Istilah Ikhwan - Akhwat. Perlukah ?
Posted on January 12, 2008 by putra purnama
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujuraat : 13)
Eh, dia itu rajin shalat tahajud dan tilawah lho.. padahal dia bukan ikhwan..
Dia itu pakai jilbab gede lho.. padahal dia bukan akhwat..
Sudah lama otak saya terganggu oleh ucapan atau percakapan diatas. Bahkan saya pun sering dikatakan bukan seorang ikhwan meskipun jelas-jelas saya itu seorang ikhwan (laki-laki). Istilah ikhwan dan akhwat memang semakin populer saja sejak semangat dakwah di kampus-kampus, dari kampus yang besar sampai yang kecil, mengalami peningkatan yang amat pesat, terutama dalam sepuluh tahun terakhir ini. Entah bagaimana sejarah mulanya mereka yang aktivis dakwah harus menyebut dirinya ikhwan atau akhwat. Yang jelas, ternyata ada pergeseran makna kata ‘ikhwan’ dan ‘akhwat’ dalam perjalanan penggunaannya.
Secara lughatan (bahasa/etimologis) kata ‘ikhwan’ adalah bentuk jamak dari akhun, yang artinya saudara, sedangkan ‘akhwat’ adalah bentuk jamak dari ukhtun dengan arti yang sama. Saudara disini bisa bermakna denotatif, yang berarti saudara kandung atau saudara sepertalian darah, ataupun bermakna konotatif, yang berarti saudara dalam arti yang lebih luas. Misalnya saudara seiman, saudara seorganisasi, dsb.
Barangkali, dari pemaknaan secara luas itulah mulanya istilah ikhwan dan akhwat (atau panggilan ‘akhi’ dan ‘ukhti’) dipakai dikalangan aktivis dakwah. Mungkin maksudnya adalah untuk mempertegas dan memperkuat pertalian saudara sesama muslim dan sesama aktivis dakwah. Allah SWT memang telah meniscayakan bahwa sesama mukmin adalah bersaudara (QS. Al-Hujuraat :10). Ikatan persaudaraan sesama muslim tentu akan sangat bermakna bagi seorang aktivis, apalagi ketika berada di lingkungan dan Negara yang mayoritas warganya non-muslim. Tetapi, mengapa haru memakai istilah bahasa Arab dan apakah ada muatan ideologis didalamnya ataukah hanya sekedar pilihan, tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti. Konon, para aktivis dakwah di Negara-negara Barat saling memanggil koleganya dengan” brother” atau “sister”. Yang jelas, dengan memakai bahasa apapun, jika pemaknaan sebatas ‘saudara sesama muslim’ atau ‘sesama aktivis dakwah’, penggunaan panggilan ikhwan atau akhwat tidak menjadi masalah. Namun, ketika pemaknaannya bergeser lebih jauh, apalagi menyangkut prinsip dan aqidah, tentu akan menjadi masalah.
Dan tampaknya memang ada pergeseran makna ikhwan dan akhwat dikalangan para aktivis sekarang ini. Menariknya lagi, seperti ada lebih dari satu pergeseran makna disana. Mari kita kaji sejenak.
Pertama – ikhwan dan akhwat (mulanya) adalah sebutan dan identitas untuk para aktivis dakwah. Bukan ikhwan atau akhwat berarti bukan aktivis dakwah. Sampai disini, istilah ikhwan dan akhwat hanyalah sebatas identitas atau atribut sosial yang mungkin tidak terlalu menimbulkan persoalan.
Kedua – dengan tetap melekatkan pemaknaan pertama – ikhwan dan akhwat adalah muslim atau muslimah yang baik, yang menjalankan ajaran agama dengan sebenar-benarnya, dan yang mendapat hidayah. Bukan ikhwan atau akhwat berarti belum menjadi muslim yang baik. Pemaknaan ini menjadi gawat jika tidak diklarifikasi, apalagi jika diikuti dengan atribut dan simbol-simbol tertentu. Misalnya, cara berpakaian, ikut jamaah tertentu, dsb.
Perubahan Makna
Sebagai manusia, kita cenderung untuk menilai dan memaknai sesuatu dari apa yang tampak. Kita juga cenderung menilai sesuatu berdasarkan pola pemahaman semantik dan persepsi yang telah terbangun dalam kepala kita, yang kita yakini kebenarannya meskipun belum tentu benar. Dengan mempelajari makna kata dan perubahannya, diharapkan bias-bias persepsi dan pemahaman bahasa bisa dihindari.
Dalam ilmu linguistic, makna sebuah kata bisa berubah dalam waktu yang relatif lama, terlebih kata serapan. Cabang linguistik yang mempelajari hal ini disebut semantik diakronis, yakni pengetahuan tentang makna kata serta perubahannya dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut disebabkan beberapa faktor, diantaranya perkembangan sosial-budaya, perkembangan pemakaian kata, pertukaran tanggapan indera, dan adanya asosiasi. Proses perubahan makna ikhwan dan akhwat di kalangan aktivis dakwah dapat dipahami dan dijelaskan dengan semantik diakronis ini.
Secara alami, perubahan makna kata memang pasti terjadi. Namun, kita sebenarnya bisa mengendalikan perubahan tersebut. Apalagi dalam komunitas masyarakat yang relatif kecil (komunitas gerakan dakwah misalnya). Secara sederhana, misalnya, dengan menegaskan apa, mengapa dan bagaimana sebuah istilah digunakan.
Simbol dan Hakikat
Apa yang kita dapat pelajari tentang pemakaian dan pemaknaan kata ‘ikhwan’ dan ‘akhwat’ dalam tulisan ini ? Bahwa bahasa, simbol, dan apapun yang tertangkap oleh indera, belum tentu menggambarkan hakikat yang sebenarnya dari apa dan siapa yang diekspresikan oleh bahasa atau simbol tersebut.
Simbol dan bahasa adalah apa yang tampak dan apa yang yang bisa ditangkap oleh indera, dan ia sangat terbatas. Sedangkan hakikat adalah apa yang ada dalam hati. Maka untuk mengetahui hakikat seseorang, jangan hanya percaya pada simbol dan bahasa, akan tetapi selamilah lebih dalam apa dan siapa dibalik simbol dan bahasa tersebut. Itulah yang diajarkan dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa Abdullah bin Mas’ud ra. pernah diejek karena betisnya yang kecil (perhatikan kata “kecil” dalam kalimat “betis yang kecil” yang mungkin dikonotasikan sebagai sesuatu yang jelek dan buruk). Sekonyong-konyong Rasulullah SAW datang dan menegaskan bahwa kedua betis yang kurus itu disisi Allah lebih berat daripada bukit Uhud. Bilal bin Rabbah ra. adalah mantan budak yang berkulit hitam legam. Ia bahkan ragu-ragu untuk menyunting seorang perempuan. Akan tetapi, siapakah yang berani menyepelekannya? Ketika lamaran disampaikan, perempuan itu sampai menangis lantaran merasa dirinya tidak cukup pantas untuk mendampingi seorang shalih sekaliber sang mantan budak.
Maka dari itu Nabi SAW pun pernah bersabda: Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati kamu. (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a)
Penggunaan simbol, istilah, sebutan, label atau apapun untuk menegaskan identitas adalah hal yang lumrah dan sah. Namun jika simbol, istilah, sebutan, dan label itu kemudian digunakan untuk menentukan kadar hati dan iman seseorang, baik disengaja atau tidak, atau bahkan sebagai pembeda dalam memandang seseorang kurang islami ataupun lebih islami, maka itu telah melampaui batas.
Akhirul kalam, saudara-saudaraku yang menggunakan istilah ‘ikhwan’ dan ‘akhwat’, atau istilah apapun dari bahasa apapun, silahkan diteruskan. Apalagi kalau itu bisa memperkuat ikatan persaudaraan sesama, apalagi kalau itu menambah menambah semangat Anda untuk berusaha menjadi muslim yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang-orang disekitar Anda. Tapi harus diingat, sebelum menggunakan istilah tersebut harus diketahui agar tidak terjadi pergeseran makna yang tidak benar.
Selanjutnya, mari kita kembalikan ukuran penilaian kita terhadap seseorang berdasarkan amaliah ibadah dan perilakunya sehari-hari, bukan pada aktif di organisasi apa orang itu, aktif di jamaah apa dia, orang mana dia, atau berasal dari suku apa. Tentu saja ukuran penilaian yang saya maksud di sini adalah sebatas ukuran baik dan tidak baik secara manusiawi, bukan sampai pada apakah orang itu termasuk golongan surga atau neraka, atau apakah orang itu bertakwa atau tidak. Karena hanya Allah Ta’ala semata Yang Tahu dan Yang Berhak.
Wallahu A’lam.
Kamis, 25 September 2008
istilah ikhwan dan akhwat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar