Kamis, 25 September 2008

celana cingkrang

Celana Congkrang. Perlukah ?
Posted on May 10, 2008 by putra purnama

Rasanya pada awal tahun sembilanpuluhan celana model itu belum ngetren. Ia mengherankan karena ada yang mengesaninya sebagai identitas kelompok muslim tertentu yang muncul belakangan. Apakah ia sekedar mode yang suatu saat akan ditinggalkan seperti model celana komprang yang ngetren pada awal tahun tujuh-puluhan, lama kelamaan habis tanpa dimusuhi? Tetapi mengapa celana model itu mesti diurus?

Tampilan celana model ini sepertinya menunjukkan bahwa yang tidak memakai celana congkrang tidak termasuk kelompoknya, Islamnya tidak sempurna. Harus ditunjukkan secara demonstratif bahwa celana yang Islami adalah celana model congkrang. Hanya model celana ini sesuai dengan Sunnah Rasulullah. Kesempurnaan Islam seseorang diukur dengan ketinggian celana di atas matakaki. Tetapi apa benar bahwa mereka mengukur kesempurnaan Islam hanya dari sisi ketinggian celana ? Rasanya tidak. Tetapi bila dalam pikiran terbersit bahwa pemakai celana “tinggi” adalah kelompoknya, agaknya iya.

Sungguh, tema seperti ini tidak penting amat, tidak berakibat pada kekurang-imanan seseorang dan tidak pula mengancam ke-Islaman seseorang. Masih banyak tema lain yang lebih penting untuk dikaji, seperti, bagaimana mengatasi kemiskinan, bagaimana umat Islam mengejar ketinggalan dari umat lain, bagaimana umat Islam bisa merasakan persaudaraan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, bagaimana tercipta suasana tidak saling mencurigai, dan sebagainya. Tetapi, karena pertanyaan tentang celana model congkrang ini sering muncul dan ada yang merasa risih karenanya, maka kita perlu mempelajarinya dari Sunnah Rasul. Dengan catatan, tema ini tidak boleh membikin umat Islam menjadi saling membenci.

Hadits-hadits tentang Pakaian di atas Matakaki Terdapat hadits-hadits yang dijadikan landasan untuk membikin celana congkrang Dalam Musnad Ahmad:

1. “…Sulaiman bin Qurm (orang yang buruk hafalan) bercerita ke-pada kami dari al-Asy’ats dari bibinya, Ruhm (orang tak dikenal) dari pamannya, Ubaidah bin Khalf, katanya, saya tiba di Madinah, ketika itu saya masih remaja, berpakaian selimut… saya melihat Rasulullah mengenakan kain di atas kedua matakakinya di bawah betis”.

2. “Abu Hurairah berkata, Abu al-Qasim bersabda, kain orang mukmin itu dari dua betis menjulur ke bawah hingga di atas dua mata kaki. Yang lebih rendah dari itu maka di neraka”.

3. “Sa’id Al-Jurairi (orang yang “kacau hafalan” sebelum wafat) bercerita …dari Abu al-Sali dari Abu Tamimah al-Hujaimi dari seorang pria kelompoknya (namanya tidak dikenal) berkata, saya bertemu Rasul di salah satu jalan Madinah … saya bertanya tentang kain… beliau menjawab “Di sini kamu menggunakan kain. Bila kamu mengabaikan maka di sini lebih direndahkan dari itu. Jika kamu enggan maka di sini, di atas kedua mata kaki. Jika kamu mengabaikan, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang sombong lagi angkuh….”
Dalam Shahih al-Bukhari.

4. “Telah bercerita kepada kami Said bin Abu Said al-Maqburi (orang yang berubah kekuatan hapalan empat tahunan sebelum wafatnya) dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau berkata, “ (kain) di bawah kedua mata kaki itu masuk neraka”.
Dalam Sunan al-Nasai.”

5. “…Abu Ya’qub bercerita, mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Kain di bawah mata kaki itu di neraka”.
Dalam Sunan Abu Daud.

6. “Dari Ghifar (berpredikat “tidak mengapa” sehingga haditsnya tidak shahih) … dari Abu Juray Jabir bin Sulaim, katanya, … Rasulullah bersabda… “dan naikkanlah kainmu hingga pertengahan betis. Bila engkau enggan maka boleh (turun) sampai dua mata kaki. Dan jangan menurunkan kain karena sesungguhnya itu termasuk keangkuhan. Dan sesungguhnya Allah tidak suka keangkuhan…. “

Otentisitas Sanad Hadits Masih banyak periwayat yang melaporkan isi hadits ini. Kendati demikian, Hadits ini tidak mutawatir tetapi ahad karena di tingkat sahabat hanya 2 atau 3 orang yang meriwayatkannya. Berdasarkan catatan yang ada dalam kurung untuk beberapa orang mata rantai pembawa hadits, hadits ini berada pada derajat antara Hasan dan sedikit shahih. Hadits nomor 1 dengan Jalur Imam Ahmad terlihat ada yang “buruk hafalan” dan ada yang “tidak dikenal namanya”. Hadis nomor 3 ada periwayat yang “kacau hafalan” sebelum wafat dan ada yang tidak dikenal. Terminologi “sedikit shahih” tidak dikenal dalam Musthalah Hadits, tetapi dapat dimengerti bagi yang sering menggelutinya. Jadi, istilah shahih itu tidak hitam-putih, tetapi ada warna diantara. Kalau ada yang bertanya apakah ajaran yang terkandung dalam hadits ini sangat serius, kelihatannya tidak, karena dengan ketidak-mutawatirannya menunjukkan bahwa banyak shahabat yang tidak “mengetahuinya”.

Hadits-hadits ini sebenarnya memuat ajaran agama tentang berbagai tata krama, meliputi cara saling menghormati, mengucap salam, mendoakan orang lain, dan melarang sikap sombong, termasuk sombong dalam berpakaian. Hadits ini mengajarkan, menjulurkan pakaian ke bawah sampai dengan setengah betis atau di atas mata kaki. Kemudian ada keterangan tambahan bahwa sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang sombong lagi angkuh. Menjulurkan pakaian sampai di atas matakaki seperti dituntunkan dalam hadits ini merupakan ekspresi dari ketidaksombongan, bukan merupakan ajaran yang tidak bisa dimengerti. Sebagaimana diketahui bahwa Islam tidak menyukai kesombongan, maka wajar bila kesombongan dalam berpakaian menuai kritik pedas dari hadits Nabi. Sebaliknya, membiarkan kain leluasa menyentuh bahkan menyapu tanah merupakan bentuk kesombongan.

Bukan hanya itu, tetapi juga rawan kotor dan kena najis. Alangkah angkuhnya (terutama) anak-anak muda yang ujung celananya dipijak kaki ketika mereka berjalan dengan membiarkaan celana atau kainnya terkena kotoran dan najis. Mereka melaksanakan shalat dengan celana yang rawan kotor tadi. Maka, celana congkrang dapat menghindarkan diri dari kesombongan dan rawan kotor serta kena najis. Mungkin kita akan bertanya, apakah Hadits itu dapat dipahami bahwa bercelana itu wajib menampakkan mata kaki ? dan, bagaimana kalau celana itu panjangnya sedikit di bawah mata kaki tetapi tidak menunjukkan kesombongan dan terjaga dari kotor ? Kalau kita kembali kepada alasan membatasi kain di atas mata kaki itu karena menentang bentuk kesombongan dalam berpakaian, maka sebenarnya menampakkan mata kaki itu tidak wajib. Meskipun menampakkan mata kaki, tetapi bila dalam hati terbersit kesombongan, maka yang bersangkutan termasuk orang yang dibenci oleh Allah. Banyak kaum pemakai celana congkrang yang menutup mata kaki dengan kaos kaki lalu bersepatu, dengan celana tetap congkrang.

Di sini kita tahu, mereka sadar betul bahwa menampakkan mata kaki tidak wajib. Agaknya model celana congkrang memang sebatas keberhati-hatian, bukan untuk membentuk kesombongan baru, bukan pula membentuk kubu atau kelompok yang dalam hati ditanamkan kebencian dengan pihak lain. Menjadi sombonglah mereka yang membenci dan meremehkan orang muslim yang model celananya tidak sama, baik dari pihak celana congkrang maupun celana “biasa”. Bagaimanapun, pakaian yang terlalu panjang yang menyapu tanah seperti uraian di atas tidak bisa ditolerir. Karena mereka semata-mata mengikuti mode dan mengabaikan pakaian kotor atau terkena najis.

Dari hadits dengan uraian di atas kita mengetahui bahwa ajaran pakaian yang menjulur ke bawah hingga “menyapu lantai” itu bentuk kesombongan. Agar kesombongan berpakaian dihentikan, hadits menyuruh agar pakaian itu serendah-rendahnya di atas betis. Ini tidak berarti bahwa dalam berpakaian kita harus menampakkan matakaki. Banyak orang bercelana congkrang menutup matakaki dengan kaos kaki, lalu memakai sepatu. Celana congkrang dapat menghindarkan pakaian dari terkena najis. Celana yang menutup matakaki, sapanjang tidak mengarah pada kesombongan dan dapat menjaga kebersihan dari najis agaknya dapat diterima, karena persoalannya bukan pada keharusan menampakkan atau menutup matakaki. Tidak perlu saling membenci sesama muslim hanya gara-gara celana congkrang. Tidak perlu pula terjadi polarisasi kelompok disebabkan oleh celana congkrang. Saling membenci atau saling mencurigai karena persoalan kecil ini akan mudah dimanfaatkan pihak lain menciptakan permusuhan dalan tubuh umat Islam.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: