Rabu, 08 Oktober 2008

fundamentalisme2

RESENSI:: Menelusuri Akar Fundamentalisme Agama

Halaman sebelumnya James Barr (1977) juga menyebutkan, istilah fundamentalisme muncul pertama kali pada sebulah booklet yang dipublikasikan di Amerika, “The Fundamental” antara tahun 1910-1915. Ungkapan the fundamental itu sendiri menunjuk pada sejumlah unsur doktrin tradisional, yang antara lain diilhami oleh otoritas Alkitab, ke-Allah-an Yesus, kelahiran Yesus dari seorang perawan (The Virgin Birth) dan lain sebagainya.

Dapat dipahami jika fundamentalisme di kalangan sebagian penganut Kristen saat ini selalu dihubungkan dengan gerakan yang hendak mempertahankan dan bertolak dari sejumlah doktrin yang dianggap fundamental warisan awal abad 20 itu. Doktrin yang dianggap mendasar ini berpusat pada prinsip keagamaan tradisional tertentu, seperti prinsip ”tidak mungkin salah” (innerancy) dan “mutlak sempurna” (infallibility) terhadap Alkitab. Alkitab tidak dapat salah dan mutlak sempurna karena diwahyukan Allah (divinely inspired). Bukan hanya tidak mungkin salah pada teologinya saja, tetapi juga mutlak benar secara historis, geografis, dan fakta ilmiahnya. Bertolak dari prinsip demikian, maka Alkitab dipandang sempurna dan harus diterima sebagai seperangkat tata nilai yang dapat diterapkan secara langsung dalam konteks manapun sepanjang zaman.

Berbeda dengan gerakan fundamentalisme di kalangan Kristiani, fundamentalisme dalam Islam pertama kali sejatinya bukanlah merupakan fenomena keagamaan, tetapi lebih merupakan fenomena social-politik yang kemudian berubah menjadi fenomena keagamaan. Namun, dalam Islam terdapat ambivalensi, baik terhadap pengertian istilah fundamentalisme maupun terhadap gerakan fundamentalisme itu sendiri.

Selama ini, fundamentalisme Islam dialamatkan pada empat hal, yakni gerakan tajdid (pembaharuan), kritik terhadap kaum modernis, reaksi terhadap pembaratan (westernisasi), dan keyakinan Islam sebagai ideologi alternatif. Sebagaimana dapat disaksikan, contoh ekstremitas pembaharuan liberal secara fundamental diperlihatkan oleh Kemal Attaturk di Turki, fundamentalisme kelompok modernis dapat dilihat pada sosok modernis Ahmad Khan di India, dan fundamentalisme di kalangan tradisionalis meski agak samar, dapat dialamatkan kepada gerakan Wahabiah dan Salafiah sebagaimana fenomena yang mengemuka di beberapa negara Islam Timur Tengah.

Ambivalensi ini semakin memuncak manakala diselubungi oleh berbagai kepentingan sosial (politik) yang mengambil legitimasi kepada teks keagamaan. Studi Hendrick J. Meuleman (1992) yang dilakukan di Iran dan Aljazair menyimpulkan, ajaran Islam secara fundamental diyakini sebagai ketentuan yang menyeluruh. Pengertian ini juga menyangkut segala bidang kehidupan dan bahkan memunculkan anggapan, bahwa Islam hanya dapat diwujudkan melalui manifestasinya sebagai sistem politik kenegaraan.

Gejala di atas juga tampak tak terbantahkan melanda pada sebagian kelompok Islam di Indonesia. Munculnya parpol-parpol Islam, usaha atau bisnis berlabelkan Islam dan (mungkin) juga yayasan-yayasan bernuansakan Islam, diakui atau tidak banyak yang bersandar pada sistem ideologi, atau Islam dipaksa-paksakan sebagai sistem idiologi bisnis dan politik untuk mencapai tujuannya.

Zaenal Abidin Eko Putro

Aktif di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Jakarta

Tidak ada komentar: