Jumat, 26 September 2008

Tarbiyah ikhlas

Al-Ikhlas
Posted by: Editor on Saturday, September 09, 2006 - 12:00 AM
Tarbiyah Islamiyah Imam Asy-Syahid mengatakan:

“Yang saya maksud dengan ikhlas adalah bahwa seorang al akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya kepada Allah swt mengharap keridhaan-Nya, tanpa memperhatikan keuntungan materi, prestise, pangkat, gelar, kemajuan atau kemunduran. Dengan itulah ia menjadi tentara akidah, bukan tentara kepentingan dan hanya mencari kemanfaatan dunia.”

“Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
berserah din (kepada Allah).” (QS. Al An'am, 6: 162-163).



Dengan begitu seorang al akh telah memahami makna slogan
abadinya: "Allah tujuan kami." Sungguh Allah Mahabesar dan bagi-Nya
segala puji.




Pengertian Ikhlas



Ikhlas adalah menginginkan keridhaan Allah dengan melakukan
amal dan membersihkan amal dari berbagai debu duniawi. Dengan demikian, amalnya
tidak tercampuri oleh keinginan-keinginan jiwa yang bersifat sementara, seperti
menginginkan keuntungan materi, kedudukan, harta, ketenaran, tempat di hati
manusia, pujian dari mereka, menghindari cercaan mereka, mengikuti bisikan nafsu,
atau ambisi-ambisi lainnya yang dapat dipadukan dalam satu kalimat, yaitu
melakukan amal untuk selain Allah, apa pun bentuknya.


Ikhlas dengan pengertian seperti itu merupakan salah satu
buah dari kesempurnaan tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh
karena itu, riya' yang merupakan lawan dari ikhlas dianggap sebagai kesyirikan.


Syadad bin Aus berkata,

"Kami di masa Rasulullah saw menganggap riya' sebagai syirik
kecil." (Mujma'uz Zawaid, kitabuz Zuhdi, bab: Ma Ja-ahur Riya'. 10/225).




Syarat diterimanya suatu amal



Setiap amal shaleh memiliki dua rukun yang menjadi syarat
diterimanya amal tersebut oleh Allah swt, yaitu:



Pertama, keikhlasan dan lurusnya niat.


Kedua, sejalan sunah dan syariat.


Rukun pertama disebut juga keshahihan batin sedangkan
rukun kedua merupakan keshahihan lahir.



Tentang rukun yang pertama, Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya amal-amal itu (dinilai) dengan niatnya." (Fathul Bari:
1/15. Nomor: 1). Hadits ini merupakan tolok ukur suasana batin manusia.


Sedangkan tentang rukun kedua, Rasulullah saw bersabda:


"Barang siapa yang melakukan sesuatu amalan bukan atas
perintahku, maka ia tertolak." (HR. Muslim: 3/1343. Nomor: 1718).



Allah swt menggabungkan dua rukun tersebut dalam beberapa
ayat-Nya di dalam Al Quran. Antara lain Allah swt berfirman:


"Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang kokoh." (QS. Luqman, 31: 22).



Yang dimaksud menyerahkan diri kepada Allah adalah
mengikhlaskan niat dan amal hanya kepada Allah, mencapai ihsan dalam
melakukannya dan mengikuti Sunah Rasulullah saw dalam pelaksanaannya.


Fudhail bin 'Iyadh berkata tentang firman Allah swt:
"Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,"
(QS. Al Mulk, 67: :2). Yang dimaksud lafal "Ahsanu 'Amalan"
adalah yang paling ikhlas dan paling tepat. Ditanyakan kepadanya, "Apa yang
dimaksud paling ikhlas dan paling tepat itu wahai Abu 'Ali (nama panggilan
Fudhail)?" Ia menjawab, "Sesungguhnya, suatu amal itu bila dilakukan dengan
ikhlas tetapi tidak tepat, maka tidak diterima (oleh Allah), dan bila dilakukan
secara tepat tetapi tidak ikhlas, maka tidak diterima (oleh Allah). Amal tidak
diterima sehingga dilakukan dengan ikhlas dan tepat. Yang dimaksud ikhlas adalah
menjadikan amal untuk Allah, sedangkan tepat adalah sesuai dengan Sunah
(Rasulullah saw)." Kemudian Fudhail membaca firman Allah swt:



"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al Kahfi, 18:110).



Dengan penjelasan di atas kita dapat mengetahui, bahwa
keikh­lasan niat dalam beramal tidak cukup bagi diterimanya sebuah amal, bila
amal tersebut tidak sejalan dengan apa yang diajarkan oleh syariat dan
dibenarkan oleh Sunah Rasulullah saw. Sebagaimana suatu amal yang telah
diajarkan oleh syariat, ia tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila dilakukan
dengan ikhlas dan hanya mengharapkan keridhaan Allah swt.



Beberapa indikasi keikhlasan



Keikhlasan itu memiliki beberapa indikasi dan tanda-tanda
yang nampak dalam kehidupan dan perilaku pemiliknya. Juga nampak dalam
pandangannya terhadap dirinya dan pandangannya terhadap orang lain.
Indikasi-indikasi tersebut antara lain:


1.

Khawatir terhadap ketenaran serta keharuman nama
atas dirinya dan agamanya, terutama bila ia termasuk orang-orang yang
berprestasi. Ia meyakini bahwa Allah menerima amal berdasarkan niat yang
tersimpan dalam batin, tidak dengan penampilan. Ia juga meyakini, bahwa
meskipun ketenaran seseorang telah tersebar ke seluruh penjuru, namun
tiada seorang pun yang dapat menolongnya dari siksa Allah, bila ia tidak
mengikhlaskan niat untuk-Nya.


Hal inilah yang menyebabkan para ulama salaf dan
orang-orang shaleh sebelum kita takut pada fitnah ketenaran, tipuan
pangkat serta keharuman nama, dan mereka juga memperingatkan
murid-muridnya dari hal-hal tersebut. Imam Al Ghazali telah meriwayatkan
beberapa kisah tentang hal tersebut.


Ibrahim bin Adham -rahimahullah- berkata:

“Tidak akan jujur kepada Allah orang yang mencintai
ketenaran.”


Sulaim bin Hanzhalah berkata:

“Saat kami berjalan di belakang Ubai bin Ka'ab ra,
tiba-tiba Umar ra melihatnya, lantas Umar mengangkat cemeti yang
diarahkan kepadanya. Maka Ubai berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, apa yang
hen-dak kamu lakukan?’ Umar ra menjawab, ‘Ini merupakan kehinaan bagi
yang mengikuti dan fitnah bagi yang diikuti’.”


Kisah tersebut menggambarkan ketajaman pandangan Umar
ten-tang suatu fenomena yang awalnya terlihat sederhana, namun dapat
mengakibatkan terjadinya hal serius dalam diri orang-orang yang
mengikuti dan dalam diri para pemimpin yang diikuti.


Al Hasan meriwayatkan, bahwa pada suatu hari Ibnu
Mas'ud keluar dari rumahnya, lantas beberapa orang berjalan di
belakangnya (mengikutinya). Maka ia menoleh kepada mereka seraya
berkata, “Kenapa kalian mengikuti saya? Demi Allah, andai kalian
mengetahui apa yang kurahasiakan, tentu tiada dua orang pun dari kalian
yang mengikutiku."


Al Hasan berkata:


"Sesungguhnya, suara sendal di sekitar orang dapat
menggoyahkan hati orang-orang yang bodoh."


Pada suatu hari Al Hasan keluar dari rumah, lantas
diikuti oleh banyak orang. Maka ia berkata kepada mereka, “Apakah kalian
mempunyai suatu keperluan? Bila tidak ada keperluan maka bukankah hal
ini dapat menjadikan hati orang mukmin berbelok?”


Abu Ayyub As-Sikhtiyani keluar untuk melakukan sebuah
perja lanan, lantas beberapa orang mengikuti di belakangnya. Maka ia
berkata:

“Andai aku tidak mengetahui, bahwa Allah mengetahui
hatiku membenci hal ini, tentu aku takut kemurkaan dari Allah swt.”



Ibnu Mas'ud berkata:


“Jadilah kalian sebagai sumber mata air ilmu,
lampu-lampu (cahaya) petunjuk, yang menetap di rumah-rumah, pelita di
waktu malam yang hatinya selalu baru, dan yang kusut pakaiannya.
(Jadilah kalian) orang yang dikenal oleh penduduk langit, tetapi
tersembunyi dari penduduk bumi.”



Fudhail bin 'Iyadh berkata,


"Bila kamu mampu menjadi orang yang tidak dikenal,
maka laku kanlah. Sebab apa kerugianmu bila tidak dikenal? Apa
kerugianmu bila tidak dipuji? Dan apa kerugianmu bila kamu menjadi orang
yang tercela di hadapan manusia, tetapi terpuji di hadapan Allah swt?"


Riwayat-riwayat tersebut jangan sampai dipahami
sebagai seruan untuk mengisolir diri, sebab orang-orang yang mengatakan
atau menyampaikan riwayat-riwayat tersebut adalah tokoh-tokoh da'i yang
bergaul dengan masyarakat, dan para pemandu perbaikan yang memiliki
pengaruh baik dalam membimbing serta mengarahkan masyarakat. Akan tetapi
secara keseluruhan wajib dipahami sebagai kewaspadaan terhadap syahwat
jiwa yang tersembunyi, dan kehati-hatian terhadap pintu-pintu dan
jendela-jendela yang dapat dilalui oleh syaitan menembus hati manusia.


Pada hakikatnya ketenaran itu bukan suatu hal yang
tercela, sebab tiada yang lebih terkenal daripada para Nabi dan
Khulafaur Rasyidin. Karena itu, ketenaran yang tidak dipaksakan dan
bukan didasari oleh niat ambisius, tidak dianggap sebagai suatu
kesalahan. Imam Al Ghazali mengatakan, "(Ketenaran itu) fitnah bagi
orang-orang yang lemah (keimanan), dan tidak demikian bagi orang-orang
yang kuat (keimanannya)."



2.

Orang yang ikhlas selalu menuduh dirinya teledor
dalam menunaikan hak-hak Allah, dan teledor dalam melaksanakan berbagai
kewa-jiban. Hatinya tidak dirasuki oleh perasaan ghurur (tertipu)
dan terkagum dengan diri sendiri, bahkan ia selalu takut kalau
kesalahan-kesalahannya tidak diampuni, dan kebajikan-kebajikannya tidak
diterima oleh Allah swt.


Dahulu, sebagian orang shaleh menangis pilu saat
sedang sakit, lan­tas sebagian orang yang menjenguknya bertanya,
“Mengapa engkau menangis? Padahal engkau ahli puasa dan shalat malam,
engkau telah berjihad, bershadaqah, berhaji, mengajarkan ilmu, dan
berdzikir.” Ia menjawab, “Siapa yang dapat menjamin bahwa itu semua
memperberat timbangan amal baikku, dan siapa yang menjamin bahwa amalku
diterima di sisi Tuhan ku? Sementara Allah swt berfirman,



“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari
orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlMaidah : 27).


At-Tirmidzi meriwayatkan, bahwa 'Aisyah ra isteri
Nabi saw berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang ayat,



“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka berikan, dengan hati yang takut” (QS. Al Mu'minun, 23:
60).




'Aisyah berkata, 'Apakah mereka itu orang yang meminum
khamar dan mencuri?"



Rasulullah saw menjawab, "Tidak, wahai puteri (Abu
Bakar) Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan
bershadaqah. Tetapi, mereka takut kalau amal mereka tidak diterima (oleh
Allah). Mereka itulah orang-orang yang bersegera menuju kepada berbagai
kebajikan."



3.

Orang ikhlas lebih mencintai amal yang tersembunyi
daripada amal yang diliputi oleh hiruk pikuk publikasi dan gaung
ketenaran.


Ia lebih mengutamakan menjadi seperti akar pohon
dalam suatu jamaah; akar itulah yang menjadikan pohon tegak dan hidup,
akan tetapi ia tersembunyi di dalam tanah, tidak terlihat oleh mata
manusia.


Dari Umar bin Khathab ra, pada suatu hari ia keluar
menuju masjid Rasulullah saw tiba-tiba ia menjumpai Mu'adz bin Jabal ra
yang sedang duduk dan menangis di dekat kubur Nabi saw. Maka Umar
bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”


Mu'adz menjawab, “Saya menangis karena (ingat)
sesuatu yang kudengar dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw
bersabda, 'Sesungguhnya riya' (beramal karena mencari pujian manusia)
yang sangat kecil itu termasuk kesyirikan. Dan sesungguhnya, barang
siapa yang memusuhi wali Allah, maka berarti menantang perang dengan
Allah. Sesungguhnya, Allah swt mencintai orang-orang baik, yang
bertakwa, dan tersembunyi. Yaitu orang-orang yang bila tidak ada, tidak
dicari, dan bila sedang hadir tidak dipanggil dan tidak dikenal. Hati
mereka adalah lampu-lampu (cahaya) penerang. Mereka keluar dari malam
yang gelap gulita.” (Ibnu Majah: 2/1320. Nomor: 3989).




4.

Amalnya saat menjadi pemimpin dan saat menjadi
anggota tidak berbeda, selama keduanya masih dalam rangka memberikan
pelayanan pada dakwah. Hatinya tidak dirasuki penyakit suka tampil,
selalu ingin di depan, dan ambisi kepemimpinan, bahkan orang yang ikhlas
lebih mengutamakan menjadi anggota biasa, karena khawatir tidak dapat
menunaikan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepemimpinannya.
Dengan kata lain, orang ikhlas tidak menginginkan dan tidak meminta
jabatan untuk dirinya, tetapi bila diberi amanah, ia menerimanya dengan
penuh tanggungjawab dan memohon pertolongan kepada Allah untuk
melaksanakan sebagaimana mestinya.



Rasulullah saw telah menjelaskan model manusia seperti
itu dalam sebuah sabdanya,



“Berbahagialah seorang hamba yang memegang tali
kudanya dijalan Allah, rambutnya acak-acakan, dan dua kakinya berdebu.
Bila ia (ditugaskan) di pos penjagaan, maka ia tetap di pos penjagaan
tersebut, dan bila (ditempatkan) di barisan belakang, maka ia tetap di
barisan belakang tersebut....” (Fathul Bari: 6/95. Nomor: 2887).



Semoga Allah meridhai Khalid bin Walid saat ia
diturunkan dari jabatannya sebagai panglima pasukan, ia tetap beramal
dengan giat di bawah komando Abu Ubaidah yang menggantikannya, tanpa
menggerutu dan tanpa mengomel, padahal ia adalah seorang panglima yang
selalu mendapat kemenangan.



5.

Tidak menggubris keridhaan manusia, bila di balik
itu terdapat kemurkaan Allah swt. Sebab tabiat manusia sangat
berbeda-beda. Demikian juga cara berpikirnya, kecenderungannya, dan
tujuan-tujuannya. Karena itu, upaya untuk mendapat keridhaan mereka
semua, adalah batas yang tidak mungkin dapat dicapai, dan keinginan yang
tidak mungkin dapat diraih. Orang yang ikhlas tidak akan disibukkan
dengan hal-hal seperti itu, karenanya ia tenang dan tenteram. Syairnya
dalam berhubungan dengan Allah adalah:



Dengan-Mu ada kelezatan, meski hidup terasa pahit

Kuharapkan ridha-Mu, meski seluruh manusia marah

Kuharapkan hubunganku dengan-Mu tetap harmonis

Meski hubunganku dengan seluruh alam berantakan

Bila cinta-Mu kudapatkan, semua akan terasa ringan


Sebab, semua yang di atas tanah adalah tanah belaka





6.

Kecintaan dan kemarahannya, pemberian dan
keengganannya untuk memberi serta keridhaan dan kemurkaannya adalah
karena Allah dan agamanya, bukan karena kepentingan pribadi atau
kemaslahatan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidak seperti kaum munafik
yang hanya mencari keuntungan pribadi. Allah swt mencela orang-orang
munafiq dalam Kitab-Nya (Al Quran),



"Dan di antara mereka ada orang yang menc'elamu
tentang (pembagian) zakat, jika mereka diberi sebahagian daripadanya,
mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian
daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah." (QS.
At-Taubah, 9:58).



Anda dapat melihat, bahwa ada sebagian aktivis dakwah
yang marah, menggerutu, lalu meninggalkan aktivitas, pergerakan, dan
menjauh dari medan jihad, gara-gara ada seorang saudaranya yang
mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya, melukai perasaannya, atau
menjelekkan salah seorang teman dekat dan kerabatnya.


Keikhlasan tujuan menjadikan seseorang tetap teguh di
jalan dak­wah, dan komitmen pada orientasinya, betapa pun parahnya
kesalahan orang yang berbuat salah, betapa pun parahnya kelengahan orang
yang lengah atau berlebihannya orang yang melampui batas. Sebab ia
beramal untuk Allah swt bukan untuk kepentingan dirinya, keluarganya,
atau si fulan dan si fulanah.


Dakwah kepada Allah (Dakwah llallah)
bukan hak prerogatif atau milik seseorang, melainkan milik setiap orang.
Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang mukmin meninggalkan dakwah
karena sikap seseorang atau karena perilaku seseorang.



7.

Orang yang ikhlas tidak akan menjadi malas, jenuh,
atau berputus asa karena panjangnya jalan yang akan dilalui, lamanya
waktu memanen buah dari amal, terlambatnya keberhasilan, banyaknya beban
amal, dan sulitnya berinteraksi dengan manusia yang beragam cita rasa
dan kecenderungan. Sebab ia beramal tidak hanya untuk mencari
keberhasilan, atau mencari kemenangan saja. Akan tetapi, ia beramal
untuk mendapatkan keridhaan Allah dan karena menjalankan perintah-Nya.


Pada hari akhir nanti, Allah tidak akan menanyakan
kepada manusia, ‘Kenapa kalian tidak mendapatkan kemenangan?’ Akan
tetapi, Allah akan menanyakan, ‘Kenapa kalian tidak berjihad?’ Allah
tidak akan menanyakan, ‘Mengapa kamu tidak berhasil?’ Tetapi, akan
menanyakan, ‘Mengapa kamu tidak beramal?’

8.

Bergembira dengan munculnya orang-orang yang
berprestasi di dalam barisan dakwah, yang dapat mengibarkan bendera
dakwah serta berpartisipasi dalam perjuangan. Ia memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada setiap orang yang berbakat untuk menggantikan
posisinya, tanpa sedikitpun menghalang-halangi, tanpa ada kebencian,
kedengkian, atau iri hati. Bahkan orang yang ikhlas, akan meninggalkan
posisinya dengan ridha dan senang hati, bila ada orang lain yang lebih
baik darinya untuk posisinya tersebut. Ia akan mempersilahkan orang
tersebut untuk maju, dan ia akan mundur dengan penuh kebahagiaan dan
ketaatan.





Urgensi keikhlasan bagi aktivis dakwah



Perjuangan untuk mengembalikan hegemoni Islam dan
pengendalian dunia dengan akidahnya, syariatnya, akhlaknya, dan peradabannya,
merupakan ibadah dan taqarrub kepada Allah swt. Oleh karena itu,
keikhlasan niat dalam melaksanakan ibadah tersebut, merupakan hal paling
mendasar dan syarat utama bagi keberhasilan dan diterimanya amal tersebut. Sebab
niat yang tercampuri (tidak ikhlas) dapat merusak amal, mengotori jiwa,
melemahkan barisan, dan menggagalkan pahala.


Karena alasan itulah, maka Imam Bukhari memulai bukunya
'Al Jami'ush Shahih' dengan hadits yang sebagian ulama menganggapnya
seperempat ajaran Islam, atau sepertiganya yaitu sabda Rasulullah saw:



"Sesimgguhnya amal-amal (shaleh) itu (dinilai berdasarkan)
niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu untuk Allah dan
Rasul-Nya. Dan barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin diraih, atau
wanita yang ingin dinikahi, maka hijrah sesuai dengan yang diinginkannya."
(Fathul Bari: 1/15. Hadits nomor: 1).



Telah diriwayatkan, bahwa sebab disabdakannya hadits tersebut
adalah ‘Seorang laki-laki yang hijrah ke Madinah karena mengejar wanita yang
dicintainya. Wanita tersebut bernama, “Ummu Qais.” Oleh karena itu, laki-laki
tersebut dikenal dengan sebutan, “Muhajir Ummu Qais” (Orang yang berhijrah
karena Ummu Qais). (Lihat, Jami'ul 'Ulum Wal Hikam, hal. 11).



Al akh muslim harus memeriksa relung-relung hatinya, dan
meneliti hakikat tujuan serta motivasi yang ada di dalamnya. Apabila di dalamnya
terdapat bagian untuk dunia atau syaitan, maka ia harus segera berjihad untuk
membersihkan hatinya dari kotoran tersebut, berupaya mengikhlaskan niat untuk
Allah semata, serta menadzarkan dirinya hanya untuk Allah semata. Sebagaimana
yang telah diucapkan oleh isteri 'Imran,



"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engaku anak
yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (di Baitul
Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Ali Imran, 3: 35).



Kata "Muharriran" yang diucapkan oleh isteri Imran
dalam ayat tersebut memberikan indikasi, bahwa Allah tidak akan menerima suatu
amal kecuali bila telah murni dari kesyirikan dan bebas dari penghambaan kepada
selain-Nya.


Kehidupan akan terwarnai oleh kebenaran, tertaburi kebaikan,
terkuasai oleh keadilan, dan bendera kemuliaan berkibar padanya, bukan oleh
keberadaan orang-orang yang memperdagangkan prinsip, yaitu orang-orang yang
tidak beramal kecuali untuk mencari keuntungan dunia. Juga bukan oleh keberadaan
orang-orang yang mencari muka, yaitu orang-orang yang tidak beramal kecuali
untuk dikagumi, dipuji, dan ditokohkan oleh orang lain. Kebenaran, kebajikan dan
kemuliaan akan mendapatkan kemenangan dengan adanya orang-orang yang ikhlas,
yaitu orang-orang yang meyakini prinsip, bukan memperjualbelikannya; yang
mempengaruhi orang lain, bukan terpengaruh oleh orang lain; yang rela berkorban,
bukan mencari keuntungan materi; serta yang siap memberi, bukan yang hanya
menerima.




Penyakit hati yang mengotori keikhlasan serta merusak
niat lebih parah dan lebih membahayakan daripada penyakit fisik. Sebab penyakit
hati tersebut dapat merusak pahala dan menjauhkan pemiliknya dari jalan dakwah
yang benar.


Penyakit tersebut setiap saat bisa hinggap dalam diri kita,
akan tetapi kita dapat melawannya dengan keimanan dan ketakwaan. Oleh karena
itu, kita harus selalu sadar, waspada dan mengontrol niat kita, serta berusaha
membersihkannya dari berbagai penyakit hati yang dapat mengotorinya.



Wallahu a’lam bishshawwab.



Sumber: Muhammad Abdullah Al-Khatib dan Muhammad Abdul Halim
Hamid, "Nazhorooti fii risalah ta'alim: Konsep pemikiran gerakan ikhwan".

Tidak ada komentar: