Solo: Yang Membunuh Seraya Tersenyum
May 11th, 2008 | memori, solo
Kota Solo dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, yang halus dan bermartabat. Namun, secara paradoksal, dia juga menjadi ladang radikalisasi rakyat turun-temurun. Kota ini hampir senantiasa menjadi pelopor gerakan anti-etnis Cina, sejak berabad lalu. Kenapa itu semua terjadi?
Sebagian Toserba Sami Luwes, Solo, dibuka kembali pekan lalu. “Untuk mengejar Natal dan Tahun Baru. Juga Lebaran,” kata seorang pegawai toko itu. Toserba itu telah mengalami istirahat panjang setelah menjadi sasaran amuk massa Mei 1998, menyertai
jatuhnya Soeharto.
Porak-poranda dan sempat menjadi “ladang pembakaran”, Solo kini pelan-pelan beringsut ke situasi normal, meski belum semegah seperti dua tahun silam. Setelah kerusuhan Mei 1998, Solo kini hanya memiliki satu supermarket bergengsi, yakni Matahari, yang dibangun setahun lalu. Itu pun kini terkesan sumpek dan padat. Pendek kata, sebagian penduduk Solo kini tak lagi merasakan kehidupan modern seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kerusuhan Mei lalu di Solo merupakan peristiwa kekerasan terbesar di luar Jakarta. Bahkan untuk ukuran Solo sendiri, peristiwa itu secara kuantitatif lebih besar dari kerusuhan-kerusuhan serupa pada masa lalu. Untuk menunjukkan skala tragedi: rusak 348 rumah, kantor, hotel, toserba, dan gedung bioskop. Sekitar 297 mobil dan 570 sepeda motor hangus.
Seperti pada waktu-waktu lalu, etnis Cina menjadi korban empuk kerusuhan. Namun, khususnya pada Mei itu, protes bukan lagi terbatas pada keresahan ekonomi berbasis rasial, melainkan berbau politik. Salah satu rumah yang terbakar adalah milik Harmoko-Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR/MPR kala itu. Pembakaran
itu bisa dikatakan juga merupakan simbol kemuakan massa terhadap Golkar serta kebijakan “kuningisasi” yang kelebihan dosis.
Kenapa itu bisa terjadi, sementara selama ini kota Solo dikenal berpenduduk “sopan, lemah-lembut, dan manis”?
Pertanyaan seperti itulah yang ingin dijawab oleh Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Solo. Lembaga swadaya masyarakat ini mencoba mencari akar-akar keresahan masyarakat Solo. Dan hasilnya, meski belum final, adalah sebuah buku setebal 658 halaman, berjudul Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit:
Studi Radikalisasi Sosial Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta.
Menurut M. Hari Mulyadi, koordinator LPTP, dari penelitian itu diperoleh data adanya proses tarik-ulur-antara konflik dan penyatuan-dalam masyarakat Solo sejak pertengahan abad ke-18 hingga akhir abad ke-20. Konflik-konflik itu memiliki persamaan yang khas. Pertama adalah power struggle. Kedua adanya benturan nilai (value struggle) dalam upaya perebutan pengaruh dan hegemoni-baik sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun agama.
Pada kenyataannya, Solo memang kota di Jawa yang paling dinamis sejak sebelum kemerdekaan. Dia menjadi ajang pembentukan organisasi-organisasi pergerakan dan partai-partai politik. Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI)-dua partai besar pada masa Orde Lama-memang berawal dan membesar dari sini. Bahkan citra “kawah Candradimuka para politisi” itu belum berhenti hingga kini. Dari kota ini pula muncul orang seperti Amien Rais dan Sri Bintang Pamungkas.
M.T. Arifin, peneliti sosial lain yang juga berminat menyimak kasus kerusuhan Solo ini, mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi pertama-tama merupakan hasil dari kondisi sosial di sana. Teori konspirasi atau rekayasa dari pusat, menurut Arifin, tidak secara signifikan bisa menjelaskan asal-muasal kerusuhan
itu.
Apa yang ada, menurut Arifin, adalah fenomena radikalisme kejawen. “Memang ada citra lemah lembut, tapi bukan berarti ramah,” kata Arifin. “Orang Solo itu bisa membunuh dengan tersenyum.” Radikalisasi terus berlangsung. Konflik sosial yang gampang meletup dalam bentuk kekerasan terus-menerus terjadi di
Solo dengan pemicu yang beragam.
Solo sebenarnya merupakan salah satu kota pedalaman Jawa yang relatif maju. Benturan politik, salah satu faktor utama, telah muncul sejak abad ke-16, yakni pada masa Sultan Pajang, Mataram. Konflik itu terjadi antara kelompok pribumi dan Cina menyangkut penguasaan tanah perkebunan.
Pada era kolonial, konflik makin banyak terjadi karena Solo merupakan pertemuan pasukan kerajaan (dan kolonial) dengan pemberontak. Semua pemberontakan dalam Kerajaan Mataram berawal dari Solo, termasuk misalnya pemberontakan Diponegoro.
Meski pemicunya bisa beragam, ada faktor yang tetap: kelompok etnis Cina selalu menjadi sasaran penjarahan dan perampokan. Namun, menurut Arifin, kerusuhan di Solo tidaklah mencerminkan
persoalan etnis. “Masalahnya lebih pada persepsi tentang dominasi ekonomi, politik, dan agama,” katanya. Dalam kerusuhan Mei lalu, menurut Arifin, sebagian para penjarahnya juga datang dari kalangan Cina. Orang pribumi bahkan juga melindungi orang-orang Cina yang tinggal di kampung-kampung mereka.
Drama di Solo Baru, sebuah kota satelit yang modern, juga menunjukkan bahwa kerusuhan itu tidak pertama-tama diilhami oleh sentimen rasial. Banyak orang Cina kaya tinggal di permukiman mewah itu. Namun, ketika ribuan orang datang merangsek, para perusuh ternyata hanya membakar rumah Harmoko dan Gedung Bioskop 21 milik Sudwikatmono.
Tak pelak lagi. Solo pada dasarnya adalah sebuah “melting pot” dari beragam kelompok: kultural, politik, dan ekonomi. Telah lama sebenarnya Solo dan rajanya memiliki hubungan yang mendunia. Sejak berabad
lalu, mereka sudah melakukan komunikasi dengan masyarakat India, Arab, Turki, dan Cina. Tak heran jika
raja Solo diberi gelar Sunan Khalifatullah Sayidin Panatagama Pakubuwono. Artinya: raja wakil Tuhan di bumi yang memimpin agama dan mampu membawa kemakmuran bagi seluruh dunia. Istilah itu mencerminkan semangat universalisme dan kosmopolitanisme yang menyeluruh.
Namun sayang, sejak masa kolonial, berbagai kelompok itu tidak menemukan cara yang bermartabat untuk melakukan tawar-menawar akibat dominasi dan manipulasi oleh negara. Pemerintah kolonial Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru, menurut Hari Mulyadi, telah menghilangkan watak holistik (kosmopolit dan menyeluruh) dari kultur tradisional. “Mereka mencoba melecehkan watak holistik itu dengan menyingkirkan keaslian dan keautentikan kreatif wong Solo.”
Represi yang dilakukan penguasa terdahulu tidak menolong Solo meredam hasrat pemberontakannya. Bahkan kian menjadi-jadi. “Karena kehilangan watak holistiknya, kultur tradisional itu kurang peka terhadap watak dinamis rakyat yang mulai terbuka terhadap informasi yang maju pesat,” katanya.
Menurut Hari Mulyadi, amuk massa yang bersifat distorsi muncul sebagai akibat rakyat kehilangan kesabaran atas penindasan oleh penguasa di tengah keterbukaan politik yang kian berembus. Untuk mengobatinya, tak bisa tidak adalah dengan memenuhi kebutuhan dasar warga Solo dengan mempromosikan kemandirian sosial, keadilan sosial, dan partisipasi masyarakat. Kebutuhan dasar
tersebut akan terpenuhi jika terjadi komunikasi atau dialog vertikal ataupun horizontal yang berlangsung secara cepat, akurat, dan terbuka, yang melibatkan semua pihak. Tidak ada yang merasa dipinggirkan. Tidak ada yang merasa harus marah.
*) Kiriman Om Wicak, TEMPO edisi 991219-041/Hal. 39 Rubrik Selingan. Suwun Om.
Senin pagi ini setelah membaca kembali tulisan diatas, membuat saya ingin menangis teringat kisah 10 tahun lalu, saya bersepeda putar kota karena gatal mencari apa yang sedang terjadi di kota itu bersama kawan yang berakhir tragis.
Kamis, 09 Oktober 2008
solo radical
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar