Jumat, 26 September 2008

Rahasia kemenangan

SELAMAT DATANG HARAPAN
Arahan Ketua TPPN, Anis Matta,
pada Mukernas PKS 2008, Makassar 21-24 Juli 2008



Kita tidak boleh lelah. Sampai hari ini. Bahkan sampai kapan pun. Untuk terus mengulang-ulang cara kita membaca perjalanan panjang perjuangan dakwah ini.

Cara kita memahami setiap satuan capaian akan sangat mempengaruhi persepsi kita tentang keseluruhan perjalanan perjuangan kita. Tidak semata bagaimana capaian itu dihasilkan, tapi juga bagaimana capaian itu dilanjutkan. Tidak semata bagaimana kemudahan didapat, tapi juga bagaimana gangguan dan rintangan datang menghambat.


Itu pula yang akan mengantarkan kita kepada sebuah sikap –sebagaimana dikatakan oleh Harun Al-Rasyid, “Saya tidak bangga dengan keberhasilan yang tidak saya rencanakan, sebagaimana saya tidak akan menyesal atas kegagalan yang terjadi di ujung segala usaha maksimal.” Ya, yang paling sempurna tentu saja keberhasilan yang diberikan Allah setelah usaha dan kerja-kerja maksimal.

Dengan cara membaca yang benar dan menelaah yang utuh tahapan demi tahapan perjalanan kita, maka kita akan selalu mendapat penjelasan baru yang terus menyegarkan, tentang bagaimana realitas perjuangan ini dicapai, dan apa yang harus kita lakukan untuk menciptakan realitas baru berkelanjutan.



1. Tafsir keimanan atas kemenangan sebelum kemenangan
Setiap kali realitas internal kita berubah, realitas eksternal di sekeliling kita juga berubah. Pernah ada suatu saat dimana kita tidak percaya bahwa 20% itu mungkin. Itu mimpi. Itu utopia. Kita mungkin tidak mengatakannya. Tapi cara kita bekerja tidak menunjukkan bahwa kita memang yakin bisa mencapainya.

Tapi hari ini semuanya berubah. Keyakinan kita berubah, bersama berubahnya angka-angka tentang PKS dalam survey-survey politik. Jauh sebelum angka-angka itu berubah, sesungguhnya telah terjadi perubahan-perubahan besar dalam diri kita. Pikiran kita berubah. Perasaan kita berubah. Tindakan kita juga berubah. Alam batin kita seluruhnya berubah.

Kesadaran yang mendalam akan adanya gap yang jauh antara target 20% dengan realitas kita dalam survey —yang waktu itu berada dalam posisi 5%— mendorong kita merumuskan STRATEGI yang jelas untuk mencapai sisa TARGET tersebut.



Pada saat yang sama, kita terus membangun motivasi bersama yang kuat untuk mencapai target tersebut. Motivasi bukan soal kata-kata. Motivasi adalah soal keyakinan. Dari keyakinan yang kuat, akan lahir pikiran yang besar. Sarana dan sumber daya selalu tunduk pada ide dan pikiran-pikiran. Sebagaimana sebaliknya, ide yang besar dan pemikiran yang kuat, akan menciptaan sarana-sarananya, dengan caranya sendiri. Karena itu, dalam pepatah Arab dikatakan,. Barangsiapa bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil.

Perubahan yang berkelindan dengan kesadaran itu, mengantarkan kita kepada tiga situasi batin yang sangat mempengaruhi pertumbuhan pemahaman dan cara kita bekerja. Pertama, kita mulai semakin mengerti apa sebenarnya masalah-masalah kita dan mengerti bagaimana menyusun langkah-langkah kita. Karena itu, dengan caranya yang unik, Allah mensyaratkan perubahan harus dimulai dari kita sendiri, dan permulaan itu adalah bagaimana kita mengerti masalah dan mengerti bagaimana menyusun langkah. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum, hingga kaum itu mengubah diri mereka sendiri.”

Kedua, yang terus berubah dalam diri kita adalah semakin menguatnya kehendak dan kemauan kita. Bahwa setiap kali kemauan kuat kita diberi taufik Allah untuk menjadi kenyataan, semakin pula kemauan itu terus menguat menjadi kehendak. Karena itulah, Islam memiliki caranya sendiri untuk membimbing kita, bahkan bila pun kerja-kerja kita tidak mendapatkan pengakuan yang semestinya dari orang lain, itu tidak boleh mengganggu semangat dan kekuatan kehendak. Sebab, Allah telah menjamin pengakuan dari-Nya, dengan caran-Nya sendiri. Bahwa Allah Yang Maha Melihat, menegaskan, Ia pasti akan melihat karya-karya itu. “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.”

Ketiga, bahwa di dalam diri kita juga terus menguat spirit untuk terus bekerja dan bekerja. Dan bahkan dalam keberlanjutan kerja itulah proses menjadi baik, mendapat ampunan, dan diperbaiki oleh Allah akan kita dapatkan. Bila kita terus bekerja, mungkin akan selalu ada yang salah. Tapi dengan terus bekerja itulah Allah berjanji akan memperbaiki kesalahan kita. “Dan orang-orang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal-amal yang shalih, serta beriman pula kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka, dan memperbaiki keadaan mereka.” (QS. Muhammad: 2).



2. Hubungan kausalitas dalam peristiwa sejarah.

Sejarah umat Islam sangat kaya dengan pelajaran penting tentang hukum sebab akibat. Bahwa sebuah kemenangan memiliki syarat-syaratnya. Sebagaimana kehancuran sebuah bangsa, sebuah umat, memiliki sebab-sebabnya. Sebagaimana para individu memiliki ajal, begitu juga sebuah umat, memiliki umurnya sendiri. Allah SWT berfirman, “Dan setiap jiwa yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” Dalam firman-Nya yang lain, “Dan bagi setiap umat ada ajalnya.” Karena itu, sebelum jauh-jauh berbicara tentang bagaimana sebuah partai harus menang, yang harus kita lakukan adalah menanyakan tentang bagaimana sebuah partai bisa hidup. Umur partai ditentukan oleh umur misinya, selama misi itu hidup, maka selama itu partai itu hidup. Hal-hal yang membuat sebuah partai bisa hidup adalah:

- Adanya misi kemanusiaan yang luhur dalam kerja-kerja politik partai itu. Misi itulah yang akan memberi sentuhan-sentuhan kemanusiaan pada kerja-kerja politik.

- Misi itu juga akan menerbitkan manfaat langsung, dalam bentuk spritual maupun material. Kehadiran partai yang punya misi akan memberi manfaat secara politik, sosial, maupun ekonomi.
Tetapi untuk bisa menjalankan misi itu, kita harus menjadi partai politik yang punya kemampuan untuk memimpin, leading, dengan menjalankan politik kemanusiaan di tengah politik kepentingan. Setelah berbicara tentang bagaimana sebuah partai politik bisa hidup, maka kita harus berbicara tentang bagaimana partai politik itu bisa memimpin. Untuk menjadi partai yang mampu memimpin (leading) kita harus memiliki tiga hal. Dan, tiga hal ini yang harus terus kita ulang-ulang:

- Pertama, narasi yang besar. Kita hanya akan memimpin apabila kita membawa gagasan besar yang dapat merangkul dan mewadahi seluruh harapan dan energi masyarakat. Gagasan itulah yang memberi kanal yang dapat menyalurkan energi yang ada pada masyarakat dan mengubahnya menjadi harapan bersama yang mencerahkan.

- Kedua, kapasitas. Gagasan besar itu hanya akan menjadi realitas kalau ada kapasitas yang memadai —pada skala individu maupun struktur— yang dapat mengeksekusi gagasan itu.

- Ketiga, sumber daya. Dalam segala bentuknya, seperti informasi, pengetahuan, sarana finansial, dan lain-lain adalah sarana yang diperlukan untuk mengeksekusi gagasan tersebut. Jadi, makin besar narasi, kapasitas, dan sumber daya kita, makin besar kemampuan kita mengeksekusi. Itu modal yang besar. Sesudah itu yang kita tunggu tinggal momentum. Kalau kita punya tigal hal di atas, maka peluang itu hanyalah masalah waktu. Kita akan mendapat kemenangan dan memimpin kalau kita mempunyai kemampuan mengelola ide-ide, memiliki kapasitas untuk mengeksekusi ide-ide itu, dan memiliki sarana untuk merealisasi ide-ide itu. Itu sebabnya, di Bali, kenapa salah satu isu yang kita angkat adalah keterbukaan, karena di Bali kita bicara narasi. Sekarang, di sini kita bicara tentang kepemimpinan kaum muda, karena kita bicara tentang kapasitas. Nanti, ketika kita bicara tentang managing globalization, kita akan bicara tentang sumber daya.

Ada fakta mendasar yang harus kita sadari, bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah dua hal yang sangat berbeda. Fakta itu melahirkan kaidah-kaidah penting:

- Bahwa tidak karena engkau berkuasa, maka secara otomatis engkau akan memimpin.

- Bahwa kadang engkau bisa memimpin meski tidak berkuasa.

- Bahwa untuk bisa memimpin, tidak serta merta engkau harus berkuasa.

- Bahwa boleh jadi, sebuah kekuasaan hanyalah awal dari sebuah keruntuhan.

Jadi, persepsi kita tentang memimpin dan berkuasa, akan sangat mempengaruhi cara kita bekerja dan cara kita meletakkan kekuasaan dalam daftar tema-tema besar pekerjaan kita.



3. Hambatan-hambatan untuk menang

Cita-cita besar selalu punya caranya sendiri untuk direalisasi, tapi juga punya hambatan-hambatanny a sendiri yang harus disiasati. Hambatan akan selalu ada. Masalahnya kemudian apakah hambatan itu relevan atau tidak. Masalahnya apakah kita bisa menciptakan cara-cara untuk melampui hambatan itu dengan baik.

Hambatan paling mendasar yang harus kita sadari adalah hambatan persepsi dalam betuk sindrom-sindrom. Setidaknya ada empat macam sindrom yang harus kita waspadai yang akan banyak menjadi hambatan serius bagi tercapainya kemenangan.

- Pertama, Sindrom ketakutan bila menang. Sindrom ini lebih khusus terkait dengan ketakutan akan apa yang muncul dari kemenangan berupa fitnah dunia.

- Kedua, sindrom inferiority complex. Perasaan minder dan rendah, merasa tidak mampu. Padahal kerja-kerja kepemimpinan, yang salah satunya mencakup kerja-kerja politik, adalah jenis kerja-kerja yang dibangun di jalur eksperimen. Dan bahwa Islam lah yang pertama kali mengenalkan metodologi dan tradisi eksperimen. Sementara tradisi Yunani membangun filsafatnya atas dasar metafisika. Jadi eksperimen merupakan anak kandung peradaban Islam. Karena itu kerja-kerja dakwah dan politik harus merupakan kerja-kerja yang punya tradisi eksperimen yang kuat. Itu tidak bisa dilalui dengan sindrom rendah diri.
- Ketiga, sindrom pemisahan antara tarbiyah dan politik. Sindrom ini bisa memicu keresahan, menciptakan kesan dan perasaan, seakan-akan tarbiyah adalah kerja-kerja bersih, sementara politik adalah kerja-kerja kotor. Melahirkan perasaan bahwa seakan-akan tarbiyah adalah kerja-kerja mulia, sementara politik adalah kerja-kerja yang hina. Perasaan bahwa orang-orang tarbiyah adalah orang-orang yang suci, dan orang-orang politik adalah orang-orang yang berlumur keburukan. Pemisahan seperti itu sungguh sangat membahayakan. Karena itulah dalam situas-situasi seperti ini, saya sering teringat dengan syair yang dibacakan Abdullah bin Mubarok kepada Fudhail bin Iyadh: wahai ahli ibadah di dua tempat suci, jika kalian menyaksikan kami niscaya akan tahu bahwa kalian bermain-main dengan ibadah itu, bila leher-leher kaliah basah berlumur air mata, maka leher-leher kami berlumuran dengan darah-darah kami

- Keempat, sindrom kesucian dalam berpolitik. Di sisi lain, perasaan suci juga bisa muncul dalam diri kita, sehingga menimbulkan sikap-sikap yang kurang produktif bagi perjalanan perjuangan kita. Seperti enggan bergaul dengan berbagai pihak. Karena kita menganggap kita suci, kita menganggap orang lain kotor. Sehingga kita pun tidak bisa memberdayakan. Padahal dalam hadits Rasulullah dikatakan,
“Sesungguhnya Allah akan menolong agama ini bahkan dengan orang yang suka bermaksiat.”

Persepsi yang harus kita bangun tentang mereka yang biasa berbuat maksiat adalah, pertama mereka obyek dakwah, kedua mereka adalah sumber daya. Suara orang kafir itu sumber daya, sebagaimana suara orang Muslim yang ahli maksiat, adalah juga sumber daya. Jangan sampai, karena kita merasa suci, kita tidak bergaul dengan orang lain. Sehingga kita tidak bisa memberdayakan. Menurut survey, salah satu faktor kemenangan kita di Jawa Barat itu karena dukungan orang-orang Cina dan tentara.



4. Realitas-realitas politik.

Pada dasarnya kita sudah melampui hampir semua tahapan krusial, yang bisa menghambat rencana dan tahapan-tahapan yang kita canangkan untuk menang. Gagasan tentang new look new image menjelang tahapan take off preparation, isu tentang pluralitas, yang terus kita gaungkan, semuanya cukup memberi efek positif bagi persepsi orang lain tentang PKS.
Pada saat kita memasuki tahapan big wave, seiring terus menguatnya persepsi positif orang tentang PKS, kita harus mengetahui betul realitas-relaitas baru dalam politik Indonesia. Di antara realitas yang sangat penting itu adalah:

- Realitas demografi, bahwa tren pertumbuhan masyarakat berusia muda –antara 17 tahun hingga 45 tahun– populasinya mencapai 65 %.
- Perbandingan kaum urban-rural. Menurut data dari BPS, perbandingan ini akan mengalami titik balik pada tahun 2010 di mana perbandingannya menjadi sekitar 54% urban dan 46 rural.

- Distribusi informasi yang semakin merata karena peran media.

- Tidak ada lagi asimetris informasi. Karena konektifitas, maka disparitas antara desa dan kota dalam soal informasi tidak relevan.
Realitas baru perpolitikan di Indonesia tersebut, akan menyokong terjadinya proses transformasi besar-besaran dalam tradisi perpolitikan itu sendiri. Setidaknya ada empat macam transformasi yang akan terjadi:

- Pertama, Transformasi dari politik aliran menuju politik kemanusiaan. Orang nanti tidak melihat ideologi itu sebagai soal benar salah, tapi bagaimana idelologi itu membangun kemanusiaan. Dulu orang berbicara nasionalisme, karena nasionalisme adalah padanan dari anti kolonialisme. Karena nasionalisme adalah alat untuk melawan imperialisme.
- Kedua, Transformasi dari politik pencitraan menuju politik konten. Karena itu iklan-iklan politik sekarang mengalami inflasi. Kata-kata dalam iklan itu menjadi sangat artifisial, karena yang ingin dilihat orang adalah artikulasi yang bersifat live, nyata.

- Ketiga, Transformasi dari tokoh kharismatik kepada tokoh kinerja. Akan ada transformasi bahwa masyarakat semakin mengutamakan tokoh yang berbasis kinerja dari pada tokoh yang berbasis kharisma. Dan, ini merupakan salah satu perspektif penting dalam komunitas urban. Karena itu di sini ikatan-ikatan primordial seperti suku bisa jadi tidak relevan.

- Keempat, Transformasi dari orientasi kekuasaan kepada orientasi kepemimpinan. Bahwa politik tidak bisa lagi dipersepsi sebagai sarana untuk mengejar ambisi kekuasaan. Itu tidak akan mendapat tempat di masyarakat, seiring dengan realitas-realitas baru.

Berdasarkan realitas tadi saya percaya bahwa partai yang akan memenangankan pemilu mendatang bukan lagi partai yang canggih dengan operasi politiknya, tetapi partai yang hadir dengan gagasan yang inovatif dan solutif, fresh idea, yang dapat membangun kembali rasa cinta dan bangga setiap warga negara kepada bangsa dan tanah air. Ide-ide yang inovatif dan solutif itu adalah ide-ide tentang the next Indonesia. Siapa yang bisa memiliki ide-ide tentang Indoneisa masa depan, dialah yang akan memimpin Indonesia.



5. Bagaimana Strategi Selanjutnya.

Sebelum masuk ke strategi selanjutnya untuk menang, kita perlu menjawab pertanyaan fundamental. Pertanyaan fundamental itu adalah “mengapa kita harus menang.” Jawaban dari pertanyaan fundamental itu, secara umum dapat disarikan ke dalam prinsip-prinsip berkut:
1. Bahwa kehadiran kita sebagai pemimpin adalah matlabun jamahriiyun li inqadzi asya’b. Adalah tuntutan publik untuk menyelamatkan masyarakat. Ini bisa kita sebut dengan tuntutan sosial.

2. Bahwa upaya-upaya penyelamatan masyarakat itu merupakan kewajiban agama, tuntutan syariat Islam. Ini bisa dikatakan sebagai tuntutan moral.



3. Bahwa ada keniscayaan sejarah terkait dengan pergantian generasi. Ini bisa kita sebut dengan tuntutan sejarah. Bahwa sebuah generasi pasti akan digantikan oleh generasi berikutnya.

Sesudah itu semua, kita berbicara tentang bagaimana cara kita menang pada sisa tahapan selanjutnya. Setidaknya ada lima tema penting yang harus terus ada dalam kesadaran kita. Lima kesadaran itu menjadi semacam tonggak-tonggak yang bisa dijadikan pusaran bagi segala cara, upaya, untuk menuju kemenangan pada sisa tahapan berikutnya. Lima kesadaran itu adalah:

1. Setelah image keterbukaan, pruralitas, kita perlu menukik lebih dalam kepada kesadaran publik, bahwa PKS adalah ruh baru kebangkitan Indonesia. PKS adalah ruh baru dan tulang punggung kebangkitan bangsa Indonesia.
2. Mempertahankan posisi PKS sebagai news maker, opinion leader dan trend setter. Karena itu, dalam konteks ini kita perlu mengartikulasikan secara lebih luas dan mendalam tentang the next Indonesia, dan the road map to the next Indonesia, step by step.

3. Memperkuat wibawa institusi partai.

Melalui pengokohan struktur, soliditas dan leaderhsip, serta kekuatan jaringan yang menjangkau setiap jengkal tanah di Republik ini.

4. Menebar pesona pribadi.

Maksudnya, keberadaan kita sebagai kader, sebagai dai harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam berbagai kerja-kerja politik dan dakwah kita.

5. Menguatkan penerimaan dan dukungan internasional.

Pada akhirnya, segala cita-cita punya kadarnya untuk kita geluti prosesnya secara maksimal, tahap demi tahap. Tapi ia juga punya kadarnya untuk kita serahkan kepada Allah dengan penuh pengharapan dan doa yang juga maksimal. Sejarah Islam juga mengajarkan, betapa Rasululah dan para pejuang pendahulu kita yang shalih, telah membuktikan, ketika umat Islam mengawali cita-cita dengan keyakinan iman, niat yang tulus, kerja yang tak kenal lelah, maka sesudah itu biasanya Allah sendiri yang mengambil alih sisa pekerjaan itu semua. Dan, memberi mereka kemenangan yang nyata, nasran aziza, dengan cara Allah sendiri.

Maka saya sangat yakin, bila kita memiliki keyakinan yang kuat, ketulusan niat, kebersamaan yang kokoh, dan kerja keras tanpa kenal lelah, nanti Allah juga akan mengambil alih sisa-sisa pekerjaan yang masih besar, lalu memberi kita kemenangan-Nya, dengan cara-Nya sendiri, bahkan sering melampui batas-batas imajinasi kita, tanpa pernah kita mengerti. Jangan pernah merasa kita akan bisa menyelesaikan pekerjaan ini sendiri. Tugas kita adalah menegaskan tekad dan memulai perjalanan. Setelah itu Allah akan membimbing kita hingga akhir perjalanan. Insya Allah.

Kekuatan PKS

Kamis 22 Mei 2008
Mampukah PKS Menjadi Kekuatan Politik Baru di Indonesia?

Membaca Perolehan Suara PKS di Empat Pilkada

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]


A. Pengantar

Fenomena kemenangan calon yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi catatan tersendiri dalam pelaksanaan pilkada. Tercatat ada beberapa daerah seperti Jawa Barat (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf) dan Sumatera Utara (Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho), yang dimenangkan oleh kader PKS. Di tingkat kabupaten/kota, kader PKS mampu menang di Kota Depok (Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra) Kota Banjarmasin (Yudhi Wahyuni-Alwi Sahlan), Hulu Sungai Selatan (Muhammad Safi’i-Ardiansyah), atau Halmahera Selatan (Abdul Gani Kasuba-Rusli Wali).

PKS juga berkali-kali memasang kadernya di berbagai pilkada walaupun harus ”mengakui” keunggulan kandidat lain. Kita dapat menyebut pilkada Jakarta, di mana PKS mengusung Adang Daradjatun-Dani Anwar. Selain itu, PKS juga ikut berkompetisi di Banten (Zulkiflimansyah-Marissa Haque), Sumatera Barat (Irwan Prayitno-Ikasuma Hamid), Kalimantan Selatan (Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar), Nangroe Aceh Darussalam (Azwar Abubakar-Nasir Jamil), dan Maluku Utara (Thaib Armain-Abdul Gani Kasuba). Walaupun kandidat PKS tidak memenangi pilkada, mereka tetap dapat membuka mata rakyat bahwa sebuah kekuatan politik baru telah muncul di Indonesia.

B. PKS: Kekuatan Politik Baru?

Berdasarkan data pemilu 2004, tercatat bahwa PKS mampu mendulang 8.325.020 suara atau 7,34% dari total jumlah pemilih. Perolehan suara tersebut menempatkan PKS di peringkat ke-6 setelah Golkar (21,58%), PDIP (18,53%), PKB (10,57%), PPP (8,15%) dan Partai Demokrat (7,45%). Dari perolehan tersebut, PKS tercatat memenangi pemilu legislatif di DKI Jakarta (Daerah Pemilihan I dan II), di mana mereka mampu meraih 5 tiket kursi di DPR-RI untuk daerah pemilihan tersebut.

Sementara di daerah lain, PKS tidak memenangi pemilu tetapi mampu mengantarkan kader-kadernya di DPR. Nangroe Aceh Darussalam ”menyumbangkan” dua kadernya (Nasir Jamil dan Andi Salahuddin). Provinsi ujung sebelah timur, Maluku, mengirimkan seorang kader ke DPR-RI (Abdul Aziz Arbi). PKS secara akumulatif meraih 45 kursi di DPR-RI, setara dengan 8% dari total 550 kursi di sana.

Muncul pertanyaan, mengapa PKS dapat menjelma menjadi sebuah kekuatan politik alternatif beberapa tahun terakhir ini? Tak lain, PKS mampu mentransformasi diri dalam politik Indonesia karena mereka memiliki sistem kader yang kuat. Dalam tradisi PKS, orang-orang tua tidak duduk di kepengurusan Dewan Pimpinan partai. Orang-orang tua lebih banyak duduk di Majelis Pertimbangan atau Dewan Syuro. Selebihnya, anak-anak mudalah yang menggerakkan partai.

Bahkan, beberapa anggota DPR-RI tidak mencapai 35 tahun ketika diangkat, seperti Rama Pratama atau Andi Rahmat. Anggota DPR-RI yang tua pun dapat dihitung dengan jari, seperti Ustadz Soeripto, Ustadz Djalaluddin Asy-Syathibi, Ustadz Yusuf Supendi, atau Ustadz Abu Ridho (Abdi Sumaithi). Kekuatan anak muda inilah yang menyebabkan PKS dapat bergerak lincah dalam program kerjanya. Dengan dukungan kaum muda pulalah PKS mampu melakukan sosialisasi ke kalangan grass-root, prestasi yang jarang bisa dilakukan oleh partai-partai yang telah mapan.

Memang selain PKS ada Partai Demokrat yang mampu mendulang 56 kursi di DPR-RI. Akan tetapi, kemenangan Partai Demokrat lebih dikarenakan faktor popularitas Susilo Bambang Yudhoyono yang memang dekat dengan rakyat. Partai Demokrat juga mampu secara finansial. Perbedaannya, PKS tidak menonjolkan seorang figur sentral. Mereka lebih menonjolkan platform dan sikap politik yang jelas-jelas memasukkan Islam sebagai visi ideologis. Lantas, bagaimana strategi politik PKS dalam meraih dukungan besar di beberapa daerah yang notabene merupakan basis partai lain? Mari kita analisis.

C. Studi atas Empat Pilkada

1. Pilkada Jawa Barat

Berkaca dari pilkada Jawa Barat, PKS telah membuktikan bahwa mereka patut diperhitungkan pada pemilu 2009 yang akan datang. Jika kita tinjau secara regiopolitik, Jawa Barat bukanlah basis kekuatan PKS. PKS hanya menguasai daerah-daerah tertentu seperti Depok yang memang sejak tahun 2004 telah menjadi basis PKS. Secara total, perolehan suara mereka pun hanya berkisar antara 11%-12% saja.

Jelas, hitung-hitungan suara ini akan kalah dengan kandidat yang diusung oleh partai besar yang memiliki basis kuat di daerah ini. Para analis politik lebih mengunggulkan Dani Setiawan atau Agum Gumelar yang notabene lebih akrab dengan masyarakat Jawa Barat. Dani Setiawan, seperti kita ketahui, adalah calon incumbent yang memiliki basis kuat di kalangan birokrat dan masyarakat kelas menengah ke atas.

Adapun Agum Gumelar pernah mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden dari PPP. Suara dari PPP yang diambil pada Pemilu Presiden tahun 2004 saja telah menjamin 810.519 suara akan diperoleh oleh Agum. Ini belum termasuk suara PDIP, PKB, dan partai pendukung lain yang memiliki jumlah suara lebih besar. Sementara untuk Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, para analis menilai pasangan ini hanya akan menjadi kuda hitam. Analisis Saiful Mujani di MetroTV bahkan tidak menganggap pasangan ini sebagai unggulan, karena masyarakat dianggap masih belum terlalu kenal dengan Ahmad Heryawan yang sehari-hari tinggal di Jakarta.

Akan tetapi, fakta berkata lain. Kandidat PKS berhasil memenangi pilkada dengan meraup dukungan sebesar 40%! Fakta menunjukkan PKS berhasil memperoleh suara besar di kantong suara milik partai lain seperti Cirebon yang pada tahun 2004 merupakan basis PDIP. Di samping itu, PKS juga mampu mengakselerasi mesin politik dengan menggerakkan kader dan simpatisan untuk mendukung kandidat yang diusung. Ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa bagi PKS.

Dari pilkada ini kita dapat mendapatkan beberapa fenomena. Mari kita analisis fenomena-fenomena tersebut.

Pertama, masyarakat memiliki kecenderungan untuk memilih pemimpin baru yang membawa angin perubahan. Indikatornya terlihat dari menurunnya dukungan untuk Dani Setiawan yang merupakan calon incumbent. Padahal sebelum pilkada, LSI dan MetroTV masih mengunggulkan Dani Setiawan untuk memenangi pilkada. Mereka beranggapan bahwa popularitas Dani masih lebih tinggi dibanding calon lain.

Kedua, bergesernya preferensi masyarakat dalam politik. Jika kita menggunakan perbandingan dengan hasil pemilu 2004, terlihat bahwa PKS tidak memperoleh suara yang cukup untuk memenangi pilkada. Pasangan yang berpeluang kuat untuk memperoleh suara terbanyak dari partai politik ini justru adalah Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim yang didukung oleh koalisi beberapa partai. Dengan kemenangan Ahmad Heryawan, terlihat bahwa ada pergeseran preferensi masyarakat dalam memilih partai politik. Bisa jadi ini merupakan awal dari berubahnya peta kekuatan politik di pemilu 2009 yang akan datang.

Ketiga, PKS menjelma menjadi sebuah kekuatan politik baru di Jawa Barat. Hal ini tak dapat dipungkiri dengan kemenangan HADE. DI Jawa Barat, suara PKS yang hanya berkisar antara 11%-12% ternyata bertambah hingga mencapai 40% pada pilkada. Ini menunjukkan beralihnya simpati masyarakat yang pada awalnya merupakan pendukung partai lain hingga mau memilih kandidat yang diusung oleh PKS. Selain itu, PKS juga mampu melakukan konsolidasi kader dan konstituen hingga mesin politik dapat diakselerasi pada Pilkada.

Keempat, bangkitnya kepercayaan masyarakat pada kaum muda. Seperti diketahui, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf masih dikategorikan sebagai pemuda. Umur mereka belum mencapai 50 tahun dan pemikiran mereka pun merepresentasikan pemikiran kaum muda. Ditambah lagi dengan kondisi fisik yang prima. Sehingga, masyarakat pun dapat dianggap menaruh harapan besar dengan kehadiran kandidat kaum muda.

Kelima, kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf menunjukkan bahwa data Pemilu 2004 sangat sulit dijadikan acuan dalam memprediksi hasil pilkada. Hal ini mengingat banyak faktor yang mempengaruhi perolehan suara yang diraih oleh seorang calon sehingga banyak korelasi yang terbentuk antara satu variabel dengan variabel lainnya. Kemenangan HADE menunjukkan bahwa partai yang dianggap sebagai ”kuda hitam politik” pun masih bisa meraih kemenangan jika strategi pemenangan dirancang dengan tepat.

Lima fenomena tersebut pada intinya menegaskan bahwa demokratisasi telah berjalan dengan cukup baik di Jawa Barat, meski kita tak dapat memungkiri bahwa kelompok ”golongan putih” yang apolitik masih bercokol di sana. Akan tetapi, hasil yang diperoleh tetap merepresentasikan suara rakyat. Ini juga menjadi catatan bahwa akan ada pergeseran peta kekuatan politik pada tahun 2009 yang akan datang.

2. Pilkada Sumatera Utara

Kondisi serupa juga terjadi di Sumatera Utara. Di daerah yang notabene bukan merupakan basis kekuatan PKS ini, calon yang diusung PKS (Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho) juga berhasil memenangkan pilkada. Di daerah ini, PKS berkoalisi dengan 10 partai lain seperti PPP, PPNUI, PNI Marhaenisme, dan partai-partai lain.

Seperti di Jawa Barat, kemenangan ini cukup mengejutkan banyak pihak. Banyak yang mengira PDIP atau Golkar yang akan mendominasi. Apalagi kedua calon tidak merepresentasikan suara kaum Batak. Syamsul Arifin lebih dekat dengan etnis Melayu Deli, sedangkan Gatot Pujo Nugroho mewakili kaum perantauan di Medan. Praktis, banyak kalangan yang memperkirakan suara orang Batak yang merupakan mayoritas di Sumatera Utara akan beralih ke calon lain seperti Maratua Simanjuntak, Benny Siregar, atau RE Siahaan.

Memang, faktor etnopolitik cukup berperan penting di Sumatera Utara. Kita dapat melihat komposisi etnis yang ada. Jika dipetakan, daerah Tapanuli Selatan didominasi oleh etnis Mandailing yang beragama Islam. Sementara daerah pegunungan sebelah utara Medan didiami oleh Batak Karo dan Simalungun yang kebanyakan beragama Kristen.

Begitu pula dengan daerah pantai Barat Sumatera Utara, banyak didiami oleh Batak Pakpak meskipun masih banyak juga etnis lain yang tinggal di sana. Sedangkan daerah sekitar danau Toba mayoritas didiami oleh Batak Toba yang dikenal ”keras” dan beragama kristen. Adapun daerah Medan, Deli Serdang, dan sekitarnya lebih banyak didiami oleh etnis Melayu yang sering pula disebut sebagai ”Melayu Deli”.

Kembali jika kita lihat latar belakang etnis masing-masing calon, terlihat ada keberagaman di antara mereka. Calon nomor urut 1, Ali Umri-Maratua Simanjuntak lebih dekat dengan entitas Batak Toba. Hal ini disebabkan oleh latar belakang cawagub. Apalagi, mereka didukung oleh Partai Golkar yang pada Pemilu 2004 lalu berhasil mendapatkan 6 kursi di DPR-RI.

Sedangkan Calon nomor urut 2, Tritamtomo-Benny Pasaribu juga memiliki kedekatan dengan etnis Toba. Mereka diusung oleh PDIP yang memang merupakan salah satu kekuatan politik besar di Sumatera Utara. Calon nomor urut 3, RE Siahaan-Suherdi, merupakan konfigurasi ”Batak-Pendatang”. RE Siahaan berlatar belakang etnis dari Batak Toba, sedangkan wakilnya merupakan representasi non-Batak. Adapun calon nomor urut 4 (Abdul Wahab Dalimunthe-Raden Syafi’i) yang didukung oleh PAN, Partai Demokrat, dan PBR lebih merepresentasikan etnis Mandailing. Terakhir, Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho mewakili etnis Melayu Deli yang berbasis di daerah Langkat dan sekitarnya (Syamsul Arifin adalah Bupati Langkat sekarang).

Dari komposisi etnis di atas, terlihat bahwa suara masyarakat Batak akan tersebar ke tiga calon. Persebaran ini diperkirakan akan mengacu pada partai politik yang mengusung. Konstituen Partai Golkar tentu akan mendukung Ali Umri, sedangkan massa PDIP lebih cenderung pada Tritamtomo. Sisanya diperkirakan akan menuju RE Siahaan. Analisis Saiful Mujani sebelum penghitungan Quick Count di metroTV lebih cenderung mendukung RE Siahaan.

Lagi-lagi, LSI salah. Calon yang menang justru Syamsul Arifin yang hanya diplot oleh para analis politik sebagai kuda hitam. Syamsul Arifin mendulang 28% suara, disusul oleh Tritamtomo yang hanya mendapatkan 22%. Sama seperti Jawa Barat, perolehan suara ini mengindikasikan perubahan peta politik dan terkonsolidasinya suara konstituen PKS dan PPP untuk mengegolkan calon yang diusung.

Mengapa kandidat PKS dapat memenangkan pilkada di daerah yang notabene merupakan daerah non-Islam? Mari kita analisis.

Pertama, konsolidasi antarpartai Islam berjalan lancar di daerah ini. Kita lihat, hampir semua partai berplatform Islam kecuali PBR mendukung pasangan ini. Konsolidasi ini kemungkinan bertambah dengan suara konstituen PKB, karena sikap politik PKB ternyata mendukung pasangan non-Islam (RE Siahaan-Suherdi). Hal ini semakin memperkuat semangat untuk mendukung calon yang berlatarbelakang muslim.

Kedua, terpecahnya suara masyarakat Batak. Seperti kita lihat, ada tiga calon yang merepresentasikan masyarakat Batak Toba, yaitu Maratua Simanjuntak, Benny Pasaribu, dan RE Siahaan. Kondisi ini membuat suara masyarakat Kristen dengan gereja terpecah. Analisis Saiful Mujani menjelang penghitungan Quick Count menyebutkan bahwa dua gereja terbesar di Sumatera Utara berbeda pendapat dalam mendukung calon.

Ketiga, menurunnya dukungan untuk partai-partai besar. Dukungan yang paling jauh menurun adalah Partai Golkar. Pada Pemilu 2004, pemenang pemilu di daerah ini adalah Partai Golkar. Mereka mampu meraih enam kursi di DPR-RI serta memiliki modal suara yang cukup besar. Akan tetapi, perolehan suara mereka di Pilkada ini anjlok menjadi hanya sekitar 15%. Ini diakibatkan oleh terpecahnya kader-kader Partai Golkar, karena Syamsul Arifin, Abdul Wahab Dalimunthe, dan Ali Umri merupakan kader-kader Golkar.

Tiga fenomena ini secara umum juga menunjukkan kemenangan strategi partai-partai Islam dalam memenangkan calonnya, di samping memanfaatkan perpecahan yang melanda partai-partai lain. Pilkada Sumatera Utara ini dapat dijadikan sebagai momentum konsolidasi PKS dalam menghadapi Pemilu 2009 yang akan datang.

3. Pilkada DKI Jakarta

Fenomena lain yang juga mengindikasikan kemunculan PKS sebagai kekuatan politik baru adalah di DKI Jakarta. Pada pilkada ini ada dua calon yang maju, yaitu Adang Daradjatun-Dani Anwar yang diusung oleh PKS melawan Fauzi Bowo-Priyanto yang didukung oleh koalisi 20 partai. Jika dilihat sekilas, pilkada ini tak ubahnya seperti pertarungan David vs Goliath; berat sebelah. Walaupun PKS memenangi Pemilu 2004 di daerah ini, mereka tetap tidak memi;karena melawan koalisi 20 partai yang jika dihitung secara kasar akan memperoleh minimal 75% suara!

Di atas kertas, Adang-Dani diperkirakan para analis hanya akan mendulang suara sekitar 20%-25% saja. Jumlah ini merupakan asumsi suara PKS yang diperoleh pada Pemilu 2004. Mereka diprediksi akan mengalami kekalahan karena jumlah suara yang akan diterima oleh Fauzi Bowo-Priyanto cukup besar.

Pilkada pun berjalan. Hasilnya, seperti diprediksi oleh para analis politik, memang dimenangkan oleh Fauzi Bowo. Akan tetapi, hasil yang diperoleh ternyata tidak begitu jauh terpaut. Adang Daradjatun memperoleh suara sekitar 40%, sedangkan Fauzi Bowo memperoleh 60%. Ini berarti, perolehan suara Fauzi turun dari dukungan koalisi 20 partai. Hal ini juga membuktikan banyak suara yang ”lari” mendukung Adang Daradjatun.

Sekali lagi, ada beberapa implikasi yang dapat kita analisis pada perolehan suara PKS di DKI Jakarta ini.

Pertama, PKS mampu memaksimalkan kekuatan yang dimilikinya untuk memenangkan calon yang diusung. Dalam kasus pilkada ini, PKS mampu mengakselerasi kekuatan yang ada dari level wilayah hingga level ranting. Dengan demikian, kekuatan PKS di DKI Jakarta telah terkonsolidasi secara baik. Ini menunjukkan kesiapan PKS DKI Jakarta dalam menghadapi Pemilu 2009.

Kedua, Ada ”pelarian suara” dari partai politik lain ke calon yang diusung PKS akibat isu-isu politik yang dihembuskan menjelang pilkada. Sebelum pilkada memang ada beberapa calon gubernur yang telah siap berkompetisi melamar ke partai politik. Sebut saja Faisal Basri atau Sarwono Kusumaatmadja. Mereka bahkan secara terang-terangan menyatakan kesiapan untuk maju pada berbagai kesempatan.

Kita ambil kasus Sarwono Kusumaatmadja. Pada kasus ini, ada sedikit kesalahpahaman antara Sarwono dengan PAN dan PKB yang awalnya menyatakan diri mendukung pencalonan diri Sarwono sebagai calon gubernur. Akan tetapi, secara mengejutkan PAN mencabut dukungannya dan memilih untuk mendukung Fauzi Bowo-Priyanto beberapa hari sebelum pendaftaran ditutup. Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan dari pendukung Sarwono, sehingga muncul kemungkinan sebagian besar suara konstituen PAN yang tadinya mendukung Sarwono beralih ke Adang.

Ketiga, Perolehan suara ini dapat berimplikasi pada lonjakan suara yang akan diterima oleh PKS pada Pemilu 2009 nanti. Kenaikan suara sebesar 15% pada pilkada ini, menurut penulis, berpotensi diikuti oleh kenaikan suara PKS di Pemilu 2004 nanti. Syaratnya, PKS harus terus melakukan sosialisasi dan pencitraan diri sehingga dikenal di masyarakat luas.

Tiga fenomena di atas bisa menjadi modal awal PKS dalam menempuh Pemilu 2009. DKI Jakarta yang sejak awal telah menjadi basis PKS harus dijadikan pilar kekuatan dalam meraih konsituten. Ini tentunya memerlukan kerja keras disertai doa, agar dakwah parlemen terus meraih momentum untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

4. Pilkada Kalimantan Selatan

Terakhir, kita akan menganalisis perolehan suara PKS di Kalimantan Selatan, daerah kebanggaan kita. Di daerah ini, PKS mampu meloloskan dua orang kadernya di pemerintahan, yaitu Alwi Sahlan (Wakil Walikota Banjarmasin) dan Ardiansyah (Wakil Bupati Hulu Sungai Selatan). Selain itu, koalisi PKS dengan partai lain juga berjalan sukses dengan mengantarkan nama-nama seperti Adriansyah-Atmari (Tanah Laut), Idis Nurdin Halidi-Ahmad Fauzi (Tapin), atau Fakhruddin-Aunul Hadi (Hulu Sungai Utara).

Kalimantan Selatan secara kultural adalah daerah yang sangat religius. Di daerah ini kita akan sangat jarang mendapati daerah yang tidak memiliki mesjid, walaupun jamaah mesjid tersebut terkadang hanya seorang imam dan seorang makmum. Bahkan dalam persoalan politik pun, seorang politisi harus memiliki nuansa keislaman yang kental untuk ”bermain” di daerah ini.

Kita dapat mengambil contoh dalam Pilkada provinsi tahun 2005 yang lalu. Pada saat kampanye atau pencalonan, masing-masing kandidat pasti akan menyempatkan diri untuk bersilaturrahim ke seorang Tuan Guru (Kyai). Mereka saling menggalang dukungan di komunitas pesantren dan komunitas religius di pedesaan. Sedangkan di perkotaan, para kandidat berlomba-lomba memberi bantuan kepada mesjid/mushalla dan panti asuhan.

Pada pemilu tahun 2004, Partai Golkar memperoleh suara terbanyak dengan 323.298 suara, disusul oleh PPP dengan 220.735 suara. PKS sendiri menempati peringkat ketiga dengan 166.847 atau sekitar 10,71% dari total suara keseluruhan. PKS mampu memenangkan pemilu di dua kabupaten, yaitu Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan. Sedangkan di Kota Banjarmasin, PKS menempati peringkat kedua dengan 38.606 suara (13,99%).

Adapun pada Pilkada 2005, PKS memilih berkoalisi dengan PAN untuk mengusung Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar Al-Habsyi. Pasangan ini menghadapi empat kandidat lain, yaitu Rudi Ariffin-Rosehan NB (PPP-PKB), Gusti Iskandar SA-Hafiz Anshary (Golkar), Muhammad Ramlan-Baderani (Partai Demokrat-Koalisi partai kecil), dan Sjachriel Darham-Noor Aidi (PDIP-PBR). Hasilnya, Rudi Arifin-Rosehan memenangi pilkada dan menjadi gubernur-wakil gubernur terpilih.

Mari kita analisis hasil pilkada tersebut. Jika kita lihat lebih dalam, ada beberapa fenomena yang terlihat.

Pertama, terbaginya Kalimantan Selatan ke dalam beberapa daerah konsentrasi politik. Daerah pertama adalah daerah Hulu Sungai (HSS-HSU). Daerah ini adalah basis kekuatan PKS, terbukti dengan kemenangan Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar di semua daerah tersebut. Pada pemilu 2004, PKS juga dapat memenangi daerah HSS dan HST, dan menempati peringkat ketiga di HSU.

HSU sendiri adalah basis kekuatan PPP, karena daerah ini adalah kampung halaman KH. Ideham Khalid, mantan Ketua PBNU dan Ketua MPR-RI. Adapun Balangan dan Tabalong, meski termasuk daerah Hulu Sungai, tidak dikuasai PKS. Tabalong adalah basis kekuatan PAN dan Golkar, sedangkan Balangan dikuasai oleh PDIP.

Daerah kedua adalah Kabupaten Banjar dan Tapin. Daerah ini adalah basis kekuatan PKB yang memperoleh kemenangan di Tapin dan menempati peringkat ketiga di Kabupaten Banjar. Dua daerah ini kemudian menjadi lumbung suara Rudi Ariffin-Rosehan yang akhirnya dapat menutupi perolehan suara Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar yang menang di Hulu Sungai.

Daerah ketiga adalah Kotabaru dan Tanah Bumbu. Dua daerah ini secara etnografis merupakan permukiman para transmigran dan mayoritas penduduknya beretnis Bugis. Peta politik di dua daerah ini hampir sama dengan Sulawesi Selatan yang didominasi oleh Golkar. Terbukti dengan kemenangan Gusti Iskandar di Kotabaru. Meski demikian, Tanah Bumbu justru menjadi daerah kemenangan Rudi Ariffin-Rosehan. Selain di daerah ini, Golkar juga memenangi pemilihan di Barito Kuala yang menjadi penyumbang suara terbesar Partai Golkar. Bahkan Golkar mampu mendudukkan kadernya, Hasanuddin Murad, sebagai Bupati di sini.

Daerah keempat adalah daerah perkotaan, yaitu Banjarmasin dan Banjarbaru. Walaupun Golkar memenangkan Pemilu di daerah ini, kita tidak dapat mengklaim bahwa dua kawasan ini adalah basis kekuatan Golkar. Pada pilkada yang lalu, dua kawasan ini bahkan dimenangkan oleh Rudi Ariffin-Rosehan. Meski demikian, PKS dan PAN pun juga memiliki kekuatan yang tak dapat diremehkan, karena mereka mampu mendudukkan kader mereka sebagai walikota dan wakil walikota di Banjarmasin.

Kedua, konsentrasi kekuatan politik tersebut membuat peta politik di Kalimantan Selatan terlihat jelas. Jika kita kaitkan dengan latar belakang sosial-keagamaan pun, keempat daerah di atas memiliki ciri khas tersendiri. Daerah pertama (Hulu Sungai) lebih condong kepada kaum Habaib dan Tuan Guru lokal. Sehingga, orientasi keagamaan lebih condong kepada tuan guru yang berada di Hulu Sungai itu sendiri. Secara politik, mereka lebih condong kepada PPP dan PKS.

Hal ini berbeda dengan latar belakang sosial-keagamaan di Kabupaten Banjar dan Tapin. Walaupun sama-sama berbasis pada NU, tetapi orientasi masyarakat di daerah ini lebih condong kepada pemahaman agama Islam yang dibawa oleh Syekh Arsyad Al-Banjari. Mereka lebih mengorientasikan diri pada figur ulama Martapura atau Kalampayan, seperti Alm. KH. Zaini Ghani (Guru Sekumpul). Secara politik, mereka lebih condong kepada PKB.

Adapun daerah ketiga adalah daerah yang nuansa keagamaannya berbeda dengan daerah di Hulu Sungai atau Martapura. Orientasi keagamaan di daerah ini sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, masyarakat di daerah ini juga memiliki apresiasi yang kurang terhadap partai Islam. Mereka lebih memilih partai yang berbasis nasionalis tetapi membawa nilai-nilai Islam seperti Golkar. Orientasi politik mereka paralel dengan orientasi politik masyarakat Sulawesi Selatan.

Sedangkan daerah perkotaan (Banjarmasin dan Banjarbaru) lebih cenderung heterogen dan terdiferensiasi. Masyarakat di daerah ini memiliki tingkat pendidikan politik yang cukup baik sehingga pandangan politik pun beragam. Kalangan menengah ke atas, misalnya, lebih cenderung ke Golkar, tetapi banyak orang-orang lain dari strata ini yang mendukung partai lain. Kalangan aktivis Mesjid lebih cenderung ke PKS, tetapi aktivis di mesjid-mesjid yang berkarakter Nahdhiyyin cenderung memilih PKB atau PPP. Jadi, terdapat keberagaman yang menyebabkan masyarakat di kawasan ini terfragmentasi ke beberapa kekuatan politik yang agak sulit dipetakan.

D. Implikasi dan Prospek: Mampukah PKS Menjadi Kekuatan Politik Nasional?

Berbicara mengenai prospek ke depan, penulis menganalisis ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan evaluasi PKS. Hal-hal tersebut antara lain:

Pertama, PKS dapat memaksimalkan potensi suara di kantung-kantung suara seperti HSS di Kalimantan Selatan, Depok di Jawa Barat, DKI Jakarta dan sekitarnya, dan Sumatera Utara sebagai modal awal dalam menggalang dukungan di Pemilu 2009. Di daerah-daerah tersebut, PKS meraih kemenangan yang cukup besar pada Pemilu 2004 dan Pilkada. Potensi tersebut dapat dikembangkan melalui aksi simpatik dan pendidikan politik yang efektif, selain komunikasi politik yang intens dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Sekadar mengingat kembali, PKS mampu mendudukkan beberapa kaderya di jajaran kepala daerah seperti Ardiansyah, SHut sebagai Wakil Bupati HSS, Abdul Gani Kasuba, Lc. sebagai Bupati Halmahera Selatan, Drs. Alwi Sahlan, M.Si. sebagai Wakil Walikota Banjarmasin, Dr. Ir. Nurmahmudi Ismail, M.Sc. sebagai Walikota Depok, Ahmad Heryawan, Lc. sebagai Gubernur Jawa Barat, dan Gatot Pujo Nugroho sebagai Wakil Gubernur Sumatera Utara. Ini berarti, PKS telah memiliki potensi yang cukup besar untuk melipatgandakan suara pada Pemilu 2009.

Kedua, PKS perlu memperhitungkan para pemilih pemula. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah pemilih yang berusia cukup muda dan tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai. Sementara pemilih tua banyak yang telah meninggal dunia atau memiliki preferensi politik tertentu. Caranya, PKS dapat mengoptimalkan event-event dakwah yang akrab dengan kawula muda dan mencerminkan kepedulian terhadap penyelamatan generasi muda dari fenomena loss generation.

PKS juga dapat mengoptimalkan peran aktivis-aktivis dakwah, baik di kalangan kampus atau sekolah. Hal ini beranjak dari pengalaman DKI Jakarta dan Jawa Barat di mana potensi mahasiswa UI yang memang didominasi oleh aktivis dakwah dapat memberi sumbangan suara yang signifikan bagi PKS. Apalagi berbagai kampus di DKI Jakarta sejak lama telah dibina oleh Tarbiyah, apalagi di UI yang selalu meloloskan kader-kader dakwah sebagai pimpinan organisasi mahasiswa sejak era Eep Saefullah Fatah sampai era Edwin Nofsan Naufal sekarang (Sidiq, 2003).

Hal tersebut dapat dilakukan karena PKS memiliki basis kader yang cukup kuat dari kalangan aktivis mahasiswa atau orang-orang yang pernah berkecimpung dalam gerakan tersebut. Di kalangan tua kita mengenal Soeripto yang dulu pernah aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dalam menentang PKI pada tahun 1965. Beliau dulu memegang bendera Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) yang merupakan underbouw dari Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir (Setiawanto dkk, 2001). Namun, beliau aktif di dakwah kampus sejak tahun 1998 dan sekarang menjadi anggota legislatif dari PKS.

Di kalangan muda sendiri cukup banyak aktivis mahasiswa yang bergabung di PKS. Sebut saja Fahri Hamzah, SE (Ketua Umum KAMMI tahun 1998), Fitra Arsil, SH, MH (Ketua KAMMI 1998-2000), Andi Rahmat, SE (Ketua KAMMI 2000-2002), Rama Pratama, SE, Ak (Ketua SM UI 1997-1998), Haryo Setyoko (Ketua BEM UGM 1997-1998), atau Dr. Zulkiflimansyah, SE, M.Sc. (Ketua SM UI 1995-1996). Mereka banyak yang terlibat dalam pendudukan gedung DPR-MPR tahun 1998 yang berhasil membuat Soeharto mundur dari jabatannya (Sidiq, 2002).

Ketiga, PKS perlu melakukan konsolidasi-konsolidasi di level pusat maupun daerah. Konsolidasi ini dapat berbentuk (1) melakukan kegiatan yang melibatkan kader dalam magnitude massa yang besar; (2) melakukan kaderisasi dengan ekspos media massa yang tepat; atau (3) melakukan aksi-aksi sosial yang tidak menggunakan tenaga kader yang terlalu banyak tetapi mampu menarik simpati kalangan grass-root.

Konsolidasi ini bukan dimaknai sebagai unjuk kekuatan PKS jelang pemilu 2009, melainkan sebagai media sosialisasi PKS di masyarakat. PKS dengan sistem kaderisasi yang terarah memiliki kemungkinan besar untuk melakukan konsolidasi ini. Terlebih, militansi dan kedisiplinan kader yang terbina melalui liqo’ harian juga cukup kuat. Sehingga, PKS diharapkan dapat lebih terjun ke masyarakat untuk sosialisasi. Kasus pilkada Jawa Barat menjadi contoh nyata.

Tiga poin ini penulis tawarkan untuk kepada PKS agar perolehan suara PKS dapat memenuhi target pada 2009 nanti. PKS sebagai salah satu kekuatan politik nasional harus tetap konsisten dengan visinya untuk membangun negeri yang sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan PKS di lembaga-lembaga politik, baik eksekutif maupun legislatif, sangat diperlukan. Maju terus PKS, maju terus kekuatan politik dakwah!


Daftar Pustaka

Bastoni, Hepi Andi, 2006. Penjaga Nurani Dewan, Lebih Dekat dengan 45 Anggota DPR-RI Fraksi PKS. Bogor: Al-Bustan.

philosofi of money 1

Oleh : Ust. Anis Matta, Lc.

Bismillah,
Ikhwan dan Akhwat sekalian,

Alhamdulillah kita dipertemukan oleh Allah dipagi hari ini, walaupun kemarin saya ragu- ragu apakah saya bias hadir hari ini atau tidak. Istri saya sakit demam berdarah dan dirawat dirumah sakit hingga hari ini. Alhamdulillah hari ini ada perbaikan sedikit dan bias ditinggal. Selain itu, rasanya sudah rindu sama antum semuanya karena cukup lama tidak kesini. Sebenarnya saya punya rencana kunjungan kesini pada bulan januari yang lalu dalam rangkaian jaulah ke 13 DPW bersama 13 pengurus Bidang Kaderisasi dan Bidang Pembinaan Wilayah. Rencana itu dibatalkan karena saat itu sedang musim pesawat jatuh, jadi ada 8 DPW yang kita pending perjalanannya termasuk ke kota Pekan Baru ini.

Ikhwan sekalian.
Pagi ini kita bicara tentang uang. Sudah lama sekali saya mengusulkan bagian kurikulum di departemen kaderisasi untuk memasukkan pokok bahasan tentang uang. Gagasan- gagasan itu mulai muncul ketika saya dahulu berada diawal dakwah ini. Salah satu pekerjaan yang saya lakukan adalah Lajnah Minhaj, di Bidang Kaderisasi bersama kang Aus. Saat itu, saya ikut menyusun beberapa Materi Tahmidi H1, H2. Kita memang tidak pernah berfikir untuk menyusun satu materi tentang uang karena yang ada dibenak kita bahwa bagian- bagian dari tarbiyah itu adalah tarbiyah ruhiyah, tarbiyah fikriyah dan tarbiyah jasadiyah. Ketika kita membuat partai, kita menambah sedikit yaitu materi tarbiyah siyasiyah.

Jadi Kalau wasilah dari tarbiyah ruhiyah itu banyak, ada Lailatul Katibah juga mutaba’ah yaumiyah. Wasilah tarbiyah fikriyah juga banyak tatsqif dan macam- macam. Tarbiyah Jasadiyah ada latsar ada mukhoyam. Tarbiyah siyasiyah sudah dengan sendirinya karena ada wasilah berupa partai. Tapi kita semuanya menghadapi suatu benturan realita yang disebabkan karena ada missing link dalam system berfikir kita. Ada satu kosa kata yang tidak masuk kedalam benak kita padahal itu sangat menentukan masa depan kita yaitu uang. Jika ada yang bertanya kenapa kita miskin maka jawabannya karena memang kita tidak belajar masalah uang.

Ikhwan sekalian
Salah satu gejala benturan budaya yang sering kita lihat muncul bersama munculnya orang- orang setengah kaya baru. Tapi itu tidak disebabkan karena bibit- bibt kemiskinan itu memang ada dalam diri kita, ada dilingkungan kita, bahkan ketika kita mulai membuat partai. Padahal kita belum kaya dan memang belum kaya. Apabila kita memakai standard Kiyosaki, masuk dalam tahap amanpun belum. Tapi sudah dianggap hanya kayak arena sdikit beda dengan teman- teman ikhwah yang lain. Kita dianggap kaya karena memiliki mobil padahal mobil itu kebutuhan pokok dalam fiqih Islam. Kita juga dianggap kaya karena bias bangun rumah, padahal itu indicator dari garis kemiskinan. Rasulullah mengatakan “Cukuplah bagi seorang Muslim itu bahwa dia punya sebuah rumah dan seorang pembantu”. Jadi, rumah itu sama dengan pakaian. Hanya saja, dilingkungan kita, banyak yang mempunyai anggapan, orang disebut kaya kalau sudah punya rumah.

Ikhwah sekalian
Oleh karena itu, banyak sekali yang bolong dalam tsaqafah kita tentang uang. Kita bukan hanya salah membuat persepsi- persepsi itu, tetapi juga terkadang mempunyai kecenderungan anti uang. Kalau istilah Ust Rahmat Abdullah ikhwah itu sabar menderita tapi tidak sabar melihat orang lain lebih kaya. Makanya mudah muncul gossip dikalangan orang yang punya sedikit kelonggaran secara financial, apalagi kalau sebab kelonggaran finansialnya itu karena dia menjadi anggota dewan. Jadi pada tahun 1999, saya jadi ketua tim khusus. Pada waktu itu sebagai Sekjen saya tahu persis dimana letak daerah kuatnya PKS kalau saya mau jadi anggota dewan.

Ketika itu saya dicalonkan dari Bandung, Jakarta dan Sulawesi Selatan atas usul DPW masing- masing. Nah, pilihan tertinggi jatuh pada Sulawesi Selatan. Waktu itu saya belum mau jadi anggota dewan karena saya belum punya rumah dan mobil. Saya tidak tidak mau bila nanti ada persepsi bahwa saya punya mobil dan rumah karena jadi anggota dewan. Oleh karena itu saya pilih Sulawesi Selatan. Jika saya pilih Bandung atau Jakarta pasti saya terpilih jadi anggota dewan pada tahun 1999.
Saya mengerti persepsi- persepsi, gossip dan fitnah tentang harta dikalangan kita itu banyak disebabkan tsaqafah yang bolong tentang uang. Jadi, kita bukan hanya tidak berbakat jadi kaya tapi juga tidak senang dengan orang kaya dan cenderung anti kekayaan.

Kapan saatnya kita mulai mengalami benturan keuangan. Yang pertama setelah kita punya anak. Dahulu waktu saya kuliah, kita dimotivasi untuk cepat menikah oleh para murabbi kita, dengan satu alasan kemaksiatan sudah merajalela disekitar kita, daripada kita berzina lebih baik kita menikah. Kalau kita berargumen lagi bahwa kita belum ada pekerjaan karena kita masih kuliah, jawabannya adalah: tawakkal ‘alallah, innallaha Ghoniy, selurh alasan- alasan aqidah dikerahkan untuk mendorong kita nikah.

Sebagian besar angkatan saya menikah ditahun pertama waktu kuliah. Saat itu saya belum menikah. Ditahun kedua lebih lebih banyak lagi yang menikah, saya belum menikah. Ditahunketiga lebihbanyak lagi yang menikah. Saya termasuk yang telat menikah pada waktu itu.

Tapi kemudian kita menemukan fakta bahwa ikhwah-ikhwah yang menikah semasa kuliah itu sebagian besar angka pelajarannya jeblok karena disibukkan dengan dakwah juga harus mencari ma’isyah. Saya menikah ditahun keempat setelah angka saya stabil karena naik satu point lagi. Dosen saya sampai mengatakan, kalau kamu ambil Master, menikah satu kali lagi. Ada ikhwah yang mengatakan kepada saya, Masya Allah, Antum ini merencanakan sesuatu dengan detail. Saya bilang antum punya semangat tapi tidak punya rencana bagus.

Jadi kita semua mulai mengenal uang dan mempunyai persepsi bahwa uang itu perlu ketika anak kita menangis. Ketika saya dating ke calon mertua –saat itu beliau anggota DPR dan sudah 17 tahun menjadi petinggi Golkar- untuk melamar, dia bertanya kepada saya: “Anak saya mau dikasih makan apa?” Saya bilang mungkin saya tidak share dirumah bapak tapi Insya Allah tidak makan batu. Kemudian dia bertanya lagi, “Pendapatan kami berapa?” Saya jawab, saya ada beasiswa 200 ribu perbulan. “Selain itu apa lagi?” Saya bilang tidak ada. “Masih kuliah”. Tapi waktu itu istri saya mengancam, kalau tidak kawin dengan saya, dia tidak mau kawin lagi. Akhirnya kita menikah juga. Jadi kita ini ikhwah learning by accident. Belajar dari benturan.

Ikhwah sekalian
Rasanya saya sendiri sebenarnya tadinya tidka pernah tertarik mengenal uang lebih jauh. Karena 6 tahun saya di Pesantren juga tidak pernah belajar uang. Lima tahun setengah kuliah di LPIA Fakultas Syari’ah juga tidak pernah belajar uang kecuali 1 bab dalam pelajaran Fiqh yaitu kitab zakat, itupun dalam orientasi Amil Zakat, tidak ada orientasi menjadi muzakki. Saya mulai tertarik dengan uang setelah mengalami benturan diawal tadi saya ungkapkan, juga benturan ketika saya di Sekjen. Setelah jadi Sekjen itulah saya mulai menilai ada suatu masalah besar yang akan kita hadapi kalau masalah- masalah ini tidak selesai. Sejak itulah saya mempelajari hal ini. Sebelumnya meskipun saya mengajar Ekonomi Islam di UI, banyak belajar dan membaca masalah- masalah ekonomi, juga banyak membaca buku- buku bisnis dan bergaul dengan orang- orang bisnis, saya belum seberapa tertarik secara labgsung dan punya perhatian secara khusus terhadap masalah uang. Ketertarikan itu mulai muncul setelah mengalami benturan betapa sulitnya kita mendanai aktifitas kita setelah kita terjun di perpoloitikan ini.

Ikhwah sekalian
Saya ingin bicara 3 point supaya kita lebih terarah dalam soal uang.
Pertama, Mengapa Islam menyuruhkita kaya
Kedua, Mencari penjelasan tentang mengapa kita miskin
Ketiga, Bagaimana kita mulai merekonstruksi kehidupan financial kita.
Ibnu Abid Duni menjelaskan beberapa alas an tentang mengapa kita semua diperintahkan menjadi kaya dalam Islam itu. Alasan Pertama, karena harta itu tulang punggung kehidupan. Makanya orang kalau punya harta punggungnya rada bungkuk sedikit. Antum lihat orang-orang Amerika kalau dating ke sini tegap-tegap semua kan, karena punya duit. Pejabat-pejabat keuangan kita kumpul di CGI tunduk-tunduk semua, karena mau pinjam duit. Allah mengatakan “Janganlah kamu berikan harta- harta kamu kepada orang-orang bodoh (orang-orang yang tidak sehat akalnya) yaitu harta harta yang telah Allah jadikan kamu sebagai yang membuat punggung tegap”. Jadi Hidup kita tidak normal begitu kita tidak punya uang. Kita pasti punya banyak masalah begitu kita tidak punya uang.

Alasan kedua, peredaran uang itu adalah indicator keshalehan atau keburukan masyarakat. Apabila uang itu beredar lebih banyak ditangan orang- orang jahat maka itu indikasi bahwa masyarakat itu rusak. Apabila uang itu beredar di tangan orang- orang shaleh maka itu indikasi bahwa masyarakat itu sehat.
Masyarakat Indonesia ini rusak salah satu indikasinya karena karena orang- orang shalehnya sebagian besar adalah para fuqara wa masakin. Ahlul Masjid dinegeri ini terdiri atas fuqara wa masakin. Bahkan sebagian besar orang mungkin mengunjungi masjid bukan karena benar- benar ingin ke Masjid, melainkan karena tidak punya tempat untuk dipakai mengaktualisasikan diri. Antum lihat orang- orang tua yang dating kemasjid biasanya orang yang kalah dalam pergulatan social. Kalau dia tentara, biasa setelah pension baru dia ke masjid. Kalau dia pedagang biasanya setelah dia bangkrut baru dia ke masjid.

Rasulullah SAW mengatakan “ Sebaik- baik uang itu adalah uang yang beredar diantara orang- orang shaleh”’ Jad Apabila kita yang ada disini tidak mengendalikan uang yang ada di Riau, itu adalah tanda- tanda yang tidak bagus. Kenapa? karena kalau uang itu berada ditangan orang- orang shaleh maka uang itu akan mengalir di saluran- saluran yang baik. Kalau ibu- ibu disini dibagikan 1 Milyar kira- kira uang itu akan diapakan. Buat daftar belanjanya. Antum bias lihat semuanya itu belanja kebaikan. Pertama, pasti akan dipakai untuk potongan partai. Coba lihat anggota DPR, begitu jadi anggota dewan yang pertama potongan buat partai.

Waktu itu ada teman dari Golkar dan PPP, “Itu dana konstituen diapakan?” Kita jawab itu tidak lewat kita, melainkan langsung ke Dapil (Daerah Pemilihan). Uang yang masuk ketangan orang shaleh pasti mengalirnya di kebaikan juga. “Kalau gajinya berapa dipotong? Kalau di Golkar Cuma 2,5 juta per bulan dipotong”. Kalau di PKS itu bias 50 sampai 60 % dipotong. Jadi antum lihatdaftar belanjanya orang shaleh. Kedua, untuk rihlah, kemungkinan itu pergi umrah atau menghajikan keluarga atau naik haji sendiri.

Bapak- bapaknya pun kalau punya uang 1 Milyar, tidak jauh- jauh dari situ juga; infak buat partai, menyenangkan keluarga, dan operasional pribadi untuk dakwah pribadinya juga. Semuanya di jalur kebaikan. Bila ada kenikmatan, tidak mungkin dia pergi judi. Tidak mungkin juga dia pergi ke tempat prostitusi, paling- paling dia cari jalur halal.

Tapi coba sebaliknya, kalau uang itu beredar ditangan orang jahat, larinya juga pada kejahatan. Salah seorang saudara saya cerita, waktu itu ada seorang kaya sangat kaya di daerah Indonesia. Orangnya masih hidup sekarang. Dia punya private jet. Saking kayanya, dia suka main judi ke London. Pesawat private jet itu jenis Boeing. Jadi kalau pergi dia membawa rombongan, biasanya dia parker disana 1 minggu atau 2 minggu. Itu kalau parker, kan bayar. Selama dia main judi, dia persilahkan teman- temannya yang ingin pakai pesawatnya, seperti layaknya meminjamkan mobil. Sekali main, biasanya bias rugi samapai 5 juta dollar, meskipun kadang- kadang untung 8 juta dollar. Sekali waktu mereka main kesana, sudah beberapa hari kangen dengan Nasi Padang. Dia bilang ke Pilotnya tolong ke Singapore beli Nasi Padang terus balik lagi ke London. Begitulah cara mereka mengunakan uang.

Kalaupun orang kaya itu muslim, tidak berjudi, tapi dia tidak punya visi dakwah, dan dia tidak punya visi dakwah, dan tidak hidup untuk satu misi besar dalam hidupnya, dia pasti akan menggunakan uangnya untuk kesenangan pribadi, seperti perhiasan dan seterusnya. Saya punya kawan, kalau dia pakai seluruh perhiasannya kira- kira sekitar 2 juta dollar di badannya, cincinnya 1 juta dollar. Mobilnya ½ juta dollar, jam tangannya bias sampai 2 milyar. Adalagi temannya kira- kira punya 200-an jam tangan. Sebuah jam tangan itu harganya kira- kira 2 milyar.

Lebih buruk lagi, kadang- kadang orang kaya yang tidak baik memakai uangnya untuk memerangi kebeikan. Itulah yang terjadi ketika orang- orang Yahudi memegang kendali keuangan dunia. Maka dari itu menjadi kaya itu bagi kita adalah satu keharusan, untuk mengembalikan keseimbangan social, kehidupan ditengah- tengah kita.

Ketiga, terlalu banyak perintah syariah yang hanya bisa dilaksanakan dengan uang. Antum lihat 5 rukun Islam, Syahadat tidak pakai uang, sholat tidak pakai uang, puasa tidak pakai uang tapi zakat dan haji pakai uang. Kalau 200 ribu orang umat Islam Indonesia tiap tahun pergi haji. Rata- rata mengeluarkan 5000 dollar, coba antum kalikan berapa banyak uang yang beredar untuk melaksanakan satu ibadah. Belum lagi Jihad. Jadi kita tidak bias berjihad kecuali dengan uang. Misalnya kita di Indonesia sekarang mau pergi ke Palestina untuk pergi berperang, tenaga kita tidak diperlukan karena tenaga sudah cukup dengan ada yang disana. Rasul Mengatakan “Siapa yang menyiapkan seorang bertempur maka dia juga dapat pahala perang”.

Jadi banyak sekali perintah- perintah Islam yang memerlukan uang. Waktu Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, diantara hadits- hadits pertama yang beliau smapaikan pada waktu itu adalah Afsussalam wa ath’imu tho’am. Jadi mentraktir itu tradisi nabawiyah. Sering- seringlah mentraktir karena itu perintah Nabi, dan ini turunnya di Madinah pada saat menjelang mihwar daulah. Kira- kira di jaman kita inilah, di mihwar dakwah sekarang. Washilul arham dan sambung dhilaturrahim. Antum akan melihat nanti di akhir penjelasan saya nanti bahwa cirri- cirri orang maju itu salah satunya adalah kalau belanjanya dalam 3 hal lebih besar daripada belanja kebutuhan lauk- pauknya, salah satunya belanja komunikasi. Jadi kalau biaya pulsa kita lebih tinggi itu indicator yang baik. Itu artinya silahturrahim kita jalan. Jangan missed call, suruh orang telpon balik.

Keempat, Karena harta itu adalah hal- hal yang dibanggakan oleh manusia sehingga menentukan strata social. Antum akan lebih berwibawa dan didengar orang kalau punya uang. Apabila tidak punya uang, biasanya kita juga biasanya jarang didengar oleh orang. Misalnya dalam keluarga. Antum bersaudara ada 7 orang. Kalau kontribusi financial antum dalam keluarga itu tidak banyak dan bila antum satu- satunya da’I dalam keluarga, dakwah antum juga kurang didengar oleh keluarga. Karena disamping ingin mendengarkan nasihat yang baik orang juga ingin mendapatkan uang yang banyak. Hadiah- hadiah pada hari lebaran, infaq- infaq dan seterusnya dan itu biasanya melancarkan dakwah kita.

Saya hadir pada suatu waktu di sidang Ikatan anggota Parlemen Negara- Negara OKI. Setiap kali ada waktu bertanya yang paling pertama diberi kesempatan bertanya itu utusan dari Arab Saudi, sedangkan utusan dari Negara miskin seperti Maroko atau Tunisia biasanya tidak dapat giliran, kalau bukan sendiri yang angkat tangan. Masalah harta ternyat juga berpengaruh pada hal- hal seperti itu.

(Bersambung Ke Bagian 2)

Halaqoh

RUHANIYYAAT AL-HALAQAH
Posted by: Editor on Monday, July 10, 2006 - 08:00 PM
Tarbiyah Islamiyah Dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu- ia berkata: "Rasulullah SAW bersabda: '. dan tidak ada satu kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah, mereka membaca kitab Allah, dan melakukan kajian terhadapnya diantara sesama mereka, kecuali akan turun kepada mereka sakinah, mereka akan diliputi rahmat, majlis mereka akan dikelilingi para malaikat dan Allah SWT menyebut mereka di tengah orang-orang yang ada di sisi-Nya .'" (Hadits shahîh diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Ruhaniyyaat Al-Halaqah

Oleh : Musyaffa' Ahmad Rahim, Lc.

Mungkin judul ini terasa aneh. Sebab, biasanya, ruhâniyyât, atau spiritualitas, terkait dengan individu, dan tidak dikaitkan dengan kelompok, group, halaqah, klub pengajian dan semacamnya.

Kesan individualitas spiritual itu bisa jadi karena dua hal, yaitu :
• Adanya doktrin yang menekankan bahwa agama, termasuk di dalamnya masalah spiritualitas, adalah sesuatu yang bersifat private (pribadi).
• Bahwa spiritualitas itu memiliki hubungan erat dengan ibadah, dan ibadah "sudah kadung (terlanjur)" difahami sebagai tanggung jawab pribadi. Wallâhu a'lâm.

Sebenarnya, masalah ruhâniyyât atau spiritualitas, dalam Al-Qur'ân Al-Karîm, sering sekali dibahasakan secara jamâ`î (kolektif), hal ini tampak jelas misalnya dalam surat Al-Fâtihah. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa jama` (plural), misalnya: iyyâka na`budu wa iyyâka nastaîn, ihdinâ al-shirâth al-mustaqîm (hanya kepada-Mu - ya Allah - kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus).

Ruhâniyyât halaqah atau dan semacamnya memiliki kedudukan sangat penting, sebab, jika hal ini hilang, maka halaqah atau akan menjadi kering dan kehilangan keberkahannya. Akibat selanjutnya sangat banyak dan beragam, diantaranya adalah hayawiyyah (dinamika), efektifitas dan produktiftas halaqah atau menjadi kerdil atau mandul.

Lalu, seperti apakah ruhâniyyât halaqah ini?

Ada banyak dalil yang menjelaskan hal ini, diantaranya adalah dua hadits nabi Muhammad SAW yang akan kita bahas ini, yaitu:

Pertama:

Rasulullah SAW bersabda:

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu- ia berkata: "Rasulullah SAW bersabda: '. dan tidak ada satu kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah, mereka membaca kitab Allah, dan melakukan kajian terhadapnya diantara sesama mereka, kecuali akan turun kepada mereka sakinah, mereka akan diliputi rahmat, majlis mereka akan dikelilingi para malaikat dan Allah SWT menyebut mereka di tengah orang-orang yang ada di sisi-Nya .'" (Hadits shahîh diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Ruhâniyyât yang harus dipenuhi adalah:
• Sekelompok orang berkumpul (halaqah, klub dan semacamnya)
• Berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid, mushalla, langgar, surau dan semacamnya).
• Tilawah Al-Qur'ân (membaca Al-Qur'ân).
• Melakukan kajian terhadap Al-Qur'ân.

Jika keempat hal ruhâniyyât ini terpenuhi, maka akan membawa dampak (keberkahan) sebagai berikut:
• Sakînah (ketenangan, ketenteraman) akan turun kepada mereka.
• Rahmat Allah SWT akan turun kepada mereka, bahkan menyelimuti dan memenuhi majlis mereka.
• Majlis mereka akan dikelilingi oleh para malaikat.
• Nama-nama mereka akan disebut-sebut di sisi Allah SWT.

Kita perlu introspeksi, adakah selama ini kita merasakan dampak (baca: keberkahan-keberkahan) seperti ini?

Jika ya, alhamdulillâh. Jika tidak, maka kita perlu mengaca diri, adakah empat syarat yang disebutkan oleh hadits nabi di atas ada pada halaqah atau kita?

Kalaulah syarat masjid belum bisa kita penuhi pada setiap liqâât kita, maka, setidaknya, setiap pekan ada majlis ilmu di masjid yang mesti kita hadiri, agar dalam pekan itu, kita mendapatkan keberkahan-keberkahannya. Atau minimal, kita tidak kehilangan tiga (3) syarat lainnya.

Atau, hilangnya dampak (baca: keberkahan) halaqah atau kita disebabkan oleh agenda yang ada dalam setiap liqâât kita, dimana pada agenda-agenda kita tidak ada lagi suasana tilawah (kecuali sekedar pembuka, atau "sambil menunggu" yang belum hadir), tidak ada lagi suasana kajian terhadap kitab Allah?! Dan sudah sudah didominasi oleh suasana lain?! Marilah kita berintrospeksi!

Kedua:

Rasulullah SAW bersabda:

Dari Abû Umâmah Al-Bâhilî -radhiyallâhu `anhu- ia berkata: Di sisi Rasulullah SAW disebutlah dua orang; salah satunya seorang ahli ibadah, dan seorang lagi seorang `âlim, lalu Rasulullah SAW bersabda: "Kelebihan seorang `âlim atas seorang ahli ibadah adalah seperti kelebihan saya atas orang paling rendah di antara kalian", kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat-Nya, seluruh penghuni langit dan bumi, termasuk semut di dalam lubangnya, dan ikan di lautan, semuanya membacakan shalawat untuk pengajar kebajikan kepada manusia". (H.R. Al-Tirmidzî, dan ia berkata: "Ini adalah hadits hasan gharîb shahîh)[1].

Ruhâniyyât yang harus dipenuhi oleh hadits ini adalah:
• Berilmu (`âlim). Tentunya, yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu-ilmu yang diwariskan Rasulullah SAW, yaitu ilmu al-kitâb (Al-Qur'ân) dan al-hikmah (sunnah Rasulullah SAW), dan tentunya, termasuk segala ilmu yang bersumber kepada dua ilmu warisan Rasulullah SAW.
• Mengajar, sebagaimana peran yang dulu dilakukan Rasulullah SAW.
• Yang diajarkan adalah segala kebajikan, baik kebajikan duniawi, apa lagi ukhrawi.

Dampak (baca: keberkahan) yang terjadi adalah:
• Allah SWT membacakan shalawat untuknya.
• Para malaikat membacakan shalawat untuknya.
• Termasuk seluruh penghuni langit dan bumi.
• Termasuk semut yang ada di dalam lubangnya.
• Termasuk ikan yang ada di dalam lautan.

Jika selama ini kita tidak (belum) merasakan semua keberkahan ini, bisa jadi karena suasana ilmiah tidak terjadi di dalam halaqah kita.

Semoga kita semua segera bisa membenahi suasana halaqah kita, agar segala keberkahannya bisa kita dapatkan, amin.

tarbiyah makrifatullah

INGKASAN PENGANTAR KAJIAN MA'RIFATULLAH
Posted by: Editor on Saturday, August 19, 2006 - 04:11 AM
Tarbiyah Islamiyah “Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah.“…” (Q. S. Ar Ra’d (13) : 16)

RINGKASAN PENGANTAR KAJIAN MA'RIFATULLAH


Pembahasan ini merupakan pembahasan yang wajib diketahui oleh setiap muslim, sebagaimana wajibnya seorang muslim untuk mengenal Tuhannya, Allah Swt. Pembahasan ini merupakan pengantar dari kajian Ilmu Tauhid (Ke-Esa-an Allah Swt.) dan berdampingan dengan pembahasan mengenai Ma’rifatul Insan (mengenal manusia). Diharapkan dengan menguasai kajian-kajian tersebut seorang hamba dapat lebih mengenal dirinya sebagai hamba dan bagaimana seharusnya bersikap sebagai hamba, dan juga lebih mengenal Tuhannya, Allah Swt., sehingga ia mengetahui bagaimana ia bersikap di hadapan Tuhannya serta beribadah sesuai dengan apa yang dikehendaki Nya menurut apa yang disukai Nya.

Sebagai contoh dari harapan pembahasan ini adalah mengenal (salah satu) Sifat Allah Swt., bahwa Ia Swt. adalah Maha Besar dan sebaliknya bahwa manusia penuh dengan kelemahan. Setelah mengetahuinya diharapkan seorang hamba akan dapat merasakan Kebesaran Allah Swt. dan merasakan kelemahan dirinya sehingga tidak ada lagi padanya sifat sombong, merasa hebat, merasa besar, merasa paling benar dsb.

Begitu pula dengan memahami bahwa Allah Swt. adalah Sang Pemberi Rezeki misalnya, maka diharapkan dapat menghilangkan pula sifat ketergantungan seorang hamba kepada hamba yang lainnya dari sisi ekonomi yang menyebabkannya dapat terjajah baik secara fisik, ideologi, pemikiran, sosial, politik atau yang lainnya.


I. LINGKUP PEMBAHASAN
Dalam materi (awal) Ma’rifatuLlah ini lingkup pembahasan dibatasi kepada pengertian Rabb, di mana Allah Swt. adalah Rabb seru sekalian alam. Adapun pengertian Rabb adalah Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pengatur dan Pemberi Rezeki, di mana kita sebagai muslim mengetahui dan meyakini permasalahan ini adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi.

Allah Swt. berfirman:

“Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah.“…” (Q. S. Ar Ra’d (13) : 16)

“Allah menciptakan segala sesuatu…” (Az Zumar (39) : 62)

“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberinya rizkinya…” (Q. S. Hud (11) : 6)

“Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah". Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.” (Q. S. Al An’aam (6) : 12)

Pengertian Allah Swt. sebagai Rabb seru sekalian alam ini pun diakui oleh orang-orang kafir jahiliyyah sebagaimana tertera dalam ayat:

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: ’Allah’,…” (Q. S. Az Zukhruf (43) : 87)

Bahkan iblis, makhluk yang telah dilaknat Allah Swt. seperti yang tertera dalam Al-Quran, juga mengakui hal ini sebagaimana tertera dalam ayat berikut:

“…Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Q. S. Al A’raaf (7) : 12)

Dari sini terlihat bagaimana sangat mengherankan jika kita melihat dalam kenyataan, adanya orang yang tidak mengakui keberadaan Allah Swt. atau tidak mengakui Allah Swt. sebagai Pencipta (na'uudzubiLlah). Karena seperti terlihat jelas dalam ayat di atas, bahkan iblis pun mengakui bahwa Allah Swt. telah menciptakannya dari api. Dalam ayat tersebut pun terlihat bagaimana iblis juga mengakui bahwa kelebihan yang dimilikinya merupakan pemberian murni dari Allah Swt. (namun iblis menolak taat kepada Allah Swt. yang menyebabkannya menjadi terlaknat – na’uudzubiLlah). Lalu dimanakan derajat orang yang tidak mengakui eksistensi Allah Swt.? Sekali lagi: Na’uudzu biLlahi min dzaalik.


II. KEKUATAN DALIL
Eksistensi Allah Swt. sebagai Rabb seru sekalian alam ini dikuatkan oleh berbagai dalil-dalil dan bukti-bukti yang kuat yang telah disiapkan Allah Swt. untuk manusia dalam berbagai bentuk bagi orang-orang yang mau menggunakan akalnya dan menggunakan petunjuk yang telah diberikan kepadanya.

a. Dalil Naqli (Al Quran dan As Sunnah)
Begitu banyak dalil dalam Al Quran yagn menyatakan bahwa Allah Swt. adalah Pencipta, Pemelihara, Pengatur, Penguasa seluruh alam semesta seperti yang telah banyak disebutkan di atas. Dalam firman Nya yang lain, bahkan Allah Swt. memperkuat persaksiannya seperti terlihat dalam ayat:

Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)". (Q. S. Al An’aam (6) : 19)


b. Dalil ‘Aqli (Rasio / akal)
Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (Q. S. Ali ‘Imraan (3) : 190)

Begitu banyak bukti Kebesaran Allah Swt. yang dengan mudah akan kita dapati di sekeliling kita, atau bahkan lebih dekat lagi, yaitu pada diri-diri kita. Bagaimana Allah Swt. telah dengan sempurna menciptakan alam raya ini dengan sedemikian teraturnya, sedemikian sempurnyanya yang semuanya tidak lain hanya menunjukkan Kebesaran Nya semata.

Seorang cendekiawan Turki terkemuka, Harun Yahya, dalam salah satu karyanya menerangkan bagaimana fakta penciptaan yang ada sangat menunjukkan keberadaan Sang Pencipta, Allah Swt. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah contoh kasus sederhana, di mana beberapa makhluk tertentu (serangga, dari salah satu jenis lalat) memiliki kemampuan untuk menyerupai makhluk lain yang dapat menakut-nakuti hewan pemangsa.

Dari contoh kasus kecil ini terlihat bagaimana seekor serangga kecil yang tidak memiliki jaringan otak yang memadai untuk berpikir dapat melakukan sebuah aksi yang menakjubkan dalam mengusir pemangsanya dengan menyerupai hewan lain yang ditakuti oleh si pemangsa.

Pertanyaannya adalah: Riset seperti apakah yang sudah dilakukan si serangga tersebut sehingga ia bisa mengetahui apa yang ditakuti lawannya dengan otaknya yang sedemikian kecilnya? Berapa lama dia melakukan riset tersebut padahal kebanyakan serangga hanya berumur beberapa minggu saja? Dari manakah ia mendapatkan data tentang hewan yang ditakuti pemangsanya tadi? Dan jika semua itu telah didapat, bagaimanakah ia mempersenjatai dirinya dan melengkapi dirinya dengan perangkat-perangkat yang dapat membuatnya menyerupai hewan yang ditakuti pemangsa tadi (padahal perangkat tersebut tidak lain adalah anggota tubuhnya sendiri yang telah dimilikinya sejak ia ada di muka bumi ini)?

Sungguh, dalam setiap penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda Kebesaran Allah Swt. bagi orang-orang yang berakal. Benarlah Allah Swt. dan Rasul Nya saw.


c. Dalil Fithrah (Bukti Fitrah)
Setiap fitrah manusia yang lurus akan mengakui keberadaan Rabbnya dan Rabb seru sekalian alam, Allah Swt. Hal ini digambarkan oleh NabiyuLlah Ibrahim as. ketika dalam ‘masa pencarian’nya seperti terlihat dalam ayat berikut:

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.” (Q. S. Al An’aam (6) : 76 – 79)

Selain itu, jauh sebelum manusia diturunkan ke muka bumi, Allah Swt. telah mengambil persaksian dari setiap jiwa untuk mengakui Allah Swt. sebagai rabbnya. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran pada ayat:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (Q. S. Al A’raaf (7) : 172)


III. BUAH DARI MENGENAL ALLAH SWT.
Hasil yang diharapkan dari kita mengenal Allah Swt. adalah bertambahnya iman dan takwa kita kepada Nya, yang semuanya tercermin dalam setiap betikan hati kita – baik dalam niat ataupun yang lainnya, tutur kata kita dan tingkah laku serta amalan kita. Hal ini menyebabkan kita dapat meraih manfaat-manfaat besar lainnya yang Allah Swt. anugerahkan , baik di dunia maupun di akhirat.

1. Manfaat Di Dunia
a. Al-Hurriyah (Kebebasan) dan al-Amn (Keamanan)
Kebebasan bagi orang yang mengenal Allah Swt. didapatnya dengan bebasnya diri hamba tersebut dari keterikatan dan ketundukan kepada selain Allah Swt. Dengan mengenal Allah Swt. sebagai Pemberi Rezeki contohnya, dapat menjadikannya bebas dari sifat-sifat rendah seperti tamak, keinginan memiliki yang bukan miliknya atau bebas dari keterjajahan dari negara penghutang misalnya. Mereka pun merasa aman karena mengetahui bahwa Allah Swt. adalah Pengatur segala sesuatu yang tidak akan terjadi sesuatu pun melainkan dengan Kehendak Nya semata, sementara mereka merasakan jaminan perlindungan Nya disebabkan keimanan mereka. Allah Swt. berfirman:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q. S. Al An’aam (6) : 82)

b. Ath-Thuma’niinah (Ketenangan)
Ketenangan ini merupakan anugerah Allah Swt. yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Nya dari hamba-hamba Nya yang senantiasa berdzikir kepada Nya, di mana hal ini tidak mungkin terjadi jika seorang hamba tidak mengenal Nya. Allah Swt. berfirman:

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q. S. Ar Ra’d (13) : 28)

c. Al-Baraakaat (Keberkahan)
Allah Swt. menjanjikan keberkahan ini bagi negeri-negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa dalam firman Nya:

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Q. S. Al A’raaf (7) : 96)

d. Al-Hayah ath-Thayyibah (Kehidupan yang Baik)
Allah Swt. berfirman:

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q. S. An Nahl (16 : 97)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik ra., dia berkata bahwa RasuluLlah saw. bersabda: “Allah tidak menzhalimi suatu kebaikan bagi seorang mukmin. Kebaikan itu diberikan kepadanya di dunia dan diberikan pula pahalanya di akhirat. Adapun orang kafir, maka diberi makan di dunia karena aneka kebaikannya, sehingga apabila dia telah tiba di akhirat, maka tiada satu kebaikan pun yang membuahkan pahala.” (H. R. Muslim)

2. Manfaat Di Akhirat
a. Al-Jannah (Surga)
Selain manfaat di dunia, Allah Swt. juga menjanjikan tempat kembali yang baik bagi orang-orang yang mengenal Nya sesuai yang dikehendaki Nya, serta beramal dengan ilmunya dengan beribadah kepada Nya sesuai yang dikehendaki Nya dan disukai Nya. Janji Allah Swt. ini termaktub dalam ayat:

“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Q. S. Yunus (10) : 25 – 26)

b. MardhatiLlah (Keridhaan Allah Swt.)
Allah Swt. berfirman tentang janji keridhaan Nya ini dalam ayat:

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Q. S. Al Bayyinah (98) : 8)


Demikianlah, bahwa Ma’rifatuLlah (mengenal Allah Swt.) adalah sebuah ilmu yang wajib difahami oleh setiap muslim yang dengannya (dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari) dapat menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan yang dijanjikan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mengenal Nya sebagaimana Ia Swt. menginginkan kita mengenal Nya. Hanya kepada Nya lah kita menyembah dan hanya kepada Nya pulalah kita memohon pertolongan. Tiada daya dan kekuatan selain dari Nya Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa.


(Dituliskan kembali dari struktur bagan kajian Ma’rifatuLlah karya para Ulama Dakwah oleh PIP PKS ANZ wil. NSW)

Untuk lebih lengkapnya silakan merujuk sumber-sumber berikut:
Ma’rifatuLlaah, Dr. Irwan Prayitno, Pustaka Tarbiatuna
Al-Islam, Syaikh Sa’id Hawwa RahimahuLlah
WujuuduLlah, Dr. Yusuf al-Qaradhawy, Risalah Gusti
Kitab Tauhid, Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Daarul Haq
Harun Yahya at www.harunyahya.com

Tarbiyah ikhlas

Al-Ikhlas
Posted by: Editor on Saturday, September 09, 2006 - 12:00 AM
Tarbiyah Islamiyah Imam Asy-Syahid mengatakan:

“Yang saya maksud dengan ikhlas adalah bahwa seorang al akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya kepada Allah swt mengharap keridhaan-Nya, tanpa memperhatikan keuntungan materi, prestise, pangkat, gelar, kemajuan atau kemunduran. Dengan itulah ia menjadi tentara akidah, bukan tentara kepentingan dan hanya mencari kemanfaatan dunia.”

“Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
berserah din (kepada Allah).” (QS. Al An'am, 6: 162-163).



Dengan begitu seorang al akh telah memahami makna slogan
abadinya: "Allah tujuan kami." Sungguh Allah Mahabesar dan bagi-Nya
segala puji.




Pengertian Ikhlas



Ikhlas adalah menginginkan keridhaan Allah dengan melakukan
amal dan membersihkan amal dari berbagai debu duniawi. Dengan demikian, amalnya
tidak tercampuri oleh keinginan-keinginan jiwa yang bersifat sementara, seperti
menginginkan keuntungan materi, kedudukan, harta, ketenaran, tempat di hati
manusia, pujian dari mereka, menghindari cercaan mereka, mengikuti bisikan nafsu,
atau ambisi-ambisi lainnya yang dapat dipadukan dalam satu kalimat, yaitu
melakukan amal untuk selain Allah, apa pun bentuknya.


Ikhlas dengan pengertian seperti itu merupakan salah satu
buah dari kesempurnaan tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh
karena itu, riya' yang merupakan lawan dari ikhlas dianggap sebagai kesyirikan.


Syadad bin Aus berkata,

"Kami di masa Rasulullah saw menganggap riya' sebagai syirik
kecil." (Mujma'uz Zawaid, kitabuz Zuhdi, bab: Ma Ja-ahur Riya'. 10/225).




Syarat diterimanya suatu amal



Setiap amal shaleh memiliki dua rukun yang menjadi syarat
diterimanya amal tersebut oleh Allah swt, yaitu:



Pertama, keikhlasan dan lurusnya niat.


Kedua, sejalan sunah dan syariat.


Rukun pertama disebut juga keshahihan batin sedangkan
rukun kedua merupakan keshahihan lahir.



Tentang rukun yang pertama, Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya amal-amal itu (dinilai) dengan niatnya." (Fathul Bari:
1/15. Nomor: 1). Hadits ini merupakan tolok ukur suasana batin manusia.


Sedangkan tentang rukun kedua, Rasulullah saw bersabda:


"Barang siapa yang melakukan sesuatu amalan bukan atas
perintahku, maka ia tertolak." (HR. Muslim: 3/1343. Nomor: 1718).



Allah swt menggabungkan dua rukun tersebut dalam beberapa
ayat-Nya di dalam Al Quran. Antara lain Allah swt berfirman:


"Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang kokoh." (QS. Luqman, 31: 22).



Yang dimaksud menyerahkan diri kepada Allah adalah
mengikhlaskan niat dan amal hanya kepada Allah, mencapai ihsan dalam
melakukannya dan mengikuti Sunah Rasulullah saw dalam pelaksanaannya.


Fudhail bin 'Iyadh berkata tentang firman Allah swt:
"Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,"
(QS. Al Mulk, 67: :2). Yang dimaksud lafal "Ahsanu 'Amalan"
adalah yang paling ikhlas dan paling tepat. Ditanyakan kepadanya, "Apa yang
dimaksud paling ikhlas dan paling tepat itu wahai Abu 'Ali (nama panggilan
Fudhail)?" Ia menjawab, "Sesungguhnya, suatu amal itu bila dilakukan dengan
ikhlas tetapi tidak tepat, maka tidak diterima (oleh Allah), dan bila dilakukan
secara tepat tetapi tidak ikhlas, maka tidak diterima (oleh Allah). Amal tidak
diterima sehingga dilakukan dengan ikhlas dan tepat. Yang dimaksud ikhlas adalah
menjadikan amal untuk Allah, sedangkan tepat adalah sesuai dengan Sunah
(Rasulullah saw)." Kemudian Fudhail membaca firman Allah swt:



"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al Kahfi, 18:110).



Dengan penjelasan di atas kita dapat mengetahui, bahwa
keikh­lasan niat dalam beramal tidak cukup bagi diterimanya sebuah amal, bila
amal tersebut tidak sejalan dengan apa yang diajarkan oleh syariat dan
dibenarkan oleh Sunah Rasulullah saw. Sebagaimana suatu amal yang telah
diajarkan oleh syariat, ia tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila dilakukan
dengan ikhlas dan hanya mengharapkan keridhaan Allah swt.



Beberapa indikasi keikhlasan



Keikhlasan itu memiliki beberapa indikasi dan tanda-tanda
yang nampak dalam kehidupan dan perilaku pemiliknya. Juga nampak dalam
pandangannya terhadap dirinya dan pandangannya terhadap orang lain.
Indikasi-indikasi tersebut antara lain:


1.

Khawatir terhadap ketenaran serta keharuman nama
atas dirinya dan agamanya, terutama bila ia termasuk orang-orang yang
berprestasi. Ia meyakini bahwa Allah menerima amal berdasarkan niat yang
tersimpan dalam batin, tidak dengan penampilan. Ia juga meyakini, bahwa
meskipun ketenaran seseorang telah tersebar ke seluruh penjuru, namun
tiada seorang pun yang dapat menolongnya dari siksa Allah, bila ia tidak
mengikhlaskan niat untuk-Nya.


Hal inilah yang menyebabkan para ulama salaf dan
orang-orang shaleh sebelum kita takut pada fitnah ketenaran, tipuan
pangkat serta keharuman nama, dan mereka juga memperingatkan
murid-muridnya dari hal-hal tersebut. Imam Al Ghazali telah meriwayatkan
beberapa kisah tentang hal tersebut.


Ibrahim bin Adham -rahimahullah- berkata:

“Tidak akan jujur kepada Allah orang yang mencintai
ketenaran.”


Sulaim bin Hanzhalah berkata:

“Saat kami berjalan di belakang Ubai bin Ka'ab ra,
tiba-tiba Umar ra melihatnya, lantas Umar mengangkat cemeti yang
diarahkan kepadanya. Maka Ubai berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, apa yang
hen-dak kamu lakukan?’ Umar ra menjawab, ‘Ini merupakan kehinaan bagi
yang mengikuti dan fitnah bagi yang diikuti’.”


Kisah tersebut menggambarkan ketajaman pandangan Umar
ten-tang suatu fenomena yang awalnya terlihat sederhana, namun dapat
mengakibatkan terjadinya hal serius dalam diri orang-orang yang
mengikuti dan dalam diri para pemimpin yang diikuti.


Al Hasan meriwayatkan, bahwa pada suatu hari Ibnu
Mas'ud keluar dari rumahnya, lantas beberapa orang berjalan di
belakangnya (mengikutinya). Maka ia menoleh kepada mereka seraya
berkata, “Kenapa kalian mengikuti saya? Demi Allah, andai kalian
mengetahui apa yang kurahasiakan, tentu tiada dua orang pun dari kalian
yang mengikutiku."


Al Hasan berkata:


"Sesungguhnya, suara sendal di sekitar orang dapat
menggoyahkan hati orang-orang yang bodoh."


Pada suatu hari Al Hasan keluar dari rumah, lantas
diikuti oleh banyak orang. Maka ia berkata kepada mereka, “Apakah kalian
mempunyai suatu keperluan? Bila tidak ada keperluan maka bukankah hal
ini dapat menjadikan hati orang mukmin berbelok?”


Abu Ayyub As-Sikhtiyani keluar untuk melakukan sebuah
perja lanan, lantas beberapa orang mengikuti di belakangnya. Maka ia
berkata:

“Andai aku tidak mengetahui, bahwa Allah mengetahui
hatiku membenci hal ini, tentu aku takut kemurkaan dari Allah swt.”



Ibnu Mas'ud berkata:


“Jadilah kalian sebagai sumber mata air ilmu,
lampu-lampu (cahaya) petunjuk, yang menetap di rumah-rumah, pelita di
waktu malam yang hatinya selalu baru, dan yang kusut pakaiannya.
(Jadilah kalian) orang yang dikenal oleh penduduk langit, tetapi
tersembunyi dari penduduk bumi.”



Fudhail bin 'Iyadh berkata,


"Bila kamu mampu menjadi orang yang tidak dikenal,
maka laku kanlah. Sebab apa kerugianmu bila tidak dikenal? Apa
kerugianmu bila tidak dipuji? Dan apa kerugianmu bila kamu menjadi orang
yang tercela di hadapan manusia, tetapi terpuji di hadapan Allah swt?"


Riwayat-riwayat tersebut jangan sampai dipahami
sebagai seruan untuk mengisolir diri, sebab orang-orang yang mengatakan
atau menyampaikan riwayat-riwayat tersebut adalah tokoh-tokoh da'i yang
bergaul dengan masyarakat, dan para pemandu perbaikan yang memiliki
pengaruh baik dalam membimbing serta mengarahkan masyarakat. Akan tetapi
secara keseluruhan wajib dipahami sebagai kewaspadaan terhadap syahwat
jiwa yang tersembunyi, dan kehati-hatian terhadap pintu-pintu dan
jendela-jendela yang dapat dilalui oleh syaitan menembus hati manusia.


Pada hakikatnya ketenaran itu bukan suatu hal yang
tercela, sebab tiada yang lebih terkenal daripada para Nabi dan
Khulafaur Rasyidin. Karena itu, ketenaran yang tidak dipaksakan dan
bukan didasari oleh niat ambisius, tidak dianggap sebagai suatu
kesalahan. Imam Al Ghazali mengatakan, "(Ketenaran itu) fitnah bagi
orang-orang yang lemah (keimanan), dan tidak demikian bagi orang-orang
yang kuat (keimanannya)."



2.

Orang yang ikhlas selalu menuduh dirinya teledor
dalam menunaikan hak-hak Allah, dan teledor dalam melaksanakan berbagai
kewa-jiban. Hatinya tidak dirasuki oleh perasaan ghurur (tertipu)
dan terkagum dengan diri sendiri, bahkan ia selalu takut kalau
kesalahan-kesalahannya tidak diampuni, dan kebajikan-kebajikannya tidak
diterima oleh Allah swt.


Dahulu, sebagian orang shaleh menangis pilu saat
sedang sakit, lan­tas sebagian orang yang menjenguknya bertanya,
“Mengapa engkau menangis? Padahal engkau ahli puasa dan shalat malam,
engkau telah berjihad, bershadaqah, berhaji, mengajarkan ilmu, dan
berdzikir.” Ia menjawab, “Siapa yang dapat menjamin bahwa itu semua
memperberat timbangan amal baikku, dan siapa yang menjamin bahwa amalku
diterima di sisi Tuhan ku? Sementara Allah swt berfirman,



“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari
orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlMaidah : 27).


At-Tirmidzi meriwayatkan, bahwa 'Aisyah ra isteri
Nabi saw berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang ayat,



“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka berikan, dengan hati yang takut” (QS. Al Mu'minun, 23:
60).




'Aisyah berkata, 'Apakah mereka itu orang yang meminum
khamar dan mencuri?"



Rasulullah saw menjawab, "Tidak, wahai puteri (Abu
Bakar) Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan
bershadaqah. Tetapi, mereka takut kalau amal mereka tidak diterima (oleh
Allah). Mereka itulah orang-orang yang bersegera menuju kepada berbagai
kebajikan."



3.

Orang ikhlas lebih mencintai amal yang tersembunyi
daripada amal yang diliputi oleh hiruk pikuk publikasi dan gaung
ketenaran.


Ia lebih mengutamakan menjadi seperti akar pohon
dalam suatu jamaah; akar itulah yang menjadikan pohon tegak dan hidup,
akan tetapi ia tersembunyi di dalam tanah, tidak terlihat oleh mata
manusia.


Dari Umar bin Khathab ra, pada suatu hari ia keluar
menuju masjid Rasulullah saw tiba-tiba ia menjumpai Mu'adz bin Jabal ra
yang sedang duduk dan menangis di dekat kubur Nabi saw. Maka Umar
bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”


Mu'adz menjawab, “Saya menangis karena (ingat)
sesuatu yang kudengar dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw
bersabda, 'Sesungguhnya riya' (beramal karena mencari pujian manusia)
yang sangat kecil itu termasuk kesyirikan. Dan sesungguhnya, barang
siapa yang memusuhi wali Allah, maka berarti menantang perang dengan
Allah. Sesungguhnya, Allah swt mencintai orang-orang baik, yang
bertakwa, dan tersembunyi. Yaitu orang-orang yang bila tidak ada, tidak
dicari, dan bila sedang hadir tidak dipanggil dan tidak dikenal. Hati
mereka adalah lampu-lampu (cahaya) penerang. Mereka keluar dari malam
yang gelap gulita.” (Ibnu Majah: 2/1320. Nomor: 3989).




4.

Amalnya saat menjadi pemimpin dan saat menjadi
anggota tidak berbeda, selama keduanya masih dalam rangka memberikan
pelayanan pada dakwah. Hatinya tidak dirasuki penyakit suka tampil,
selalu ingin di depan, dan ambisi kepemimpinan, bahkan orang yang ikhlas
lebih mengutamakan menjadi anggota biasa, karena khawatir tidak dapat
menunaikan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepemimpinannya.
Dengan kata lain, orang ikhlas tidak menginginkan dan tidak meminta
jabatan untuk dirinya, tetapi bila diberi amanah, ia menerimanya dengan
penuh tanggungjawab dan memohon pertolongan kepada Allah untuk
melaksanakan sebagaimana mestinya.



Rasulullah saw telah menjelaskan model manusia seperti
itu dalam sebuah sabdanya,



“Berbahagialah seorang hamba yang memegang tali
kudanya dijalan Allah, rambutnya acak-acakan, dan dua kakinya berdebu.
Bila ia (ditugaskan) di pos penjagaan, maka ia tetap di pos penjagaan
tersebut, dan bila (ditempatkan) di barisan belakang, maka ia tetap di
barisan belakang tersebut....” (Fathul Bari: 6/95. Nomor: 2887).



Semoga Allah meridhai Khalid bin Walid saat ia
diturunkan dari jabatannya sebagai panglima pasukan, ia tetap beramal
dengan giat di bawah komando Abu Ubaidah yang menggantikannya, tanpa
menggerutu dan tanpa mengomel, padahal ia adalah seorang panglima yang
selalu mendapat kemenangan.



5.

Tidak menggubris keridhaan manusia, bila di balik
itu terdapat kemurkaan Allah swt. Sebab tabiat manusia sangat
berbeda-beda. Demikian juga cara berpikirnya, kecenderungannya, dan
tujuan-tujuannya. Karena itu, upaya untuk mendapat keridhaan mereka
semua, adalah batas yang tidak mungkin dapat dicapai, dan keinginan yang
tidak mungkin dapat diraih. Orang yang ikhlas tidak akan disibukkan
dengan hal-hal seperti itu, karenanya ia tenang dan tenteram. Syairnya
dalam berhubungan dengan Allah adalah:



Dengan-Mu ada kelezatan, meski hidup terasa pahit

Kuharapkan ridha-Mu, meski seluruh manusia marah

Kuharapkan hubunganku dengan-Mu tetap harmonis

Meski hubunganku dengan seluruh alam berantakan

Bila cinta-Mu kudapatkan, semua akan terasa ringan


Sebab, semua yang di atas tanah adalah tanah belaka





6.

Kecintaan dan kemarahannya, pemberian dan
keengganannya untuk memberi serta keridhaan dan kemurkaannya adalah
karena Allah dan agamanya, bukan karena kepentingan pribadi atau
kemaslahatan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidak seperti kaum munafik
yang hanya mencari keuntungan pribadi. Allah swt mencela orang-orang
munafiq dalam Kitab-Nya (Al Quran),



"Dan di antara mereka ada orang yang menc'elamu
tentang (pembagian) zakat, jika mereka diberi sebahagian daripadanya,
mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian
daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah." (QS.
At-Taubah, 9:58).



Anda dapat melihat, bahwa ada sebagian aktivis dakwah
yang marah, menggerutu, lalu meninggalkan aktivitas, pergerakan, dan
menjauh dari medan jihad, gara-gara ada seorang saudaranya yang
mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya, melukai perasaannya, atau
menjelekkan salah seorang teman dekat dan kerabatnya.


Keikhlasan tujuan menjadikan seseorang tetap teguh di
jalan dak­wah, dan komitmen pada orientasinya, betapa pun parahnya
kesalahan orang yang berbuat salah, betapa pun parahnya kelengahan orang
yang lengah atau berlebihannya orang yang melampui batas. Sebab ia
beramal untuk Allah swt bukan untuk kepentingan dirinya, keluarganya,
atau si fulan dan si fulanah.


Dakwah kepada Allah (Dakwah llallah)
bukan hak prerogatif atau milik seseorang, melainkan milik setiap orang.
Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang mukmin meninggalkan dakwah
karena sikap seseorang atau karena perilaku seseorang.



7.

Orang yang ikhlas tidak akan menjadi malas, jenuh,
atau berputus asa karena panjangnya jalan yang akan dilalui, lamanya
waktu memanen buah dari amal, terlambatnya keberhasilan, banyaknya beban
amal, dan sulitnya berinteraksi dengan manusia yang beragam cita rasa
dan kecenderungan. Sebab ia beramal tidak hanya untuk mencari
keberhasilan, atau mencari kemenangan saja. Akan tetapi, ia beramal
untuk mendapatkan keridhaan Allah dan karena menjalankan perintah-Nya.


Pada hari akhir nanti, Allah tidak akan menanyakan
kepada manusia, ‘Kenapa kalian tidak mendapatkan kemenangan?’ Akan
tetapi, Allah akan menanyakan, ‘Kenapa kalian tidak berjihad?’ Allah
tidak akan menanyakan, ‘Mengapa kamu tidak berhasil?’ Tetapi, akan
menanyakan, ‘Mengapa kamu tidak beramal?’

8.

Bergembira dengan munculnya orang-orang yang
berprestasi di dalam barisan dakwah, yang dapat mengibarkan bendera
dakwah serta berpartisipasi dalam perjuangan. Ia memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada setiap orang yang berbakat untuk menggantikan
posisinya, tanpa sedikitpun menghalang-halangi, tanpa ada kebencian,
kedengkian, atau iri hati. Bahkan orang yang ikhlas, akan meninggalkan
posisinya dengan ridha dan senang hati, bila ada orang lain yang lebih
baik darinya untuk posisinya tersebut. Ia akan mempersilahkan orang
tersebut untuk maju, dan ia akan mundur dengan penuh kebahagiaan dan
ketaatan.





Urgensi keikhlasan bagi aktivis dakwah



Perjuangan untuk mengembalikan hegemoni Islam dan
pengendalian dunia dengan akidahnya, syariatnya, akhlaknya, dan peradabannya,
merupakan ibadah dan taqarrub kepada Allah swt. Oleh karena itu,
keikhlasan niat dalam melaksanakan ibadah tersebut, merupakan hal paling
mendasar dan syarat utama bagi keberhasilan dan diterimanya amal tersebut. Sebab
niat yang tercampuri (tidak ikhlas) dapat merusak amal, mengotori jiwa,
melemahkan barisan, dan menggagalkan pahala.


Karena alasan itulah, maka Imam Bukhari memulai bukunya
'Al Jami'ush Shahih' dengan hadits yang sebagian ulama menganggapnya
seperempat ajaran Islam, atau sepertiganya yaitu sabda Rasulullah saw:



"Sesimgguhnya amal-amal (shaleh) itu (dinilai berdasarkan)
niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu untuk Allah dan
Rasul-Nya. Dan barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin diraih, atau
wanita yang ingin dinikahi, maka hijrah sesuai dengan yang diinginkannya."
(Fathul Bari: 1/15. Hadits nomor: 1).



Telah diriwayatkan, bahwa sebab disabdakannya hadits tersebut
adalah ‘Seorang laki-laki yang hijrah ke Madinah karena mengejar wanita yang
dicintainya. Wanita tersebut bernama, “Ummu Qais.” Oleh karena itu, laki-laki
tersebut dikenal dengan sebutan, “Muhajir Ummu Qais” (Orang yang berhijrah
karena Ummu Qais). (Lihat, Jami'ul 'Ulum Wal Hikam, hal. 11).



Al akh muslim harus memeriksa relung-relung hatinya, dan
meneliti hakikat tujuan serta motivasi yang ada di dalamnya. Apabila di dalamnya
terdapat bagian untuk dunia atau syaitan, maka ia harus segera berjihad untuk
membersihkan hatinya dari kotoran tersebut, berupaya mengikhlaskan niat untuk
Allah semata, serta menadzarkan dirinya hanya untuk Allah semata. Sebagaimana
yang telah diucapkan oleh isteri 'Imran,



"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engaku anak
yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (di Baitul
Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Ali Imran, 3: 35).



Kata "Muharriran" yang diucapkan oleh isteri Imran
dalam ayat tersebut memberikan indikasi, bahwa Allah tidak akan menerima suatu
amal kecuali bila telah murni dari kesyirikan dan bebas dari penghambaan kepada
selain-Nya.


Kehidupan akan terwarnai oleh kebenaran, tertaburi kebaikan,
terkuasai oleh keadilan, dan bendera kemuliaan berkibar padanya, bukan oleh
keberadaan orang-orang yang memperdagangkan prinsip, yaitu orang-orang yang
tidak beramal kecuali untuk mencari keuntungan dunia. Juga bukan oleh keberadaan
orang-orang yang mencari muka, yaitu orang-orang yang tidak beramal kecuali
untuk dikagumi, dipuji, dan ditokohkan oleh orang lain. Kebenaran, kebajikan dan
kemuliaan akan mendapatkan kemenangan dengan adanya orang-orang yang ikhlas,
yaitu orang-orang yang meyakini prinsip, bukan memperjualbelikannya; yang
mempengaruhi orang lain, bukan terpengaruh oleh orang lain; yang rela berkorban,
bukan mencari keuntungan materi; serta yang siap memberi, bukan yang hanya
menerima.




Penyakit hati yang mengotori keikhlasan serta merusak
niat lebih parah dan lebih membahayakan daripada penyakit fisik. Sebab penyakit
hati tersebut dapat merusak pahala dan menjauhkan pemiliknya dari jalan dakwah
yang benar.


Penyakit tersebut setiap saat bisa hinggap dalam diri kita,
akan tetapi kita dapat melawannya dengan keimanan dan ketakwaan. Oleh karena
itu, kita harus selalu sadar, waspada dan mengontrol niat kita, serta berusaha
membersihkannya dari berbagai penyakit hati yang dapat mengotorinya.



Wallahu a’lam bishshawwab.



Sumber: Muhammad Abdullah Al-Khatib dan Muhammad Abdul Halim
Hamid, "Nazhorooti fii risalah ta'alim: Konsep pemikiran gerakan ikhwan".