Solo-Jogja : Perjumpaan Pluralisme
oleh Arif Amani pada 04-01-2008
Oleh Arif Amani
Solo-Jogja merupakan kota yang unik dan kaya sebagai perkembangan khazanah pemikiran bangsa. Berbagai pemikiran keagamaan dan ideologi bertemu dan berakulturasi di kota ini.
Di tengah-tengah kemegahan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Keraton NgaJogjakarta, tiba-tiba Solo-Jogja menjadi lahan subur perkembangan Sarikat Islam dan Muhammadiyah. Solo-Jogja merupakan basis terbesar gerakan Muhammadiyah, baik dari sisi pendukung dan aset organisasi. Unik, karena wacana purifikasi agama yang ditawarkan oleh kedua ormas tersebut, berkembang di tengah-tengah pusat budaya yang sinkretis.
Wajah Purifikasi Agama
Purifikasi agama datang dengan warna-warni tradisi baru yang cenderung Arabis. Purifikasi identik dengan pembentukan komunitas baru dengan baju baru. Purifikasi lebih memilih jalan meninggalkan tradisi lama, tidak ada istilah kemas ulang. Muhammadiyah bukanlah Islam yang suka memilih jalan abu-abu.
Anehnya ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama(NU) mati suri di wilayah ini. Walaupun orang Solo menjaga tradisi pitung dinan, nyatus, nyewu, bahkan haul, tetap saja mereka lebih bangga beridentitas Muhammadiyah daripada NU. Padahal NU mentradisikan nyewu, Muhammadiyah lebih memilih diam dan menghindar. NU sendiri memelihara pluralitas madzab yang menjamin melimpahnya teks yang dapat dijadikan yurisprudensi hukum. NU dianggap sebagai resistensi gerakan purifikasi.
Keraton sendiri sering di sebut sebagai pusat sinkretisme agama, pasca berkuasanya Sutowijoyo sebagai Sultan Mataram. Islam versi Demak telah berakhir. Singasana para wali(kyai) runtuh, Sutowijoyo lebih suka bersemadi di Pantai Selatan. Sutowijoyo menceraikan para kyai dan meminang ratu cantik, Nyi Roro Kidul. Peran politik Kyai-Nyai digusur oleh dominasi Ki-Nyi. Di satu sisi, gelar Ngabdul Rahman Sayidin Panatagama mengukuhkan absolutisme raja-raja Mataram sebagai hakim agama.
Di dalam dunia sosiologi, meminjam istilah almarhum Cliffordz Greetz, keraton mewakili kaum priyayi dan Muhammadiyah lebih tepat kita sebut kaum santri reformis. Lalu seberapa besar kekuatan politik kaum abangan?
PDI-P mencitrakan diri sebagai partai advokasi wong cilik, menolak formalisme agama, dan Pancasila adalah harga mati ideologi negara. PDI-P menjadi ikon resistensi terhadap gerakan Islam kanan.
Pasca reformasi juga menunjukkan adaptifnya Solo-Jogja terhadap berbagai gerakan trans-nasional. Isu-isu khilafah ala Hizbut-Tahrir di Yordania, gerakan formalisasi syari’ah ala Ikhwanul Muslimin di Mesir, gerakan Wahabi ala Arab Saudi hingga wajah radikalisme Islam mengalami perjumpaan di kota Solo-Jogja.
Kasus Bom Bali menjadikan kota Solo-Jogja tertuduh utama. Solo-Jogja menjadi persimpangan utama jalur teroris. Mungkin benar, titik pusatnya. Belum lagi berjubelnya ormas Islam di Solo-Jogja ini yang cenderung saling mandiri tanpa terlihat ikatan kultural yang jelas.
Sebagai aliran agama, ormas-ormas baru ini condong kepada konsep purifikasi agama. Di satu sisi, ini adalah mitra bagi Muhammadiyah. Namun, di sisi lain, menunjukkan gagalnya gerakan Muhammadiyah bermetamorfosis menjadi sebuah kultur sosial. Kapal Muhammadiyah telah pecah, gagal menampung berbagai tafsir purifikasi dan formalisasi agama di daerah basisnya.
Psikologi Masyarakat
Bagaimana memahami kontradiksi kultural-ideologis ini? Sebagai pusat kerajaan di Jawa, Solo-Jogja, telah menjadikan masyarakatnya intelek, adaptif dan kosmopolit. Orientasi kedudukan (jabatan) dan identitas modern melekat sebagai akibat kultur keraton.
Darah ningrat inilah yang kita warisi dari Keraton. Orang Solo-Jogja selalu terobsesi membuat darahnya menjadi biru kembali. Tak heran, bila orang Solo banyak menduduki posisi penting di pemerintahan pusat Jakarta. Orang Solo-Jogja lebih bangga memiliki jabatan daripada menjadi pengusaha kaya. Satu hal yang masih sakral dari keraton, gelar kebangsawanan. Orang berebut mendapatkannya.
Di Solo pejabat menempati kelas paling terhormat. Hal ini adalah reuni budaya tatkala rakyat begitu patuh menghadiri pisowanan di alun-alun. Rakyat merasa terhormat dan bangga bertemu Sri Susuhunan. Di Demak, kyai menempati strata sosial paling atas. Singgasana para kyai masih kokoh di Pantura.
NU menempatkan posisi kyai di atas pejabat. Hambatan psikologis inilah yang menghambat perkembangan NU di Solo-Jogja. Budaya-budaya NU diterima namun identitas NU ditolak. Stigmatisasi tradisionalisme di tubuh NU berlawanan dengan kultur intelek dan modern darah biru keraton. Muhammadiyah yang dianggap lebih akomodatif dengan kelas priyayi jauh lebih berkembang. Singkatnya, kaum ningrat(priyayi) malu berbaju NU. NU itu kampungan dan miskin.
Tatkala budaya keraton ditinggal di museum, terjadi kekosongan budaya di Solo-Jogja. NU gagal berkembang. Muhammadiyah masih saja diam, maka budaya trans-nasional menyerang Solo-Jogja.
Mungkin selamanya, dangdutan, koes plus-an, dan konser musik impor yang akan menghiasi THR Sriwedari. Seperti sulitnya menggusur kemenangan PDI-P dari kota ini. Kulturalisasi agama tidak bergerak dari hasil yang selalu prematur. Dangdut adalah simbol wong cilik. Kaum abangan inilah mayoritas sesungguhnya.. Mereka punya model keIslaman tersendiri.
Penulis adalah pemerhati sosial,
aktivis Lakpesdam (Lembaga
Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia) NU
Kab. Karanganyar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar