Kamis, 09 Oktober 2008
solo kanan
solo radical
Solo: Yang Membunuh Seraya Tersenyum
May 11th, 2008 | memori, solo
Kota Solo dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, yang halus dan bermartabat. Namun, secara paradoksal, dia juga menjadi ladang radikalisasi rakyat turun-temurun. Kota ini hampir senantiasa menjadi pelopor gerakan anti-etnis Cina, sejak berabad lalu. Kenapa itu semua terjadi?
Sebagian Toserba Sami Luwes, Solo, dibuka kembali pekan lalu. “Untuk mengejar Natal dan Tahun Baru. Juga Lebaran,” kata seorang pegawai toko itu. Toserba itu telah mengalami istirahat panjang setelah menjadi sasaran amuk massa Mei 1998, menyertai
jatuhnya Soeharto.
Porak-poranda dan sempat menjadi “ladang pembakaran”, Solo kini pelan-pelan beringsut ke situasi normal, meski belum semegah seperti dua tahun silam. Setelah kerusuhan Mei 1998, Solo kini hanya memiliki satu supermarket bergengsi, yakni Matahari, yang dibangun setahun lalu. Itu pun kini terkesan sumpek dan padat. Pendek kata, sebagian penduduk Solo kini tak lagi merasakan kehidupan modern seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kerusuhan Mei lalu di Solo merupakan peristiwa kekerasan terbesar di luar Jakarta. Bahkan untuk ukuran Solo sendiri, peristiwa itu secara kuantitatif lebih besar dari kerusuhan-kerusuhan serupa pada masa lalu. Untuk menunjukkan skala tragedi: rusak 348 rumah, kantor, hotel, toserba, dan gedung bioskop. Sekitar 297 mobil dan 570 sepeda motor hangus.
Seperti pada waktu-waktu lalu, etnis Cina menjadi korban empuk kerusuhan. Namun, khususnya pada Mei itu, protes bukan lagi terbatas pada keresahan ekonomi berbasis rasial, melainkan berbau politik. Salah satu rumah yang terbakar adalah milik Harmoko-Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR/MPR kala itu. Pembakaran
itu bisa dikatakan juga merupakan simbol kemuakan massa terhadap Golkar serta kebijakan “kuningisasi” yang kelebihan dosis.
Kenapa itu bisa terjadi, sementara selama ini kota Solo dikenal berpenduduk “sopan, lemah-lembut, dan manis”?
Pertanyaan seperti itulah yang ingin dijawab oleh Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Solo. Lembaga swadaya masyarakat ini mencoba mencari akar-akar keresahan masyarakat Solo. Dan hasilnya, meski belum final, adalah sebuah buku setebal 658 halaman, berjudul Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit:
Studi Radikalisasi Sosial Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta.
Menurut M. Hari Mulyadi, koordinator LPTP, dari penelitian itu diperoleh data adanya proses tarik-ulur-antara konflik dan penyatuan-dalam masyarakat Solo sejak pertengahan abad ke-18 hingga akhir abad ke-20. Konflik-konflik itu memiliki persamaan yang khas. Pertama adalah power struggle. Kedua adanya benturan nilai (value struggle) dalam upaya perebutan pengaruh dan hegemoni-baik sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun agama.
Pada kenyataannya, Solo memang kota di Jawa yang paling dinamis sejak sebelum kemerdekaan. Dia menjadi ajang pembentukan organisasi-organisasi pergerakan dan partai-partai politik. Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI)-dua partai besar pada masa Orde Lama-memang berawal dan membesar dari sini. Bahkan citra “kawah Candradimuka para politisi” itu belum berhenti hingga kini. Dari kota ini pula muncul orang seperti Amien Rais dan Sri Bintang Pamungkas.
M.T. Arifin, peneliti sosial lain yang juga berminat menyimak kasus kerusuhan Solo ini, mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi pertama-tama merupakan hasil dari kondisi sosial di sana. Teori konspirasi atau rekayasa dari pusat, menurut Arifin, tidak secara signifikan bisa menjelaskan asal-muasal kerusuhan
itu.
Apa yang ada, menurut Arifin, adalah fenomena radikalisme kejawen. “Memang ada citra lemah lembut, tapi bukan berarti ramah,” kata Arifin. “Orang Solo itu bisa membunuh dengan tersenyum.” Radikalisasi terus berlangsung. Konflik sosial yang gampang meletup dalam bentuk kekerasan terus-menerus terjadi di
Solo dengan pemicu yang beragam.
Solo sebenarnya merupakan salah satu kota pedalaman Jawa yang relatif maju. Benturan politik, salah satu faktor utama, telah muncul sejak abad ke-16, yakni pada masa Sultan Pajang, Mataram. Konflik itu terjadi antara kelompok pribumi dan Cina menyangkut penguasaan tanah perkebunan.
Pada era kolonial, konflik makin banyak terjadi karena Solo merupakan pertemuan pasukan kerajaan (dan kolonial) dengan pemberontak. Semua pemberontakan dalam Kerajaan Mataram berawal dari Solo, termasuk misalnya pemberontakan Diponegoro.
Meski pemicunya bisa beragam, ada faktor yang tetap: kelompok etnis Cina selalu menjadi sasaran penjarahan dan perampokan. Namun, menurut Arifin, kerusuhan di Solo tidaklah mencerminkan
persoalan etnis. “Masalahnya lebih pada persepsi tentang dominasi ekonomi, politik, dan agama,” katanya. Dalam kerusuhan Mei lalu, menurut Arifin, sebagian para penjarahnya juga datang dari kalangan Cina. Orang pribumi bahkan juga melindungi orang-orang Cina yang tinggal di kampung-kampung mereka.
Drama di Solo Baru, sebuah kota satelit yang modern, juga menunjukkan bahwa kerusuhan itu tidak pertama-tama diilhami oleh sentimen rasial. Banyak orang Cina kaya tinggal di permukiman mewah itu. Namun, ketika ribuan orang datang merangsek, para perusuh ternyata hanya membakar rumah Harmoko dan Gedung Bioskop 21 milik Sudwikatmono.
Tak pelak lagi. Solo pada dasarnya adalah sebuah “melting pot” dari beragam kelompok: kultural, politik, dan ekonomi. Telah lama sebenarnya Solo dan rajanya memiliki hubungan yang mendunia. Sejak berabad
lalu, mereka sudah melakukan komunikasi dengan masyarakat India, Arab, Turki, dan Cina. Tak heran jika
raja Solo diberi gelar Sunan Khalifatullah Sayidin Panatagama Pakubuwono. Artinya: raja wakil Tuhan di bumi yang memimpin agama dan mampu membawa kemakmuran bagi seluruh dunia. Istilah itu mencerminkan semangat universalisme dan kosmopolitanisme yang menyeluruh.
Namun sayang, sejak masa kolonial, berbagai kelompok itu tidak menemukan cara yang bermartabat untuk melakukan tawar-menawar akibat dominasi dan manipulasi oleh negara. Pemerintah kolonial Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru, menurut Hari Mulyadi, telah menghilangkan watak holistik (kosmopolit dan menyeluruh) dari kultur tradisional. “Mereka mencoba melecehkan watak holistik itu dengan menyingkirkan keaslian dan keautentikan kreatif wong Solo.”
Represi yang dilakukan penguasa terdahulu tidak menolong Solo meredam hasrat pemberontakannya. Bahkan kian menjadi-jadi. “Karena kehilangan watak holistiknya, kultur tradisional itu kurang peka terhadap watak dinamis rakyat yang mulai terbuka terhadap informasi yang maju pesat,” katanya.
Menurut Hari Mulyadi, amuk massa yang bersifat distorsi muncul sebagai akibat rakyat kehilangan kesabaran atas penindasan oleh penguasa di tengah keterbukaan politik yang kian berembus. Untuk mengobatinya, tak bisa tidak adalah dengan memenuhi kebutuhan dasar warga Solo dengan mempromosikan kemandirian sosial, keadilan sosial, dan partisipasi masyarakat. Kebutuhan dasar
tersebut akan terpenuhi jika terjadi komunikasi atau dialog vertikal ataupun horizontal yang berlangsung secara cepat, akurat, dan terbuka, yang melibatkan semua pihak. Tidak ada yang merasa dipinggirkan. Tidak ada yang merasa harus marah.
*) Kiriman Om Wicak, TEMPO edisi 991219-041/Hal. 39 Rubrik Selingan. Suwun Om.
Senin pagi ini setelah membaca kembali tulisan diatas, membuat saya ingin menangis teringat kisah 10 tahun lalu, saya bersepeda putar kota karena gatal mencari apa yang sedang terjadi di kota itu bersama kawan yang berakhir tragis.
Rabu, 08 Oktober 2008
Funamentalis solo 1
Sunday, June 17, 2007
Islam Radikal di Solo dari Kelompok Muslim Modernis (Tulisan Pertama)
24-5-2007
Oleh : ROBI SUGARA/SYIRAH
Nama Ismail Yahya tak begitu populer di kancah nasional. Apalagi soal isu-isu gerakan Islam radikal di Indonesia. Tapi pria kelahiran Riau, 9 April 1975 ini pernah meneliti gerakan Islam di Surakarta. Di antaranya Islam Radikal di Surakarta dan respon masyarakat Kristen yang sekaligus dijadikan tesisnya. Kemudian, lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Program Center for Religious anda Cross Cultural Studies (CRCS) pernah meneliti juga soal “Ancaman Kelompok Radikal Muslim di Surakarta antara Mitos atau Relitas”.
Dalam sejarah gerakan Islam di Indonesia Surakarta merupakan salah satu kota terpenting. Karena dari sinilah lahir Syarikat Dagang Islam pada tahun 1905, sebuah gerakan Islam terorganisir pertama dalam sejarah Indonesia. Saat ini berbagai gerakan Islam juga meruyak di sana yang dipelopori oleh berbagai organisasi yang beraneka ragam alirannya, terutama kelompok radikal.
Untuk mengikuti lebih lanjut soal kondisi gerakan Islam di Solo, berikut petikaan wawancara antara Robi Sugara, kontributor Syirah, pada 23 Mei 2007 dengan Ismail Yahya yang juga lulusan IAIN Walisongo Semarang dan saat ini beliau adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta.
Secara umum bagaimana gerakan organisasi Islam di Solo, Jawa Tengah, jika dilihat dari mulai perkembangan dan hingga kini?
Gerakan organisasi Islam di Solo bermula pada tahun 1905 berdiri Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh pengusaha batik Solo, dengan ketuanya H. Samanhudi, kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Selama masa masa awal kemunculannya SI selalu mengedepankan semangat nasionalisme Islam Jawa untuk menggalang dukungan dari kalangan rakyat.
Maka wajar kemudian SI sering terlibat dalam gerakan protes, baik pada pemerintahan kolonial maupun pada pihak keraton Surakarta Hadiningrat. Setelah kantor pusat SI pindah ke Surabaya, SI Solo, lebih cenderung pada gerakan Islam Marxis yang dibawa oleh Haji Misbah. Gerakannya tetap menyuarakan pembelaan pada kaum tertindas.
Pada saat yang sama setelah tahun 1912 Muhammadiyah berdiri di Jogjakarta, di Solo Muhammadiyah berkembang dengan pesat. Mereka banyak mendirikan pusat-pusat pengajaran dan klinik kesehatan. Di tahun 1935 kota Solo digunakan sebagai tempat muktamar NU (Nahdlatul Ulama) ke-10 yang sekaligus menandai gesekan konflik baru antara Muhammadiyah dengan NU yang lebih sinkretis.
Pasca kemerdekaan gerakan Islam di Solo lebih terpengaruh pada kondisi dan isu nasional. Hal ini berlangsung sampai pada tahun 1998 ketika terjadi momentum reformasi. Gerakan Islam di Solo terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama yang moderat dan kedua yang radikal. Yang moderat diwakili oleh NU dan Muhammadiyah sedangkan yang "radikal" diwakili MMI, HTI, FPIS, LUIS dan FKAM
Bisa Anda sebutkan berapa jumlah organisasi Islam di Solo saat ini?
Kalau menyebut jumlah pastinya agak sulit. Tapi mengikuti pemetaan yang umum berlaku misalnya saya sebutkan, pertama: Organisasi mainstream moderat yaitu, NU dan organisasi-organisais yang berafiliasi ke-Nu seperti Lembaga Dakwah NU (LDNU), Serikat Buruh Muslim Indonesia (SARBUMUSI), Lajnah Kajian Dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM-NU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Muslimat, Fatayat, Jamaah Thariqoh Mu’tabarah An Nahdhiyah, IPPNU-IPNU, Ansor, Banser dan Ikatan Cendekiawan NU (ICNU).
Kedua, Muhammadiyah dan organisasi yang berafiliasi ke Muhammadiyah, seperti Pemuda Muhammadiyah, Aisyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Ikatan remaja Muhammadiyah (IRM), dan JIMM (jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)
Kemudian, organisasi non mainstream dianggap “sempalan” seperti Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Inkarus Sunnah. Kusus. LDII ini memiliki cabang yang tersebar secara merata di Surakarta.
Selain itu, ada organisasi non mainstream yang dianggap "radikal" misalkan FPIS (Front Pemuda Islam Surakarta), bukan Front Pembela Islam-nya Habib Rizieq Shihab, sebab FPIS didirikan di Solo dan tidak ada keterkaitan dengan FPI-nya Habib Rizieq, FKAM (Forum Komunikasi Antar Masjid), LUIS (Laskar Umat Islam Surakarta), Laskar Hizbullah Sunan Bonang, Laskar Hizbullah Bulan Bintang, Barisan Bismillah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
Siapa organisasi yang paling dominan berperan di Solo?
Kalau disebut paling dominan mungkin akan bersifat relatif, sebab masing-masing organisasi memiliki tingkat dominasi yang berbeda pada sektor yang berbeda pula. Misalnya Muhammadiyah memiliki dominasi yang kuat di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Jumlah sekolah Muhammadiyah di Surakarta banyak sekali mulai dari TK, MI/SD, SMP/MTS, MA/ SMA/SMK sampai perguruan tinggi ada. Bahkan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) merupakan perguruan tinggi swasta paling besar di Surakarta.
Di bidang kesehatan Muhammadiyah memiliki PKU Muhammadiyah yang merupakan rumah sakit besar, disamping Muhammadiyah juga memiliki klinik klinik-kesehatan yang tersebar di berbagai tempat di Surakarta. Demikian juga jaringan ekonomi Muhammadiyah sangat bagus dan terbukti telah mampu memberi konstribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan anggotanya.
Kalau NU lebih dominan pada adat, tradisi dan kemasyarakatannya. Hal ini didukung oleh paham keagamaan NU yang fleksibel dan mampu berakulturasi dengan budaya Jawa khusunya Surakarta. Sedangkan kelompok lain seperti MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) dipimpin oleh H. Ahmad Sukina, dominan pada bidang penerbitan dan dakwah lewat radio MTA. Jadi masing masing organisasi memiliki dominasi yang berbeda pada sector yang berbeda pula, tetapi dalam pencitraan di Surakarta organisasi Muhammadiyah dan MTA yang paling berhasil.
Anda pernah meneliti soal gerakan Islam radikal di Solo, hasilnya?
Saya pernah meneliti beberapa gerakan Islam radikal, di antaranya, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM)-Laskar Jundullah, Barisan Bismillah (BB), Brigade Hizbullah Partai Bulan Bintang (BHPBB), dan Gerakan Pemuda Islam Cabang Surakarta (GPI).
Saya melihat model kepemimpinan mereka secara umum kepemimpinan kelompok radikal Muslim di Surakarta didominasi oleh kelompok non-ulama dan berasal usul dari etnis Jawa. Terdidik dari latar belakang pendidikan non agama, sementara mereka memperoleh pengetahuan agama dari kelompok pengajian agama, bukan dari lembaga pendidikan formal keagamaan seperti pesantren atau madrasah. Dan kebanyakan dari mereka juga dikategorikan ke dalam kelompok muslim modernis.
Anda melihat kemunculan organisasi itu lebih pada faktor apa?
Untuk FPIS saya melihat respons terhadap konflik Muslim-Kristen di kepulauan Maluku; respons terhadap praktek-praktek maksiat; reaksi terhadap “serangan” satgas partai politik tertentu; reaksi terhadap kelompok kriminal dan preman; perlawanan terhadap “Kristenisasi.”
Kemudian FKAM adalah respons terhadap instabilitas ketika jatuhnya pemerintahan Orde Baru; dan membangkitkan rasa percaya diri orang Islam Surakarta. Barisan Bismillah adalah respons terhadap konflik Muslim-Kristen di Maluku; dan sebagai penjaga ummah Muslim. Barisan Hizbullan Bulan Bintang karena untuk menjaga PBB (Partai Bulan Bintang) dan umat Islam. GPI untuk menjadi wadah pergerakan generasi muda Muslim independen. Dan sementara Laskar Hisbullah Sunan Bonang untuk mempertahakan Islam dan “perang” terhadap kemaksiatan dan perilaku immoral.
fundamentalisme3
Pencarian akar fundamentalisme Islam
oleh Nader Hashemi
Cetak
Email
Evanston, Illinois – Bagaimana caranya menjelaskan kebangkitan fundamentalisme Islam dewasa ini? Mengapa pada zaman akal budi, rasionalitas, dan sekulerisme sebagian umat Muslim malah condong dan mendekap erat konsep fundamentalis agama? Dunia Muslim kelihatannya didominasi oleh kaum Muslim fundamentalis, dari kelompok-kelompok radikal fundamentalis seperti Al Qaeda dan Taliban hingga organisasi-organisasi arus utama seperti Ikhwanul Muslimin (di Mesir) dan Jamaat-e Islami (di Pakistan). Kemanakah kita harus mencari jawabannya? Sejarah dan sosiologi, lebih memberikan obor untuk menerangi fenomena sosial yang sedang tumbuh ini dibandingkan ideologi.
Sepanjang sejarah manusia, perubahan sosial besar dan pergolakan politikselalu diiringin kebangkitan kembali agama. Inilah fenomena sosiologis dan sejarah yang dapat diamati melintasi batas-batas negara, suku bangsa, dan peradaban. Selama pendudukan bangsa Mongolia atas Rusia (1237-1480), misalnya, Gereja Ortodoks mengalami salah satu masa pertumbuhannya yang terbesar. Fenomena serupa juga terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan abad kesembilan belas di awal Revolusi Industri. Secara sederhana, gejolak sosial mendorong orang mencari kestabilan dan keamanan dengan kembali ke sesuatu yang mendasar dan akrab dengan mereka, yaitu agama. Hal itulah yang juga dialami oleh masyarakat Muslim.
James Piscatori dengan tajam mengatakan bahwa "agama, terutama karena pada masa lalu telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dan mati dan memberikan para penganutnya hubungan moral antara satu dengan yang lain, menjadi sarana yang memberikan orang harapan untuk menjawab pertanyaan baru tentang cara menjadi modern, dan, dengan melakukan hal tersebut, mungkin bisa memperoleh pandangan umum tentang dunia yang lebih meyakinkan. Dalam hal ini, seorang Kristen yang dilahirkan kembali dan seorang Muslim yang menutup dirinya kembali merupakan reaksi yang sama atas fenomena umum tersebut." Berbagai pergolakan yang berhubungan dengan modernitas, seperti yang dinyatakan Piscatori, sangat penting untuk memahami kebangkitan fundamentalisme keagamaan.
Modernisasi, harus ditekankan, merupakan sebuah proses yang traumatis. Barat, membutuhkan waktu ratusan tahun dan proses jatuh bangun untuk mengembangkan berbagai institusi sekuler dan demokratis mereka. Perang agama antar umat Kristen, penganiayaan politik, pemusnahan bangsa, Revolusi Industri, pemerasan tenaga kerja, kebangkitan nasionalisme, dan dua perang dunia telah menghasilkan perubahan masif dalam segala aspek kehidupan – politik, ekonomi, intelektual, dan keagamaan. Dewasa ini kita tengah menyaksikan proses perubahan yang sama, berikut dampak-dampaknya, di berbagai negara berkembang. Hanya saja perubahan-perubahan ini berlangsung lebih cepat di Dunia Muslim (dalam paruh terakhir abad 20) dibandingkan dengan di Barat yang berlangsung selama ratusan tahun.
Penting artinya untuk menghargai bahwa proses modernisasi yang berlangsung di dunia Muslim sangat berbeda dalam berbagai hal. Tidak seperti di Eropa di mana proses tersebut sebagian besar didorong dari dalam masyarakat, dalam masyarakat Muslim, modernisasi muncul sebagai akibat dari sentuhan kolonial dengan bangsa Eropa. Apa yang kini dilakukan oleh umat Muslim dalam mengejar ketertinggalan mereka dari Barat merupakan kegiatan meniru, bukan inovasi. Negara-negara Muslim di masa post-kolonialisme telah terbagi secara tidak sehat ke dalam dua kubu: kelompok elit, yang memperoleh pendidikan Barat dengan nilai-nilai sekulernya dan kelompok mayoritas yang tak mendapatkan semua itu. Pemerintahan-pemerintahan banyak dikuasai oleh rezim-rezim gerontokrasi yang terdiri atas para lelaki berusia lanjut, sementara mayoritas penduduk mereka berusia di bawah 30 tahun. Kebanyakan perubahan politik sejak masa kemerdekaan formal dipaksakan dari atas ke bawah dengan melakukan percepatan, bukan dari bawah ke atas melalui prosesevolusi sosial dan negosiasi demokratis dari dalam masyarakat sendiri.
Pada tahun 1935, misalnya, Reza Pahlavi (ayahanda dari Shah terakhir) memerintahkan pasukannya turun ke jalanan Teheran untuk secara paksa membuka – dengan ancaman bayonet – cadar yang menutupi wajah kaum perempuan. Kebijakan ini disaingi oleh negara tetangga Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatürk yang dengan keras membuat masyarakat Turki menjadi sekuler dan Barat. Dua generasi kemudian, dengan cara yang sama otoriternya dengan pencopotan cadar monarki Pahlavi, Ayatullah Khomeini dan revolusioner Islam-nya memaksa para perempuan Iran memasang cadar. Demikian pula dengan kebangkitan politik Islam di Turki yang sebagian dapat dijelaskan sebagai reaksi balasan terhadap pemaksaan dari atas ke bawah kebijakan-kebijakan sekuler Kemal terhadap masyarakat yang taat beragama– 99,8 % merupakan umat Muslim –hingga menghapus karakter ke-Islam-an Turki. Dari latar belakang inilah kita seharusnya menempatkan dan mempelajari kebangkitan fundamentalisme Islam, yaitu sebagai sebuah fenomena sejarah.
Mencari jawaban yang mudah atas fenomena sosial yang begitu rumit memang menggoda hati. Dalam hal perdebatan mengenai fundamentalisme Islam, penjelasan yang ada lebih sering memusatkan perhatian pada karakter doktrin Islam dan prasangka akan etos anti modernisasinya. Betapapun menggodanya, khususnya pasca 11 September, memusatkan perhatian secara khusus kepada ideologi dengan mengabaikan sosiologi dan sejarah akan membatasi pemahaman kita dan mengaburkan penilaian kita atas topik yang penting dan emosional ini.
###
* Nader Hashemi adalah mahasiswa doktoral dalam ilmu politik di Northwester
University. Ini adalah artikel keduanya dari enam artikel dalam sebuah seri
tentang kebangkitan kembali agama dan hubungan Muslim-Barat yang didukung oleh Common Ground News Service (www.commongroundnews.org).
Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 19 September 2006, www.commongroundnews.org.
Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh.
EDISI TERBARU
EDISI KHUSUS
Hubungan Muslim-Yahudi - 2008
ARSIP ARTIKEL
Silakan baca artikel-artikel kami terdahulu.
PANDANGAN KAUM MUDA
Berbagai perspektif kaum muda yang menarik dan beragam dari seluruh dunia.
fundamentalisme3
Pencarian akar fundamentalisme Islam
oleh Nader Hashemi
Cetak
Email
Evanston, Illinois – Bagaimana caranya menjelaskan kebangkitan fundamentalisme Islam dewasa ini? Mengapa pada zaman akal budi, rasionalitas, dan sekulerisme sebagian umat Muslim malah condong dan mendekap erat konsep fundamentalis agama? Dunia Muslim kelihatannya didominasi oleh kaum Muslim fundamentalis, dari kelompok-kelompok radikal fundamentalis seperti Al Qaeda dan Taliban hingga organisasi-organisasi arus utama seperti Ikhwanul Muslimin (di Mesir) dan Jamaat-e Islami (di Pakistan). Kemanakah kita harus mencari jawabannya? Sejarah dan sosiologi, lebih memberikan obor untuk menerangi fenomena sosial yang sedang tumbuh ini dibandingkan ideologi.
Sepanjang sejarah manusia, perubahan sosial besar dan pergolakan politikselalu diiringin kebangkitan kembali agama. Inilah fenomena sosiologis dan sejarah yang dapat diamati melintasi batas-batas negara, suku bangsa, dan peradaban. Selama pendudukan bangsa Mongolia atas Rusia (1237-1480), misalnya, Gereja Ortodoks mengalami salah satu masa pertumbuhannya yang terbesar. Fenomena serupa juga terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan abad kesembilan belas di awal Revolusi Industri. Secara sederhana, gejolak sosial mendorong orang mencari kestabilan dan keamanan dengan kembali ke sesuatu yang mendasar dan akrab dengan mereka, yaitu agama. Hal itulah yang juga dialami oleh masyarakat Muslim.
James Piscatori dengan tajam mengatakan bahwa "agama, terutama karena pada masa lalu telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dan mati dan memberikan para penganutnya hubungan moral antara satu dengan yang lain, menjadi sarana yang memberikan orang harapan untuk menjawab pertanyaan baru tentang cara menjadi modern, dan, dengan melakukan hal tersebut, mungkin bisa memperoleh pandangan umum tentang dunia yang lebih meyakinkan. Dalam hal ini, seorang Kristen yang dilahirkan kembali dan seorang Muslim yang menutup dirinya kembali merupakan reaksi yang sama atas fenomena umum tersebut." Berbagai pergolakan yang berhubungan dengan modernitas, seperti yang dinyatakan Piscatori, sangat penting untuk memahami kebangkitan fundamentalisme keagamaan.
Modernisasi, harus ditekankan, merupakan sebuah proses yang traumatis. Barat, membutuhkan waktu ratusan tahun dan proses jatuh bangun untuk mengembangkan berbagai institusi sekuler dan demokratis mereka. Perang agama antar umat Kristen, penganiayaan politik, pemusnahan bangsa, Revolusi Industri, pemerasan tenaga kerja, kebangkitan nasionalisme, dan dua perang dunia telah menghasilkan perubahan masif dalam segala aspek kehidupan – politik, ekonomi, intelektual, dan keagamaan. Dewasa ini kita tengah menyaksikan proses perubahan yang sama, berikut dampak-dampaknya, di berbagai negara berkembang. Hanya saja perubahan-perubahan ini berlangsung lebih cepat di Dunia Muslim (dalam paruh terakhir abad 20) dibandingkan dengan di Barat yang berlangsung selama ratusan tahun.
Penting artinya untuk menghargai bahwa proses modernisasi yang berlangsung di dunia Muslim sangat berbeda dalam berbagai hal. Tidak seperti di Eropa di mana proses tersebut sebagian besar didorong dari dalam masyarakat, dalam masyarakat Muslim, modernisasi muncul sebagai akibat dari sentuhan kolonial dengan bangsa Eropa. Apa yang kini dilakukan oleh umat Muslim dalam mengejar ketertinggalan mereka dari Barat merupakan kegiatan meniru, bukan inovasi. Negara-negara Muslim di masa post-kolonialisme telah terbagi secara tidak sehat ke dalam dua kubu: kelompok elit, yang memperoleh pendidikan Barat dengan nilai-nilai sekulernya dan kelompok mayoritas yang tak mendapatkan semua itu. Pemerintahan-pemerintahan banyak dikuasai oleh rezim-rezim gerontokrasi yang terdiri atas para lelaki berusia lanjut, sementara mayoritas penduduk mereka berusia di bawah 30 tahun. Kebanyakan perubahan politik sejak masa kemerdekaan formal dipaksakan dari atas ke bawah dengan melakukan percepatan, bukan dari bawah ke atas melalui prosesevolusi sosial dan negosiasi demokratis dari dalam masyarakat sendiri.
Pada tahun 1935, misalnya, Reza Pahlavi (ayahanda dari Shah terakhir) memerintahkan pasukannya turun ke jalanan Teheran untuk secara paksa membuka – dengan ancaman bayonet – cadar yang menutupi wajah kaum perempuan. Kebijakan ini disaingi oleh negara tetangga Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatürk yang dengan keras membuat masyarakat Turki menjadi sekuler dan Barat. Dua generasi kemudian, dengan cara yang sama otoriternya dengan pencopotan cadar monarki Pahlavi, Ayatullah Khomeini dan revolusioner Islam-nya memaksa para perempuan Iran memasang cadar. Demikian pula dengan kebangkitan politik Islam di Turki yang sebagian dapat dijelaskan sebagai reaksi balasan terhadap pemaksaan dari atas ke bawah kebijakan-kebijakan sekuler Kemal terhadap masyarakat yang taat beragama– 99,8 % merupakan umat Muslim –hingga menghapus karakter ke-Islam-an Turki. Dari latar belakang inilah kita seharusnya menempatkan dan mempelajari kebangkitan fundamentalisme Islam, yaitu sebagai sebuah fenomena sejarah.
Mencari jawaban yang mudah atas fenomena sosial yang begitu rumit memang menggoda hati. Dalam hal perdebatan mengenai fundamentalisme Islam, penjelasan yang ada lebih sering memusatkan perhatian pada karakter doktrin Islam dan prasangka akan etos anti modernisasinya. Betapapun menggodanya, khususnya pasca 11 September, memusatkan perhatian secara khusus kepada ideologi dengan mengabaikan sosiologi dan sejarah akan membatasi pemahaman kita dan mengaburkan penilaian kita atas topik yang penting dan emosional ini.
###
* Nader Hashemi adalah mahasiswa doktoral dalam ilmu politik di Northwester
University. Ini adalah artikel keduanya dari enam artikel dalam sebuah seri
tentang kebangkitan kembali agama dan hubungan Muslim-Barat yang didukung oleh Common Ground News Service (www.commongroundnews.org).
Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 19 September 2006, www.commongroundnews.org.
Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh.
EDISI TERBARU
EDISI KHUSUS
Hubungan Muslim-Yahudi - 2008
ARSIP ARTIKEL
Silakan baca artikel-artikel kami terdahulu.
PANDANGAN KAUM MUDA
Berbagai perspektif kaum muda yang menarik dan beragam dari seluruh dunia.
fundamentalisme 1
RESENSI:: Menelusuri Akar Fundamentalisme Agama
Judul Buku : Fundamentalisme Dalam Kristen - Islam
Penulis : Ribut Karyono
Penerbit : Kalika Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari, 2003
Tebal : lii+132 halaman
Dewasa ini isu fundamentalisme agama menjadi topik utama dalam kehidupan keberagamaan tidak saja di tanah air, tetapi juga di seluruh dunia. Seperti apa yang disinyalir Karen Amstrong, hampir di setiap agama fundamentalisme selalu muncul, meski kadar dan bentuknya berbeda. Namun, gerakan fundamentalisme agama yang paling tampak berhadap-hadapan, khususnya di Indonesia, tidak lain kecuali terlibatnya dua agama Kristen dan Islam. Dalam Agama Kristen dan Islam, fundamentalisme agama kadang menampak pada sikap keagamaan pemeluknya, sementara di sisi lain fundamentalisme juga tidak jarang tampak meski hanya dalam batasan pemahaman ajaran agama semata. Kendati demikian, fundamentalisme agama tetap merupakan suatu fenomena yang masih tetap samar.
Kerancuan itu pada akhirnya berlanjut pada distingsi kelompok penganut agama. Artinya, cap fundamentalis terkadang diarahkan kepada pihak yang mengaku sebagai kelompok pembaharu. Terkadang dituduhkan oleh kelompok puritan tatkala melawan kelompok liberal, sementara tuduhan yang sama juga kerap dialamatkan kepada kelompok radikal-militan dengan gerakannya yang dinilai serba ekstrem.
Arti Fundamentalisme
Menarik untuk diajukan sebuah pertanyaan, siapakah sebenarnya yang disebut kelompok fundemantalis itu? Untuk mengurai pengertian istilah tersebut, patut disimak pernyataan Daniel B. Stevick, “we are all talking about something which we know exists, but which no one defines”. Ternyata, kendati istilah “fundamentalisme” sering dipakai, tetapi tidak selalu menunjuk pada arti yang sama.
Salah satu penyebab perbedaan definisi itu karena peneliti berbeda pandang dalam mendekati gejala “fundamentalisme”. Ada yang hanya menekankan aspek sosial semata, sebagian lain memusatkan perhatian pada aspek politis. Ada juga yang memberikan perhatian pada aspek doktrin religiusnya. Namun yang paling umum, gerakan fundamentalisme dihubungkan dengan dua sikap yang sangat menyolok, yakni sikap ekstremitas dan sikap puritan yang bertumpu kepada pemurnian agama.
Buku ini secara gamblang mengupas pengertian fundamentalisme disertai akar historis yang cukup memadai. Kutipan yang menunjuk pada penelitian A. Merriam-Webster (1980) menyatakan, fundamentalisme agama sebenarnya telah terjadi di kalangan Protestan Amerika Serikat di awal abad 20. Fundamentalisme di sini dimengerti sebagai sikap penganut agama yang hanya menekankan aspek ketaatan secara harfiah atas sejumlah prinsip keagamaan yang dianggap mendasar. Jika demikian halnya, maka fundamentalisme tidak cukup hanya diidentifikasi sebagai sikap ekstremitas suatu kelompok puritan semata, melainkan juga melanda di kalangan yang dianggap sekuler, modernis dan bahkan tradisionalis dalam memegangi prinsip keagamaannya.
fundamentalisme2
RESENSI:: Menelusuri Akar Fundamentalisme Agama
Halaman sebelumnya James Barr (1977) juga menyebutkan, istilah fundamentalisme muncul pertama kali pada sebulah booklet yang dipublikasikan di Amerika, “The Fundamental” antara tahun 1910-1915. Ungkapan the fundamental itu sendiri menunjuk pada sejumlah unsur doktrin tradisional, yang antara lain diilhami oleh otoritas Alkitab, ke-Allah-an Yesus, kelahiran Yesus dari seorang perawan (The Virgin Birth) dan lain sebagainya.
Dapat dipahami jika fundamentalisme di kalangan sebagian penganut Kristen saat ini selalu dihubungkan dengan gerakan yang hendak mempertahankan dan bertolak dari sejumlah doktrin yang dianggap fundamental warisan awal abad 20 itu. Doktrin yang dianggap mendasar ini berpusat pada prinsip keagamaan tradisional tertentu, seperti prinsip ”tidak mungkin salah” (innerancy) dan “mutlak sempurna” (infallibility) terhadap Alkitab. Alkitab tidak dapat salah dan mutlak sempurna karena diwahyukan Allah (divinely inspired). Bukan hanya tidak mungkin salah pada teologinya saja, tetapi juga mutlak benar secara historis, geografis, dan fakta ilmiahnya. Bertolak dari prinsip demikian, maka Alkitab dipandang sempurna dan harus diterima sebagai seperangkat tata nilai yang dapat diterapkan secara langsung dalam konteks manapun sepanjang zaman.
Berbeda dengan gerakan fundamentalisme di kalangan Kristiani, fundamentalisme dalam Islam pertama kali sejatinya bukanlah merupakan fenomena keagamaan, tetapi lebih merupakan fenomena social-politik yang kemudian berubah menjadi fenomena keagamaan. Namun, dalam Islam terdapat ambivalensi, baik terhadap pengertian istilah fundamentalisme maupun terhadap gerakan fundamentalisme itu sendiri.
Selama ini, fundamentalisme Islam dialamatkan pada empat hal, yakni gerakan tajdid (pembaharuan), kritik terhadap kaum modernis, reaksi terhadap pembaratan (westernisasi), dan keyakinan Islam sebagai ideologi alternatif. Sebagaimana dapat disaksikan, contoh ekstremitas pembaharuan liberal secara fundamental diperlihatkan oleh Kemal Attaturk di Turki, fundamentalisme kelompok modernis dapat dilihat pada sosok modernis Ahmad Khan di India, dan fundamentalisme di kalangan tradisionalis meski agak samar, dapat dialamatkan kepada gerakan Wahabiah dan Salafiah sebagaimana fenomena yang mengemuka di beberapa negara Islam Timur Tengah.
Ambivalensi ini semakin memuncak manakala diselubungi oleh berbagai kepentingan sosial (politik) yang mengambil legitimasi kepada teks keagamaan. Studi Hendrick J. Meuleman (1992) yang dilakukan di Iran dan Aljazair menyimpulkan, ajaran Islam secara fundamental diyakini sebagai ketentuan yang menyeluruh. Pengertian ini juga menyangkut segala bidang kehidupan dan bahkan memunculkan anggapan, bahwa Islam hanya dapat diwujudkan melalui manifestasinya sebagai sistem politik kenegaraan.
Gejala di atas juga tampak tak terbantahkan melanda pada sebagian kelompok Islam di Indonesia. Munculnya parpol-parpol Islam, usaha atau bisnis berlabelkan Islam dan (mungkin) juga yayasan-yayasan bernuansakan Islam, diakui atau tidak banyak yang bersandar pada sistem ideologi, atau Islam dipaksa-paksakan sebagai sistem idiologi bisnis dan politik untuk mencapai tujuannya.
Zaenal Abidin Eko Putro
Aktif di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Jakarta