Kamis, 25 September 2008

duniawi

Keasyikan Duniawi Itu…

Agustus 12, 2008 at 4:09 pm (Uncategorized)

N/B:
1. Permintaan maaf bila ada kata-kata yang “kelepasan”.
2. Tulisan ini murni pemikiran pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan pihak atau kelompok lain.
3. Yang Berpikiran sempit dilarang Baca!!!
Aku telah berterus terang di sini, kemarin, perihal dua hari yang melenakan menjadi pengikut arus. Menikmati apa yang menyenangkanku dan melupakan “keruwetan” ideologis dan perang pemikiran yang tak berkesudahan itu. Seakan, pada titik ini, ada semacam pembenaran dari Apatisme pemikiran dari dunia ide yang teraktualisasikan dalam—meminjam istilah Anis Matta—dunia fakta-fakta. Kaidah Apatisme itu, konon, berbunyi: Masalahku adalah masalahku, masalahmu adalah masalahmu, masalah publik adalah masalah publik. Ditambah dengan logika pragmatisme, kaidah itu menjadi “sempurna” dengan tambahan: Kerjakan saja apa yang bermaslahat bagi dirimu! Jadi, selama sesuatu itu bermaslahat, ia “benar” untuk dikerjakan dan dinikmati. Konon, demikian logika kaum pragmatis.
Seperti yang anda-anda di sini ketahui, aku itu orang yang—katakanlah—agak keras kepala dalam mengkritik. Kalau kemarin ada yang menyebut, “Kok skeptis sekali sama PKS?”. Aku katakan, aku tidak hanya “skeptis” pada satu kelompok. Ketua HTI Pondok Aren telah pernah juga menerima “sms cintaku” tentang kinerja Hizb di mahaliyah STAN sekitar. Isinya agak pedas menurut temanku yang membaca sent items di HP ku. Sebelumnya, adalah saudara Syahrowi Munthe, Ketua Masjid Baitul Mal STAN, yang otomatis merupakan pemimpin Tarbiyah di STAN, telah pernah juga kukirimi “sms cinta”. Jangan tanya tokoh-tokoh di BEM sudah berapa kali kukatakan “cintaku”. Mulai dari Saudara Bagus (Presma 2007-2008), Bang Sudarman Damanik (Wapresma STAN 2007-2008), Duet Presma dan Wapresma 2008-2009, dan lain-lain. Ketika aku mengkritik, itu artinya aku sedang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Artinya juga, aku sedang “mencintainya”. Jadi, kepada beberapa teman yang merasa pernah mendapat “kata-kata cinta”, harap diluruskan persepsinya. Yach, begitulah caraku. Ada usulan lain? He..he..
Kini, izinkan aku menulis kata-kata cinta kepada Yang Terhormat Bapak Ketua MPR RI, Hidayat Nurwahid dan Ketua PP Muhammaditah, Dien Syamsuddin. Kedua tokoh nasional ini menarik perhatianku lewat tulisannya (tepatnya ulasan) di Rubrik Olahraga Sindo, edisi Kemarin.
Baiklah kuawali surat ini dengan mencoba mengingat-ingat kata-kata Almarhum Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin. Beliau kurang lebih mengatakan (atau tepatnya berandai-andai) bahwa jika seandainya bisa, aku akan membeli waktu orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya. Lalu akan aku gunakan waktu itu untuk hal-hal yang bermanfaat. Tidak ada waktu luang bagi seorang Muslim (maaf buat kader-kader IM tidak ada maksud untuk mempereteli kata-kata orisinal Almarhum, mungkin kata-katanya memang tidak tepat, soalnya sudah lama baru teringat sekarang, itu kuperoleh semasa Liqo’ dulu).
Kata-kata ini menjadi relevan dalam realitas yang kujalani dalam dua-tiga hari ini. Begitu banyak waktu yang “kumanfaatkan” untuk kesenangan duniawi. Jujur, begitu melenakan. Aku menikmati “duniaku”. Di sana ada: nonton-nonton, main-main, jalan-jalan, sms-sms-an, telpon-telponan, kangen-kangenan, dan macam-macamlah. Kini kebanyakan orang tengah “demam Euro”. Alhamdulillah aku tidak ikut “terserang demam”. Mungkin pada titik inilah aku merasa sedikit terkejut menyaksikan tulisan Pak Hidayat dan Pak Dien “nampang” di Sindo. Bukan menulis tentang bagaimana menekan pemerintah agar membubarkan Ahmadiyah atau penolakan terhadap kebijakan BBM, melainkan bagaimana prediksi dan ulasan mereka tentang pertandingan Euro yang akan berlangsung. “Salut”!? Setauku, Adyaksha Dault selaku Menpora saja “belum sempat” mengulas Euro dalam bentuk tulisan sebagus, sedetail, dan selengkap itu. Wah, agaknya PKS salah menempatkan orang nich. Seharusnya Pak Hidayat saja yang jadi Menpora! Ha..ha..
Pada titik ini, aku melihat persamaan tingkahku dalam dua hari ini dengan “tingkah” kedua tokoh di atas. Aku menyebutnya (sebagai pembenarankah?) “tingkah yang manusiawi”. He..he.. Bedanya, terletak pada “status” diriku dan diri kedua manusia tersebut. Meski sama-sama manusia, ada perbedaan “status” atau “predikat” di mata publik. Ketika aku sibuk nonton DVD, orang-orang di sekitarku tidak akan “menganggap” tindakanku tersebut. Beda halnya, ketika Hidayat Nurwahid, Ketua MPR merangkap Petinggi PKS dan Dien Syamsuddin, Pengurus MUI Pusat merangkap Petinggi Muhammadiyah yang nonton Euro, mengulas Euro, dan secara langsung atau tidak langsung mengundang pembaca untuk “secara berjama’ah nonton Euro”! Ini berbeda. Orang-orang yang berpikiran sempit akan menyebutku sebagai yang berpikiran sempit. Dengan rasionalisasi sederhana, mereka mungkin akan meng-hujjah-ku dengan kalimat: “Itu kan manusiawi, Antum saja yang berpikiran skeptis!”. Jadi, ketika ada yang bermaksud “membalasku”, jangan pakai hujjah ini. He..he..
Mari kita bicarakan Negeri ini. Kata-kata Hasan Al Banna di atas sangat relevan kita sodorkan kepada kedua tokoh di atas. Di saat para Ulama dan Tokoh Umat bergiat diri mendesak pemerintah, siang malam bermusyawarah tentang nasib ummat, mereka malah SEMPAT-SEMPATNYA nonton Euro. Dan “Salutnya”, membuat tulisan yang tidak kalah dari wartawan Bola profesional tentang ulasan Euro. Tak bisa kubayangkan apa yang akan dikatakan Almarhum Hasan Al Banna kepada Hidayat Nurwahid dan apa yang akan dikatakan KH.Ahmad Dahlan kepada Dien Syamsuddin seandainya hari ini mereka berdua masih hidup. Pujiankah? Nasehatkah?
Mungkin tidak, Al Banna akan berkata, “Wah, saudara Hidayat. Tulisan anda bagus sekali. Sering-seringlah menulis di Koran, apalagi sepanjang Euro ini. Dengan demikian masyarakat Indonesia akan terinspirasi untuk menonton Euro secara berjama’ah”. Mungkinkah? Atau, sekiranya KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berdiri di tengah-tengah kita hari ini. Adakah Beliau akan berkata, “Wah, Dien. . Tulisanmu keren sekali. Sering-seringlah menulis di Koran, apalagi sepanjang Euro ini. Dengan demikian masyarakat Indonesia akan terinspirasi untuk menonton Euro secara berjama’ah”. Mungkinkah?
Bapak Hidayat Nurwahid menulis dengan judul: Membangkitkan Energi “Marah”. Dalam tulisan ini Beliau Yang Terhormat mengulas tentang prediksi pertandingan Yunani versus Rusia. Menurutnya, kedua tim yang sama-sama telah kalah di partai perdana, harus membangkitkan energi “marah” untuk memenangkan partai tersebut. Lebih jauh, Bapak Hidayat Yang Terhormat menyinggung soal “salah guna” energi “marah” di negeri ini. Dia, dengan nada politis, menyayangkan dengan tanpa sungkan bahwa kegiatan demonstrasi yang akhir-akhir ini marak (kita tahu maksudnya kemana: Demonstrasi Tolak kenaikan BBM, Demonstrasi Pembubaran Ahmadiyah) sebagai salah satu “salah guna” energi “Marah”. What???! Apa begini rupa asli pejabat negara itu? Saranku kepada Bapak Hidayat Nurwahid Yang Terhormat, jika Saudara memang lebih mementingkan menonton dan mengulas Euro daripada turun ke jalan raya berdemonstrasi menolak kenaikan BBM dan mendesak Pembubaran Ahmadiyah, paling tidak Anda jangan “menyisipkan” misi politik Anda di lembar Olahraga yang justru akan melemahkan Rakyat Indonesia yang Menolak Kenaikan BBM dan Umat Islam Indonesia yang Menuntut Pembubaran Ahmadiyah!!! Begini sosok yang disebut-sebut hendak menjadi Presiden Indonesia? Apa kata Al Banna?????!!!!!
Selanjutnya, Bapak Dien Syamsuddin menulis dengan judul: Ragam Faktor untuk Sukses di Euro 2008. Dalam tulisan ini, Beliau Yang Terhormat mengulas tentang partai Spanyol versus Swedia. Dengan bahasa khas olahragawan, Beliau mengulas prediksi-prediksi taktik dan strategi yang mungkin akan diterapkan di Lapangan Hijau. Beliau juga menyinggung kebobrokan manajemen di tubuh sepakbola nasional kita dan merekomendasikan hal-hal yang sebaiknya ditempuh oleh PSSI guna memajukan sepakbola nasional.
Begitulah… Keasyikan duniawi dua tokoh Nasional yang merangkap tokoh Ummat di negeri ini. Seperti yang kujelaskan, ada titik temu antara kami bertiga: Aku, Hidayat, dan Dien. Sama-sama masih perlu mengasah diri dalam mendalami pesan Al Banna tentang Waktu. Agar kami bertiga kembali ke pemaknaan yang fundamental perihal skala prioritas dalam kehidupan. Agar kami bertiga tidak terbuai oleh keasyikan duniawi yang melenakan sehingga tidak secara sadar melupakan kepentingan ummat dan publik. Bedanya, aku adalah bocah kemarin Sore. Mereka berdua adalah orang tua paruh baya. Aku rakyat awam, mereka berdua tokoh nasional dan ummat. Namun dalam titik ini, setidaknya dua hari ini, kami sama-sama terjebak dalam keasyikan duniawi yang nyata-nyata menjauhkan kami dari tanggungjawab moral kepada dunia Sosial Luas.
Kalau seorang rakyat awam dari sebuah dusun ongkang-ongkang kaki menonton Euro dia akan dianggap sebagai PEMALAS. Ketika rakyat dusun tersebut menulis ke Surat Kabar, akankah dimuat? Ketika pejabat maupun tokoh nasional duduk manis dan khusyu’ menonton Euro, mereka akan disebut sebagai Pejabat Yang Merakyat. Ketika mereka menulis ke Surat Kabar, InsyaAllah segera dimuat. Seorang awam dari dusun itu PEMALAS! Seorang tokoh Ibukota itu Seorang Yang Merakyat! Dari analisis politik, “kerjaan” si orang awam dari Dusun itu tidak ada artinya, sia-sia. Sebaliknya, kiprah politikus dan Tokoh itu sangat berarti bagi Partai dalam menyongsong Pemilu 2009.

Wallohu a’lam…

Bumi Allah, 15 Juni 2008

Ikhwan MN

Tidak ada komentar: