagus, 1996 : 87)
3.Prinsip logika burhani yang menyatkan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Logika burhani, dengan prinsip silogisme-nya, seperti dikritik Suhrwardi, sebenarnya tidak memberikan apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
4.Sejalan dengan no. 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan dari pernyataan yang umum, maka apa yang disebut kesimpulan sebenarnya telah tercantum secara implicit pada pernyataan umu yang disebut premis mayor; jika belum ada, maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik yang dilontarkan Bacon (1561-1626 M) dan John Stuart Mill (1806-1873 M) pada logika Aristoteles yang dipakai burhani. (Verhaak, 1997 : 137- 145; Bernard Delfgaaw, 1992 : 108)
5.Silogisme ternyata telah cenderung mengiring penganutnya pad cara berfikir hitam putih, benar salah, sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi (ilmu kalam) yang memang banyak menggunakan logika ini. Akibatnya, pemikiran teologi menjadi sangat keras dan mudah menimbulkan konflik, karena tidak mengenal keebenaran pada pihak lain. Kebanaran hanya ada di pihaknya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan, di antaranya adalah:
a.Logika dapat diartikan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kseimpulan salah. Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
b.Dalam sejarahnya logika muncul secara resmi dan tersusun pada saat Aristoteles melakukan reaksi terhadap paham Shopis yang telah membuat kekaburan dalam masyarakat dengan pemikirannya yang sesat.
c.Obyek logika dapat dibedakan menjadi logika formal (Manthiq As-Shuari) dan logika material (al-Manthiq al-maddi). Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material. Logika formal disebut juga logika minor dan material disebut juga logika mayor.
Sedangan pembagian logika dapat dikelompokkan menjadi (a) logika makna luas dan logika makna sempit, (b) logika deduktif dan induktif, (c) logika formal dan logika material, (d) logika murni dan terapan, (e) logika falsafati dan logika matematik.
d.Manfaat yang paling asasi mempelajari ilmu logika adalah untuk membuat seseorang mampu membedakan antara berpikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan nyang benar dan terhindar dari kesimpulan yang salah.
e.Logika burhani (prinsip silogisme) ternyata juga memiliki banyak cacat dan kelemahan sebagaimana pada sub bab “Analisis Pembahasan”. Itulah barangkali yang menyebabakan sebagian para pemikir muslim mengklaim haram untuk mempelajari ilmu mantiq.
B. Saran dan Harapan
Dengan membaca makalah ini penulis berharap semoga kita dapat berfikir tepat dan benar sehingga terhindar dari kesimpulan yang salah dan kabur. Setidaknya dengan makalah ini, ada semacam pencerahan intelektual dan menyuguhkan motivasi yang intrinsik untuk segera mempelajari ilmu logika sehingga kita dapat meminimalisasi kesalahan dalam berfikir.
Tentunya, dalam makalah ini akan ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan. Dengan itu, penulis sangat berharap adanya masukan dari pembaca dan kritik konstruktif sebagai upaya pembangunan mental guna penyelesaian pada makalah-makalah selanjutnya. Dan, hal itu penulis harapkan dengan kerendahan hati dan ketulusan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahdhari, Abdurrahman, Mandhumah Sullam al- Munawraq fi Ilmi al-Manthiq, Dar Hifdh Assalafiyah, t.tp.
Aziz, Muhammad Ali, Logika, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, 1993
Bagus, Lorens, Kanus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996
Baihaqi, AK, Ilmu Mantiq Teknik dasar Berfikir Logik, Jakarta, Dar Ulum Press, cet-2, 2001
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992, cet-1
Dahlan, Mohammad dkk., Kamus Induk Ilmiah, Surabaya, Target Press, 2003
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, UI-Press, cet-3, 1986
Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2001
Nur Ibrahimi, Mohammad, Ilmul Mantiq, Surabaya, Sa’ad Bin Nashir Nubhan, t.th.
Poejawijatna, Logika Filsafat Berfikir, Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet-7, 1992
Syeh Hadi, Naqd al_Araa’ al-Manthiqiyyah wa Hilli Musykilatihaa, t.tp. t.th.
Soekadijo, Logika Dasar, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991
A. Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Bumi Aksara, cet-1, 2005
Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia, 1997
Zaini Dahlan dkk., Filsafat Hukum Islam, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987
Zuhri, Muhammad, Tarjamah Tarikh Tasyri’, Semarang, Darul Ihya’, 1980