Jumat, September 05, 2008
Enam Sikap Asasi Bagi Mujahid
Senandung Para Mujahid
QS. Al-Anfal: 45-47
ENAM SIKAP ASASI BAGI MUJAHID
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.
Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan”.
Pada ayat-ayat sebelumnya disebutkan, bahwa berbagai peristiwa yang meliputi perang Badar, berada di bawah kendali dan tadbir Allah swt. Karenanya kemenangan yang berhasil diraih dalam perang ini pun berasal dari Allah sw.
Dalam dunia da’wah dan jihad, persiapan materi bukanlah faktor utama yang menentukan akhir sebuah pertarungan. Kuantitas pasukan pun tidak menjadi unsur dominan yang secara mutlak mempengaruhi sebuah peperangan. Sebab semuanya berasal dari Allah swt.
Jadi, tidak ada faktor yang membuat kaum muslimin khawatir apalagi gentar dalam meniti da’wah dan jihad. Mereka seharusnya berteguh hati (tsabat) dalam memperjuangkan agama Allah. Tetap memantapkan kondisi jiwa dan raga menghadapi sebesar apapun kekuatan musuh di arena da’wah.
Inilah yang harus diperhatikan para juru da’wah dan mujahidin. Sayyid Quthb –rahimahullah- menyebutkan, “Lakukan hakekat perbekalan untuk berperang, tempuh segala sarana yang dapat menjalin hubungan dengan Sang Pengatur dan Penguasa. Pemilik pertolongan dan dukungan. Pemilik kekuatan dan kekuasaan. Hindari segala hal yang menyebabkan kehancuran sebagaimana kehancuran kaum kuffar meski mereka dalam jumlah yang banyak. Lepaskan semua unsur riya’, sombong, kebathilan. Agar terhindar dari tipu daya syaithan yang telah menghancurkan orang-orang kafir itu. Lalu bertawakallah kepada Allah semata, sebab Dia-lah Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”. (Fi Dzilalil Qur’an, 3/1527).
Dalam ayat 45-47 ini, meski difirmankan dalam kalimat yang ringkas, di sana Allah swt. melandaskan makna yang dalam lewat penyebutan enam sikap asasi bagi setiap juru da’wah dan para mujahid. Ayat ini dimulai dengan panggilan yang untuk kesekian kalinya dalam surat ini kepada orang-orang yang beriman. “Yaa ayyuha lladziina aamanuu…………….”
Enam sikap yang dituangkan dalam ayat ini adalah sebagai berikut:
1. TSABAT
Mental kuat dan kokoh dalam jiwa prajurit ketika menghadapi musuh adalah perjalanan menuju kemenangan. Kelompok yang paling teguh dan kuat bertahan dalam sebuah peperangan adalah kelompok yang paling layak untuk menang. Berpaling dari arena peperangan lantaran takut menghadapi musuh adalah sikap tercela. Rasulullah saw. Bersabda,
“Wahai manusia, jangan kalian mengangankan bertemu musuh, mintalah keselamatan pada Allah. Namun bila kalian bertemu mereka, bersabarlah. Ketahuilah bahwa syurga itu berada di bawah bayangan pedang”, sampai disini Rasul menghentikan sabdanya, beliau kemudian berdiri dan mengatakan, “Allahuma Yang Menurunkan Kitab, dan Yang Menjalankan awan dan Penghancur pasukan-pasukan, hancurkanlah mereka dan menangkanlah kami atas mereka”. (HR. Syaikbani dari Abdullah bin Abi Aufa).
Tidak perlu cemas atau khawatir. Kepayahan, kesulitan serta rasa sakit yang diderita pasukan muslimin dalam jihad ini juga dialami oleh pasukan musuh. Bahkan dalam hal ini, kaum muslimin masih berada dalam posisi yang lebih mulia dibanding mereka. Selain menderita kesulitan dan kepayahan, pasukan kafir tidak memiliki tempat bergantung dan tidak ada yang dapat mereka harapkan dari Allah swt.
Berlainan dengan orang-orang yang beriman. Satu-satunya tempat mereka berharap hanyalah Allah swt. Itulah yang paling kuasa menyusupkan keteguhan dan kemantapan mereka berjihad.
“Siapa yang mampu menggoyahkan kaki orang-orang beriman sedang mereka meyakini dua kemenangan: mati syahid atau menang melawan musuh? Sementara musuh mereka tidak menghendaki apapun kecuali dunia. Mereka demikian memendam ambisi terhadap kehidupan ini. Kehidupan yang tidak memiliki harapan dan tidak ada kehidupan setelahnya”. (Fi Dzilalil Qur’an. 3/1528).
2. DZIKRULLAH
Anjuran Allah untuk berdzikir saat situasi genting merupakan anjuran yang berulangkali ditekankan dalam al-Qur’an. Dzikrullah hendaknya menjadi perilaku yang mengakar dalam jiwa setiap pribadi mu’min. Al-Qur’an menyebutkan berbagai peristiwa sejarah yang tersirat di dalamnya anjuran bedzikir di saat sulit.
“Dan kamu tidak membalas dendam dengan menyiksa kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami. (Mereka berdo’a), “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)”. (QS. Al-A’raaf: 126).
Begitu yang tersirat tatkala alQur’an membahas kisah bani Israil.
“Tatkala Jalut dan tentaranya telah tampak oleh mereka, mereka pun berdo’a, “Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir”.
Al-Qur’an juga menceritakan tentang sejarah sekelompok kaum beriman dalam medan tempur,
“Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka yang sejumlah besar pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tiada do’a mereka selain ucapan, “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami. Dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum kafir”. (QS. Ali Imran: 146-147).
“Sesungguhnya fungsi dzikrullah tatkala berhadapan dengan musuh itu banyak: menjalin hubungan dengan kekuasaan yang tidak terkalahkan, kepercayaan kepada Allah Yang menolong para wali-Nya … dan pada saat yang sama dzikrullah akan menghadirkan hakikat sebuah peperangan: latar belakang serta tujuannya. Ia adalah perang karena Allah, perang untuk mengukuhkan kekuasaan-Nya di muka bumi, dan mengusir para thagut yang mengaku memiliki hak prerogatif Allah. Jadi, ia adalah perang untuk meninggikan konsepsi Allah, bukan untuk ghanimah, bukan untuk ketinggian pribadi atau suatu bangsa … “. (Fi Dzilalil Qur’an, 3/1528).
3. TAAT
Anjuran taat kepa Allah dan Rasul-Nya menjelang pertempuran agar pasukan kaum mukminin sejak awal memiliki konsep yang jelas. Di gerbang peperangan mereka harus telah mematri niat berserah diri sepenuhnya pada Allah swt. dan Rasul-Nya. Dengan kebersihan niat dan keyakinan seperti ini, hilanglah segala penyakit yang dapat menimbulkan pertentangan dan perselisihan. Masing-masing menempatkan komitmen ketaatan yang tinggi hanya kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. sebagai pimpinan pasukan saat itu. Bukan kepada manusia lain, juga bukan pada kehendak diri dan kecenderungan hawa nafsunya.
4. MENGHINDARI PERPECAHAN
Ada dua hal yang melatar belakangi munculnya perselisihan diantara pasukan.
Pertama: Bila muncul keragaman instruksi dan arahan dari sang komandan.
Kedua : Tatkala hawa nafsu yang bermain di belakang pandangan dan pikiran seseorang.
Hal ini terkait erat dengan anjuran ta’at mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Tatkala kaum mukminin sepenuhnya menyerahkan keta’atan kepada Allah dan Rasul, maka tidak ada lagi celah bagi dua faktor yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran di atas. Sekalipun kelak timbul perbedaan pandangan dan pendapat, namun niscaya seluruhnya bisa terpadu kembali.
“Karena itu, yang menjadi sebab munculnya pertengkaran hakikatnya bukan perbedaan pendapat, tapi soal hawa nafsu yang menjadikan orang memiliki pendapat berbeda itu memaksakan pandangannya. Meskipun sesungguhnya ia dapat meraba kebenaran dalam pendapat dan pandangan orang lain”. Fi Dzilalil Qur’an, 3/1529).
Keta’atan kepada Pemimpin Tertinggi (Allah dan Rasul), mengharuskan keta’atan pada semua pimpinan yang memiliki orientasi ta’at kepada Pimpinan Tertinggi itu, Sayyid Quthb –rihimahullah- membahasakan keta’atan ini lebih indah, “Ini bentuk keta’atan orang berdimensi dalam, bukan sekedar keta’atan struktural yang ada pada pasukan yang tidak berperang karena Allah dimana loyalitas yang mereka berikan pada komandan perangnya tidak berasal dari loyalitas pada Allah”. (Fi Dzilalil Qur’an, 3/1528).
5. SABAR
Sikap sabar sangat diperlukan semua orang yang terjun dalam peperangan. Baik kesabaran dalam arena perang melawan hawa nafsu, maupun sabar dalam arena perang bersenjata. Juga sabar atas kesulitan dan kepayahan dalam peperangan, sabar melewati lamanya masa menanti kemenangan, menahan derita yang bertubi-tubi dan seolah tidak kunjung selesai. Termasuk juga sabar dalam menyaksikan jumlah pendukung yang sedikit, dalam merasakan fasilitas da’wah dan jihad yang jauh ketinggalan dibandingkan fasilitas musuh, serta sabar dalam menanti pertolongan Allah.
“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
6. WASPADA DARI RIYA’ DAN SOMBONG
Allah mengingatkan kaum mukminin agar keluarnya mereka ke medan perang bukan untuk kesombongan dan pamer kekuatan. Sehingga anugrah yang Allah berikan itu disalurkan pada sesuatu yang tidak Allah kehendaki. Kaum beriman, keluar hanya semata-mata untuk perang di jalan Allah. Gerakan da’wah dilakukan hanyalah untuk menancapkan kekuasaan Allah dalam kehidupan manusia sekaligus menetapkan penghambaan mereka hanya pada Allah swt semata. Bukan untuk melampiaskan rasa sombong atau takabbur. Baik oleh jumlah atau fasilitas. Sikap riya’ dan sombong yang disebutkan dalam ayat ini terjadi di awal peperangan Badar, yakni di kalangan pasukan Quraisy. Saat berangkat, mereka begitu membangga-banggakan kelebihan dan kekuatan yang mereka miliki. Sepanjang perjalanan mereka mencaci maki agama Allah dan kaum muslimin. Mereka memukul bedug dan bersorak sorai.
Tatkala bantuan pasukan Abu Sofyan tiba dan kafilah Abu Jahal mengira mereka telah lolos dari kejaran kaum mislimin, Abu Jahal berkata, “Kita tidak akan kembali, kecuali setelah sampai bukit Badar. Di sana kita akan bermalam tiga hari, berpesta pora menyembelih hewan, makan-makan dan minum-minum…”
Namun, kesombongan itu ternyata beakhir pada kekalahan dan kehancuran. Mereka kalah di medan Badar dan kembali ke Makkah dengan diliputi kesedihan amat dalam dan kehinaan.
Urgensi penerapan enam sikap di atas, tidak hanya terbatas hanya di medan pertempuran fisik.
Sebab hakikatnya setiap jur da’wah berada di arena pertempuran dan pertarungan. Pertarungan ideologi, pemikiran atau militer adalah sama.
(Disalin dari Seandung Para Mujahid tafsir Qur’an surat al-Anfal buku 6, Pustaka Tarbiatuna, Jakarta, 2001)
Diposting oleh mr. webadmin di 15:56
0 komentar:
Kamis, 25 September 2008
sikap mujahid
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar