Jumat, 26 September 2008

tarbiyah 33

Jumat, 2007 Agustus 24
Transmisi Gerakan Islam Politik di Indonesia
Dr. Zuly Qodir
Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah 2005-2010, pendidik di Universitas Islam Negeri Yogyakarta dan peneliti PSKP UGM

Tahun 1980-an merupakan bagian penting dari perkembangan Islam di Indonesia. Pada tahun 1980-an ini, di kampus-kampus yang tidak berbasis keislaman seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Univ. Brawijaya berkembang kelompok kelompok pengajian kampus, yang sering disebut sebagai Gerakan Dakwah Kampus, jamaah mushola, usrah-usrah, kelompok tarbiyah, dan halaqah.

Kelompok-kelompok gerakan Islam Kampus ini sekurang-kurangnya mempunyai cirri-ciri memanjangkan jenggot (yang dianggap sebagai bagian dari sunnah Nabi), memanjangkan jilbab yang sebelumnya pemakaian jilbab hanyalah identik dengan krudung (kerudung Mbak Tutut/Ibu Shinta Abdurrahman Wahid), belakangan berkembang menjadi jilbab Astri Ivo, Inneke Koesherawati, Desy Ratnasari, Ratih Sanggarwati, bahkan sebelumnya jilbab dan mukena Krisdayanti bagi kelompok jamaah pengajian kampus yang perempuan.

Sementara untuk kelompok laki-lakinya, selain memanjangkan jenggot, memakai pakaian congklang dan baju gamis (kita bilang baju koko), menghitamkan jidad, dan memanggilnya dengan sebutan “ana” untuk saya dan “antum” untuk anda atau kamu. Dua kosa kata ini hampir senantiasa dipakai oleh kelompok jamaah pengajian kampus sehingga membedakan dengan kelompok jamaah lainnya. Bahkan ada yang menyebutnya dengan panggilan “ikhwan” dan “akhwat”, identifikasi pada Ikhwanul Muslimin.

Perkembangan kelompok tarbiyah, halqah, usrah, dan gerakan dakwah kampus ini terus berkembang dan merebak hampir ke seluruh elemen masyarakat Islam di Indonesia. Gerakan tarbiyah (untuk menyebut seluruh kelompok dalam tulisan ini), sejak tahun 1998, pasca tumbangnya Soeharto mendirikan Partai Keadilan yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera, sebab tahun 1999 tidak memenuhi electoral threshold, sehingga merubah Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Jika kelompok tarbiyah (kemudian mendirikan Partai Keadilan) sekarang PKS, sebagai transmisi dari Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna, maka ada kelompok lain yang sejak awal memang menyebut partai politik yakni Hizbut Tahrir Indonesia, yang merupakan bagian dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin Nabhani di Jordania. Dua-duanya merupakan gerakan Islam politik yang memiliki basis massa pada kelompoknya masing-masing, hanya belakangan dalam menyebarkan gagasannya dibungkus dalam gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, seperti yang dilakukan Muhammadiyah dan NU.

Dua kelompok Islam inilah yang dalam dalam tulisan ini akan diperjelas dalam hal gerakan yang dilakukan dalam mengembangkan sayapnya di masyarakat Islam Indonesia dan muara dari seluruh gerakannya, sekalipun dalam berbagai bentuknya yang manipulatif, sehingga membuat sebagian umat Islam (Muhammadiyah dan NU) terutama anak-anak mudanya tergiur untuk mengikutinya dengan tawarantawaran yang disampaikan, yang seakan-akan lebih bagus dan memadai, serta memiliki peran lebih hebat dari Muhammadiyah dan NU dalam memberikan kontribusi buat Islam dan Indonesia.

Strategi Gerakan
Gerakan tarbiyah (PKS) menjadi memiliki pengaruh yang agak kuat di masyarakat sejak tahun 1990-an, apalagi sejak keterlibatan alumnialumninya dari Timur Tengah. Ada perubahan - perubahan metode, materi, dan nama atas identitas gerakan tarbiyah ini, terutama sebelum reformasi berlangsung. Namun perubahan terus dilakukan pada saat reformasi telah berlangsung 1998. Gerakan tarbiyah melakukan gerakan pada masyarakat dengan berbasiskan masjid-masjid, semula dari masjid kampus sebagaimana awal pendiriannya. Masjid Salman ITB adalah cikal-bakal gerakan tarbiyah berlangsung di Indonesia.

Gerakan ideologisasi dilakukan dengan dua stragei besar. Pertama, persebaran gagasan Islam yang mereka kemas untuk masyarakat umum secara luas. Gerakan yang mereka lakukan dengan cara penyelenggaraan program peribadatan, seperti training ke-Islaman di sekolah-sekolah berupa training Islam untuk pemula (Islamic training for beginner), kajian fikih perempuan (fikh nissa), bimbingan belajar, kursus-kursus bagi pelajar dan mahasiswa, pelayanan buku-buku yang seideologi, memberikan ceramah-ceramah (gratis), termasuk menyediakan khatib yang siap pakai, pembinaan anak-anak (TK-SD), belakangan dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TK-IT) yang jumlahnya ratusan sehingga bersaing dengan TK ABA (milik Aisyiyah) dan TK Raudhatul Athfal (milik Muslimat NU), memberikan kursus-kursus pada ibu-ibu rumah tangga, kursus kursus untuk remaja Muslim, pengiriman buku-buku, stiker, selebaran pada masyarakat (ke rumah-rumah), penterjemahan buku-buku berbahasa arab yang se ideologi (Ikhmanul Muslim), program penerbitan buku-buku Islam, dokumentasi kegiatan, dan konsultasi-konsultasi.

Kegiatan-kegiatan di atas dikemas sedemikian rupa sehingga yang baru pertama mendengar dan melihat pasti akan tertarik, bahkan menyangka sama dengan gerakan dakwah Islam yang dilakukan Muhammadiyah dan NU. Tetapi jika diikuti dan diamati lebih jauh sebenarnya bukan saja menyamai program dakwah Muhammadiyah dan NU, tetapi malah mengambil alih program dakwah Muhammadiyah dan NU, dengan memanfatkan jamaah Muhammadiyah dan NU yang telah dibina oleh dua persyarikatan terbesar di Indonesia tersebut.

Hal itu yang hemat saya perlu dicermati dan diwaspadai, sebab sebagai gerakan politik, etika biasanya adalah omong kosong, yang penting dapat mengelabui masyarakat yang sedang diarahkan (digiring agar mengikuti) ideologinya. Nanti jika sudah menjadi jamaahnya, maka bukan suatu hal yang mustahil akan berbalik untuk menjelekkan kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam membangun masyarakat yang bermartabat, memiliki nilai-nilai moralitas (etika) yang bagus, dengan menafikan apa yang dikerjakan Muhammadiyah dan NU dengan menegasikan bahkan konfrontasi dengan tuduhantuduhan apa yang dilakukan Muhammadiyah dan NU sekarang sudah tidak mencukupi dan tidak relevan untuk Islam Indonesia.

Kedua, strategi kaderisasi, yakni dengan melakukan training training yang intensif untuk anak-anak, remaja, dan mahasiswa. Studi Islam Intensif, Latihan Mujahid Dakwah dan Training untuk Pembina, dilakukan secara berjenjang dan benar-benar intensif, seperti pemberian materi tentang shalat, puasa, zakat dan haji, di samping Iqra. Oleh sebab itulah, tidak heran bila kelompok tarbiyah (PKS) menyediakan pendidik-pendidik Iqra untuk anakanak, guru-guru TK, SD dan SMP sampai juru masak untuk ibu-ibu dan remaja Muslim di lingkungan Muhammadiyah danNU.

Dalam perkembangannya, sejak tahun 1990-an, sistem gerakan tarbiyah mengalami perkembangan yang lebih mengerikan, seperti mengadakan pertemuan-pertemuan (liqa), dauroh, rihlah (wisata), mabit (kegiatan malam), mukhoyyam (berkemah), seminar, dan bedah buku. Kegiatan malam belakangan bahkan mengarah pada konsultasi penyakit dan pengobatan dengan praktek mendekati perdukunan dengan mantra-mantra (rukyah) pengusir demit. Selain strategi ini, gerakan tarbiyah juga menggunakan media massa untuk mensosialisasikan gagasangagasannya. Jika tidak bisa menerbitkan majalah sendiri maka mengusai media yang sudah ada dengan mainstream gagasan yang didesakkan pada edisi-edisi tertentu, sehingga masyarakat pembaca melihat apa yang menjadi gagasannya, sekaligus dengan mendompleng (masuk) dalam majalah jamaah lain seperti majalah milik Muhammadiyah (seperti Majalah Tabligh PP Muhammadiyah maupun milik NU) bseakan-akan Muhammadiyah dan NU membenarkan dan mendukung cara-cara yang mereka lakukan. Tidak perlu mengeluarkan biaya produksi, honorarium dan sebagainya, gagasannya dilihat oleh orang Muhammadiyah dan NU dan mendapatkan pembenar.

Stragegi di atas sebenarnya sudah meresahkan Muhammadiyah dan NU, tetapi bukan hanya itu, kita tahu sebagai gerakan politik, maka secara perlahan-lahan dalam rangka memperluas jaringan politik dan gerakannya, maka amal usahaamal usaha Muhammadiyah dan NU seperti sekolah-sekolah, masjidmasjid yang didirikan oleh Muhammadiyah dan NU dikelola oleh mereka dengan menyediakan khotibnya, gurunya untuk TK-SMP, bahkan ikut menjadi pengurus Muhammadiyah dan NU dengan identitas Muhammadiyah dan NU dengan dalih dalam rangka mengembangkan dakwah Islam amar m’ruf nahi munkar. Dan yang paling popular adalah pengamalan syariah Islam.

Dengan doktrin sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’rf nahi munkar dan pengalaman syariah Islam maka, orang Muhammadiyah dan NU terkecoh habis-habisan sebab tidak mungkin melarang orang Islam yang berdakwah Islam. Tetapi, hemat saya mulai saat ini, orang Muhammadiyah dan NU harus beanar-benar menyadari, sebab gerakan tarbiyah adalah gerakan politik praktis yang berkedok dakwah yang sungguhsungguh sangat berbahaya, karena bukan tidak mungkin akan melakukan pengambilalihan atas amal usaha yang sekarang kita miliki. Sebelum terlambat, hemat saya, warga Muhammadiyah dan NU harus bergerak secara bersamasama merapatkan barisan menentang cara-cara yang dilakukan kelompok tarbiyah dengan mengajukan pertanyaan kritis, untuk apa gerakan politik harus berkedok dakwah Islam, sebab sangat jelas mengaburkan dan memanfaatkan Islam untuk kepentingan kelompoknya bukan kepentingan semua masyarakat Islam.

Tidak berbeda jauh dengan gerakan tarbiyah (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia juga melakukan gerakannya dengan metode yang bervariatif, dengan materi yang beragam tetapi muaranya adalah politik Islam, yakni dengan mendeklarasikan khilafah Islamiyah di Indonesia. Beberapa gerakan yang dilakukan antara lain menggunakan tiga tahapan (marhalah). Pertama, marhalah tasqif (tahap pembinaan). Pada tahap ini yang dibentuk adalah kader-kader partai. Kedua, marhalah tafa’ul ma’a al ummah (tahap interaksi dengan masyarakat. Pada tahap ini kader partai diturunkan di tengah masyarakat. Mereka mengemukakan gagasannya dengan menjawab masalahmasalah yang muncul dengan simbol-simbol Islam, misalnya ekonomi Islam, politik Islam, partai Islam dan seterusnya sehingga Islam oleh masyarakat dianggap sebagai obat segala obat persoalan masyarakat yang demikian kompleks dan kontekstual. Islam dikemas agar “cespleng” dengan problem riil penduduk Indonesia, sekalipun tidak terjadi sampai saat ini. Ketiga, marhalah istilam alhukm (pengambilalihan kekuasaan). Setelah masyarakat diindoktrinasi dengan gagasangagasan yang diambil dari Taqiyuddin Nabhani diharapkan masyarakat menuntut pemberlakuan syariah Islam dan didirikannya Negara Islam.

Dalam menuju tiga tahapan aktivitasnya, ada beberapa kegiatan yang dikerjakan antara lain melalui jaringan dakwah kampus, menguasai masjid-masjid kampus, menyelenggarakan pengajian pengajian untuk umum, baik masyarakat, mahasiswa maupun pelajar sehingga yang tertarik akan dijadikan kader partai setelah dibina, mereka melakukan daurohdaurah dan halaqah yang diikuti oleh 10-15 orang. Dalam rekrutmen dan pengkaderan HTI memaki sistem stelsel, selain bila sudah menjadi kader dan datang dalam forumforum akan berupaya menguasai forum dengan menempatkan orangorangnya di semua sudut ruangan untuk berkomentar, bertanya, interupsi dan mendebat dengan bertubi-tubi.

Pengalaman diskusi di arena Muktamar Malang adalah bukti konkretnya. Selain pengalaman penulis di forum-forum seminar yang dihadiri aktivis HTI. Hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari Muhammadiyah dan NU adalah bahwa HTI sekarang telah masuk pada Muhammadiyah dan NU. Mereka menjadi pengurus di organisasi Muhammadiyah dan NU, bahkan belakangan menjadi idola di Muhammadiyah dan NU sehingga senantiasa diundang oleh anakanak dan orang-orang Muhammadiyah dan NU yang sejatinya tidak mengetahui siapa sebenarnya latar belakang narasumber tersebut.

Muaranya Politik Kekuasaan
Dari seluruh rangkaian kegiatan yang dibungkus dalam lebel dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, adalah bermuara pada politik sebagai tujuan akhirnya. Oleh sebab itu, sebenarnya yang mestinya dipahami sejak sekarang sebelum terlambat adalah gerakan politiknya harus kita sampaikan pada masyarakat sehingga masyarakat sadar bahwa yang dilakukan gerakan tarbiyah dan HTI adalah gerakan kekuasaan, bukan gerakan keislaman.

Beberapa tokoh gerakan tarbiyah (PKS) seperti Hidayat Nurwahid (Ketua MPR) dan tokohtokoh HTI, antara lain Adian Husaini, Ismail Yusanto, dan Al Khatat adalah masuk dalam jajaran pengurus Muhammadiyah. Di Yogjakarta. Mereka masuk di universitas - universitas u Muhammadiyah menjadi dosen di beberapa fakultas dan mengajar beberapa mata kuliah, termasuk keislaman.

Untuk melancarkan gerakan politiknya, gerakan tarbiyah membuat penerbitan seperti Majalah Sabili, Hiyatatullah, sampai malajah porno semacam POP, tetapi tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum; membentuk jamaah pengajian Sidiq, membentuk kelompok Nasyid, membentuk lembaga bimbingan belajar Nurul Fikri, penerbitan Gema Insyani Press, Pustaka Al-Kautsar, RobbaniPress, Al-Ishlahy Press, I’tishom, Era Intermedia, As-Syamil, dan sebagainya.

Penerbitan-penerbitan HTI juga demikian banyak, tetapi lebih menyukai mendompleng dengan penerbitan yang sudah ada di organisasi Islam lain yakni dalam Muhammadiyah dan NU. Itulah, yang sekarang sedang kita hadapi, Muhammadiyah dan NU sedang menghadapi sebuah pertarungan besar yang mengatasnamakan sesama Islam dan dakwah Islam sehingga seringkali mengacaukan masyarakat tatkala akan bertindak tegas pada mereka. Padahal gerakan tarbiyah dan HTI sejatinya adalah gerakan politik kekuasaan.

Tidak ada komentar: