Tashwir:
BEREBUT PENGIKUT DI AKAR RUMPUT
E. Shobirin Nadj.
Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar
Dari waktu ke waktu di negeri ini banyak golongan atau organisasi dakwah yang
menjajakan paham keislamannya seperti Islam Jamaah, Jamaah Tablig, Darul Arqam,
termasuk Ahmadiyah yang sudah masuk di Indonesia sejak awal abad ke-20-an. Di masa
Orde Baru, organisasi-organisasi tersebut umumnya bergerak di bawah tanah.
Kelompok Islam Jamaah sempat dilarang atas desakan umat Islam yang merasa mewakili
paham arus utama. Islam Jamaah lantas berganti nama dan secara politik berlindung di
bawah Golkar yang sekarang makin menyebar.
Gerakan Islam yang muncul dasawarsa 80-an berbeda dengan gerakan Islam
sebelumnya. Gerakan Islam tahun-tahun ini memiliki hubungan yang intens dengan
gerakan Islam di Timur Tengah melalui berbagai cara. Ada yang mengadopsi gerakan
oposisional seperti Ihwanul Muslimin di Mesir, latihan militer di Libya, atau berjihad di
Afghanistan. Malaysia atau Pakistan dalam kaitan itu menjadi negara perantara. Tempat
persemaian gerakan Islam baru ini sebagian besar berbasis di kampus-kampus seperti
Darul Arqam, kelompok-kelompok usrah, kelompok-kelompok Islam bawah tanah yang
berorientasi Ihwanul Muslimin, belakangan berkembang juga kelompok Hizbut Tahrir dan
sejenisnya. Sebagian besar gerakan Islam baru ini oleh para ahli dimasukkan sebagai
kelompok revivalis yang ajaran keislamannya mengacu pada paham Wahabi, dan oleh
karena itu, ada juga yang menyebutnya sebagai gerakan neo-salafi. Sebagian dari
kelompok ini mengamalkan ajaran Islam yang fundamentalistik: suatu watak keislaman
yang berbeda dengan Islam arus utama di bumi Indonesia.
Bukan maksud esei ini mempetakan paham-paham keislaman baru tersebut.
Tetapi melihat kerasnya persaingan sebagai akibat dari ikhtiar kelompok-kelompok
masyarakat Islam baru itu dalam menyebarkan paham keislaman yang dianutnya. Mereka
saling bersaing satu sama lain, baik di antara sesama kelompok Islam yang baru maupun
antara kelompok Islam baru dengan kelompok Islam lama. Apa yang terjadi di mana-
mana dalam beberapa tahun terakhir adalah tak terelakkan munculnya perbenturan di
mesjid-mesjid, musholla-musholla, bahkan di kantor-kantor, dan di dataran masyarakat
pada umumnya. Dari kedua belah pihak belakangan sudah sampai melibatkan mereka
yang sehari-harinya berprofesi sebagai pekerja berdasi dan kalangan profesional.
Menjadi merisaukan organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam seperti NU atau
Muhammadiyah, untuk menyebut dua di antaranya, karena beberapa kelompok Islam
baru, terutama yang berbasis kampus, kemudian menjelma menjadi partai dan ormas
sekaligus. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Partai Keadilan saat ikut pemilu 1999, dan
menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ikut pemilu 2004. Sebagai ormas, dia
menyebarkan paham Islam yang semangatnya adalah paham pemurnian Islam seperti
Wahabi dan partai menjadi sarana penyaluran aspirasinya. Dengan demikian, memperluas
basis konstituen partai sama dengan memperbanyak pengikut, dan begitu sebaliknya.
Mesjid, musholla, kampus, sekolahan menjadi basis penyebaran paham keislaman dan
Page 2
pengaruh politiknya sekaligus. Menjadi wajar kemudian kalau NU dan atau Muhammdiyah
menjadi khawatir dibuatnya. Menjadi makin mencemaskan mereka ketika diketahui
bahwa penetrasi penyebaran paham pemurnian pemahaman keislaman oleh PKS ini sudah
sampai di tingkat keluarga-keluarga warga dua organisasi keagamaan tersebut.
PKS merupakan hasil dari kajian terhadap kelemahan dan kelebihan perjuangan
Islam yang semata mengandalkan
pendekatan politik maupun
yang semata
mengandalkan dakwah. Karena itulah dia menjadi berbeda dan menepis dilaqabkan
dengan partai Islam Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia); PKS pun enggan
diletakkan dekat Muhammadiyah; dan meletakkan Nahdlatul Ulama di seberang paham
keislamannya. Kekhasan PKS adalah pelembagaan perjuangan politik Islam sebagai
jawaban kegagalan politik Islam selama ini yang dikombinasikan dengan model
pergerakan politik Islam di Timur Tengah, mulai spektrum moderat yang percaya
perjuangan parlementer sampai yang radikal yang sama sekali tidak mempercayai
efektivitas perjuangan Islam melalui cara-cara parlementer. PKS adalah partai sekaligus
ormas paham keagamaan baru yang mengintrodusir siasat-siasat, metode-metode, dan
kiat-kiat baru dalam memperbanyak pengikut, cara berpolitik, mengembangkan paham
keagamaan dengan memanfaatkan keleluasaan kebebasan ruang publik dan politik.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan mapan seperti NU dan Muhammadiyah
dalam beberapa tahun terakhir makin resah karena merasa warga dan simpatisannya
“digerogoti” ekspansi PKS. Para vote getter dan da’i-da’i partai tersebut dalam beberapa
tahun belakangan ini ditengarai makin gencar melakukan ekspansi ke kantong-kantong
jamaah NU. PKS mencoba menarik nahdliyin untuk dijadikan warga dan simpatisannya.
Pengurus cabang-cabang NU di Jawa Timur, misalnya, menjadi gelisah terutama karena
terjadi lagi benturan paham Islam versi PKS dan paham Ahlussunnah Waljamaah, paham
Islam ala NU. Para fungsionaris NU tidak ingin jamaahnya menyeberang ke sejenis
paham ‘Islam Wahabi’, yang mejadi arus utama paham keislaman PKS, yang oleh orang
NU amat dikenal sebagai paham pembaharu yang menyerang keyakinan dan tata cara
beragama kalangan nahdliyin sejak zaman dahulu kala.
Menjadi wajar kalau kemudian kalangan pengurus NU di tingkat cabang, terutama
di Jawa Timur, dalam beberapa tahun terakhir merasa resah dengan penetrasi PKS–dalam
arti menarik-neraik warga nahdhiyin untuk masuk menjadi jamaahnya. Untuk makin
memperbanyak pendukung tak ada jalan lain kecuali PKS harus merebut warga
masyarakat yang sebagian di antaranya adalah warga NU. Terutama di Jawa Timur,
besarnya warga NU adalah hal yang amat menggiurkan secara politik.
Merupakan fakta tak terbantahkan bahwa NU memiliki jamaah yang besar,
terbesar untuk ukuran organisasi kemasyarakatan. Di saat hajatan politik seperti
pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah di sebagian besar daerah Jawa dan
beberapa daerah lain di luar Jawa, NU menjadi faktor politik. Besarnya jumlah massa NU
yang sering menjelma menjadi faktor politik itu dengan sendirinya akan menjadi wilayah
garapan partai seperti PKS yang sedang getol-getolnya memperbesar pengikut supaya
dapat dicapai target menjadi partai besar pada lima atau sepuluh tahun mendatang.
Sebagai sesama pembaharu, seharusnya Muhammadiyah tidak terlalu risau
dengan soal paham keislaman yang dianut PKS yang boleh dikatakan berada dalam satu
rumpun, yaitu gerakan paham purifikasi Islam. Beberapa pentolan PKS sendiri seperti
Hidayat Nurwahid berasal dari akar keislaman Muhammadiyah. Tetapi secara diam-diam
di kalangan Muhammadiyah pun tidak merelakan warganya masuk menjadi warga PKS
Page 3
sekalipun segi pemahaman keislamannya tidak berubah. Masih sepaham tetapi sudah
berbeda rumah tinggal. Bagi warga nahdliyin, persoalannya lebih jauh. Perpindahan warga
nahdliyin dari naungan NU, yang paham keislamannya jelas berbeda, ke tenda hitam
kuning PKS akan lebih disesali lagi oleh sesama nahdliyin, mungkin juga satu dua
pengurus NU, karena perpindahan tersebut bukan hanya “pindah rumah,” tetapi “beralih
keyakinan.”
Pada kasus yang terakhir ini, terjadi konversi, perpindahan keyakinan teologis –
meski masih dalam lingkup Islam. Persoalan yang terkait dengan keyakinan tentang tata
cara ber-Islam dan implikasinya lebih jauh secara eskatologis dalam kehidupan akhirat.
Persaingan antara NU sebagai pihak yang bertahan dan PKS yang mengusung paham
Islam sejenis Wahabi akan melahirkan berbenturan klasik di masyarakat sebagaimana
terjadi pada masa Perang Paderi atau masa-masa dikibarkannya gerakan tajdid akhir abad
ke-19 dan awal-awal abad ke-20. Manifestasinya memang tak akan terlalu keras
sebagaimana terjadi saat Perang Paderi. Diceritakan, bahwa semua orang yang tidak
segera tunduk kepada Islam Madzhab Hambali dinyatakan bebas dibunuh di tempat!
Hartanya pun boleh dirampas! (Lihat Tuanku Rao, hal. 132). Tak akan terjadi hal semacam
itu. Paling-paling cerca-mecerca dan kafir-mengkafirkan. Atau mengejawantah dalam
perbenturan yang lebih halus sebagaimana terjadi di daerah perkotaan dalam bentuk
perebutan takmir mesjid atau musholla supaya praktik ‘ubudiyah-nya sesuai dengan yang
diyakininya. Ini merupakan babak mutakhir dari model persaingan antara golongan Islam
seperti NU, Perti, Al-Khairat dan sejenisnya dengan kaum Wahabi seperti
Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan lain-lain. Tak pelak lagi persaingan yang
melahirkan perbenturan di tempat-tempat berkumpulnya umat Islam
ini
akan
berlangsung terus di tahun-tahun dan di masa-masa mendatang.
Di luar motif teologis, lalu apa kepentingan di balik kegigihan dalam ekspansi
memperbanyak pengikut ini? Sebagai partai, PKS memiliki motif politik untuk
memperbesar suara. Suara yang besar berarti posisi yang makin menguat. Dengan posisi
yang kuat akan memperbesar pengaruh dan peran. NU dan Muhammdiyah pun kurang
lebih memiliki kepentingan politis yang kurang lebih sama meskipun bukan partai. Dengan
sendirinya, kecemasan kedua ormas itu sama derajatnya dengan ambisi PKS untuk
ekspansi. Bedanya, yang satu bertahan, yang lain “merambah.” Sampai saat ini memang
belum ada penelitian cermat mengenai persoalan tersebut, tetapi dapat dipastikan bahwa
manakala PKS makin membesar dengan sendirinya akan menggeser “hak-hak istimewa”
yang salama ini dimiliki dan dimainkan oleh dua organisasi kemasyarakatan tersebut di
kancah politik, kehidupan sosial dan keagamaan.
Merupakan berkah yang begitu dinikmati oleh kedua organisasi besar tersebut
kalau setiap menjelang hajatan besar politik seperti pemilu atau belakangan ini pilkada
selalu didekati, dibujuk rayu, diiming-imingi sesuatu oleh partai-partai supaya
memperoleh suara pengikutnya yang besar. Selama ini, kita lihat jarang muncul keberatan
dari kedua ormas keagamaan tersebut terhadap bujuk rayu partai-partai itu. Sebaliknya
terkadang kedua ormas tersebut mengkondisikan diri agar partai-partai itu soan dan
membujuknya. Penggerogotan PKS terhadap pengikut kedua ormas Islam tersebut
memang tidak serta merta meminggirkan NU atau Muhammdiyah. Tetapi PKS sedang
melakukannya dengan gigih, ulet, dan berdisiplin.
Oleh sebab itu, masuk akal kalau di antara pengurus kedua organisasi besar
tersebut menjadi cemas karena ada gelagat kuat yang menunjukkan makin terserapnya
Page 4
sebagian warga kedua organisasi kemasyarakatan tersebut menjadi simpatisan PKS. PKS
menjadi sangat diperhitungkan karena efektivitas rekruitmen pengikutnya dengan
semacam sistem multilevel marketing dan kaderisasi serta penegakan disiplin organisasi
yang sulit ditiru oleh partai atau semua organisasi masyarakat sipil lain di Indonesia. Esei
ini menunjuk PKS sebagai contoh dimaksudkan agar memudahkan perbincangan, lebih-
lebih karena kelompok Islam baru ini mengambil posisi terdepan dan bergerak secara
terbuka, baik sebagai ormas maupun partai. Namun kita juga mencatat kelompok Islam
baru lain seperti Hizbut Tahrir, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) –yang disebut-
sebut sebagai jelmaan Islam Jamaah, dan kelompok-kelompok Islam sejenis lainnya juga
tak kalah gigih dalam melebarkan sayapnya dengan segala agenda sosial, ekonomi dan
politik yang belum kita ketahui sepenuhnya.
Sudah barang tentu tak ada satu pihak pun yang berhak melarang PKS dan
kelompok-kelompok Islam baru lain dalam menyebarkan pahamnya dan berdakwah
mengajak pengikut suatu ormas Islam tertentu untuk menjadi warganya. Sebaliknya,
kelompok besar yang mewakili arus utama Islam Indonesia jangan sekali-kali bermain
kayu, misalnya dengan cara menggunakan perangkat kekuasaan negara untuk menggebuk
kelompok yang menjadi pesaingnya. Munculnya kelompok-kelompok Islam baru yang
lebih terorganisasi, berdakwah dengan metode yang lebih sistematis, dengan keuletan
dan disiplin yang keras, perlu diletakkan sebagai tantangan oleh organisasi Islam lama
seperti NU dan Muhammdiyah untuk melayani kebutuhan warganya masing-masing
secara lebih baik. Organisasi Islam lama seperti NU dan Muhammadiyah atau organisasi
Islam lama lainnya sudah sangat terlena dengan kemapannya dan sudah lama tidak begitu
peduli dengan kebutuhan dan kepentingan warganya. Tergodanya warga organisasi Islam
lama untuk kemudian masuk menjadi jamaah organisasi atau kelompok-kelompok Islam
baru itu merupakan bukti kegagalan organisasi Islam lama, terutama yang besar-besar,
dalam melayani warganya. Kegagalan itulah yang oleh organisasi Islam baru seperti PKS
dijadikan lahan subur untuk menyebarkan pahamnya.
Bila konsisten dengan pendekatan dan metode rekrutmen yang sistematis seperti
dilakukannya selama ini, maka kelompok Islam baru seperti PKS dalam jangka panjang
boleh jadi menjadi organisasi Islam yang besar. Tentu saja akan ada konsekuensi-
konsekuensi tertentu terhadap perkembangan Islam Indonesia baik di tingkat masyarakat
maupun dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara. Bukan hal tak mungkin sampai
pada tuntutan pendefinisian ulang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
perwujudan kebhinekaan masyarakat nusantara. Jika kemungkinan semacam ini tidak
dikehendaki, maka ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah dituntut serius
mengopeni umatnya, warganya. Menjaga umat akan dengan sendirinya menjaga finalitas
konsepsi negara Indonesia sebagai negara nasional untuk mewadahi manusia Indonesia
apa pun latar belakang suku, agama, dan lain-lainnya. []
Kamis, 25 September 2008
pks
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar