Minggu, 2008 September 07
GLOBALISASI DAN ISLAM POLITIK: Sebuah Komentar
GLOBALISASI DAN ISLAM POLITIK: Sebuah Komentar
Arizka Warganegara, M.A
Political Science Program
School of Politics, History and Security Studies
Universiti Kebangsaan Malaysia
e-mail : rizkayu@yahoo.com
Perspektif Globalisasi
Secara teori terdapat tiga pendapat bagaimana dunia merespon globalisasi (Embong:2000), masing-masing mempunyai perspektif yang berbeda satu dengan lainnya:
Hyperglobalizer
Teori ini didasarkan kepada pandangan-pandangan Kenichi Ohmae seorang sosiolog Jepang. Aliran ini mendedahkan mengenai dampak dari kemajuan teknologi telah mempersempit ruang dan waktu. Hal ini akan terlihat ketika logika borderless di mana jarak dan batas wilayah menjadi semakin berkurang, dalam konteks lain Kenichi Ohmae mengatakan akan terjadi sebuah konsep di mana terwujudnya sebuah kampung global (Global Village) Sehingga negara bangsa tidak mempunyai pilihan kecuali untuk melakukan open market atau pasar yang terbuka dan persaingan terbuka.
Skeptics
Teori yang kedua ini di dukung oleh Paul Hirst dan Grahame Thompson (1996), Wallerstein (1974) mereka percaya bahawa fenomena global bermula sejak abad ke-17 dengan bermulanya pencarian bahan mentah bagi keperluan produksi bangsa-bangsa barat. Globalisasi dalam aliran ini lebih kepada penghijrahan kawasan, tetapi umumnya ini adalah satu dampak dari fenomena sejarah yang masih berjalan.
Transformationalist
Dipelopori oleh Andrew Gidden (1990) melihat globalisasi adalah sebuah fenomena yang baru, yang berlainan dengan modernisasi atau westernisasi. Globalisasi melalui penggunaan teknologi yang canggih seperti telekomunikasi telah menukar pemikiran dan budaya manusia. Proses globalisasi bukan saja memberi dampak dalam sektor ekonomi bahkan aspek politik dan budaya. Dalam konteks ekonomi, kuasa besar ekonomi seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika bakalan menentukan keadaan ekonomi dunia. Manakala dampak politik ialah andaian bahwa terdapat satu pertarungan di antara proses globalisasi dengan kewujudan negara bangsa.
Dari keempat respon tersebut, dunia ketiga tidak mempunyai pilihan kecuali menerima globalisasi secara “pasrah” dalam kategori pertama yaitu Hyperglobalist. Ketergantungan ekonomi politik negara-negara dunia ketiga terhadap Amerika Serikat akhirnya melahirkan kondisi dimana demokrasi liberal menjadi menu wajib untuk dilaksanakan di negara dunia ketiga jika ingin terus memperoleh bantuan dari “Uncle Sam” Amerika Serikat.
Globalisasi selalu identik dengan konsep pengurangan kedaulatan sebuah negara, penghilangan batas wilayah sebuah negara, kecanggihan teknologi, penyempitan ruang dunia dan pengembangan transaksi perdagangan berdasarkan kepada pemikiran perdagangan bebas, dalam pandangan Kenichi Ohmae misalnya globalisasi bukan saja membawa ideologi yang bersifat global dalam hal ini demokrasi liberal di kalangan penduduk dunia, tetapi juga turut mengancam proses pembentukan negara bangsa, karena globalisasi pada umumnya ingin mewujudkan negara tanpa batas (Borderless).
Faktanya sekarang kebanyakan orang hanya melihat bahwa globalisasi adalah sebuah dunia tanpa batas (Borderless) dibandingkan dengan yang konsep lainnya. Lebih dari itu globalisasi tidak hanya bisa diartikan sampai tahap itu saja, globalisasi adalah sebuah fenomena multi dimensi yang meliputi ekonomi, politik, budaya dan ideologi. Dalam konteks ekonomi, adanya sebuah kondisi pasar terbuka yang memperkenankan sebuah persaingan bebas antara kuasa-kuasa ekonomi telah mengekalkan sistem neoliberal yang sangat bertentangan dengan konsep keynesian mengenai welfare state negara. Negara yang ideal seharusnya mempunyai peranan dalam menciptakan kondisi keselamatan serta kesejahteraan warga negaranya.
Dalam dimensi budaya adanya semangat budaya pop, kosmopolitan serta gejala hidup konsumerisme mulai menekan tradisi-tradisi konservatif tradisional-moderat, dalam dimensi ideologi sebagian ahli berpendapat bahwa globalisasi mempergunakan neoliberalisme sebagai ideologi dimana titik fokus dari ideologi ini adalah menciptakan keadaan bagi melanggengkan peran minimal negara dalam pasar sehingga kuasa-kuasa kapitalis dapat “survive” untuk terus melakukan akumulasi modal.
Pada dimensi politik adanya gejala di mana demokratisasi (demokrasi liberal) menjadi isu politik utama bagi negara-negara kapital, untuk di sebarkan secara “paksa” terhadap negara-negara dunia ketiga. Tesis dua ilmuwan, Huntington dengan tesisnya mengenai The Clash of Civilization dan The End of Idelogy Francis Fukuyama telah banyak mempengaruhi U.S Foreign Policy dalam beberapa dekade terakhir. Amerika Serikat berupaya untuk mewujudkan kedua tesis tersebut dengan berbagai cara.
Pemilu 2004 dan Peminggiran Islam Politik
Pertanyaan tegasnya sekali lagi adalah apa hubungan antara hal diatas dengan pemilu di Indonesia? peristiwa tewasnya Ya Syahid Syekh Yassin pemimpin pergerakan Hamas di Palestina adalah rangkaian skenario besar yang akan dibuat oleh Amerika Serikat dan Sekutunya bagi menuntaskan kemenangan demokrasi liberal di negara-negara Islam. Yassin tewas seminggu setelah Fukuyama meninggalkan University of Tel Aviv bagi memberikan penjelasnnya kembali kepada para politisi, ilmuwan dan pejabat Israel terhadap tesisnya mengenai kemenangan demokrasi liberal yang tidak juga terbukti dalam konteks politik Israel.
Sekali lagi tesis Fukuyama mengenai the end of ideology telah benar dan terlaksana di beberapa negara Islam akan tetapi tidak untuk Palestina, perjuangan di sana akan terus dengan atau tanpa Syekh Yassin. Sepintas memang agak tendensius mengaitkan peristiwa ini dengan pemilu di Indonesia akan tetapi sadar atau tidak ini adalah sebagai bagian dari skenario besar kaum demokrasi liberal untuk mengekalkan kekuasaan mereka di Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki populasi muslim terbesar dunia.
Dalam konteks Indonesia misalnya penghitungan suara telah memasuki minggu kedua dan hasilnya memang sangat mengejutkan utamanya bagi para aktivis partai Islam. Hitungan mundur mengenai hasil pemilihan umum misalnya terus berjalan dan nampaknya kekuatan Islam santri tidak mendapat suara yang signifikan. Partai-partai yang berbasiskan islam seperti PPP, PBB, PAN yang sangat berjaya pada waktu pemilu 1999 sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh para konstituennya.
Terdapat kecenderungan bahwa pemilu kali ini akan menghasilkan berkurangnya kekuatan Islam Politik dalam parlemen atau mungkin saja kekuatan Islam Politik malah akan menjadi kekuatan opisisi dan keluar dari kekuasaan karena suara mereka tidak cukup dominan untuk mempimpin bangsa, sebenarnya inilah spektrum politik indonesia baru yang diinginkan kaum demokrasi liberal.
Menurut pandangan kaum demokrasi liberal satu-satunya kekuatan yang bisa mengganjal menyebarnya demokrasi liberal adalah kekuatan kolektif umat islam dengan format Islam Politik. Kekuatan itu dalam konteks Indonesia banyak diwakili oleh kelompok Islam Santri yang banyak terdapat di partai-partai seperti PPP, PBB, PAN, PKS. Lantas bangaimana dengan kekuatan Islam Abangan, dalam spektrum politik indonesia akan sulit untuk menyatukan antara politik santri dan abangan, abangan lebih menyukai untuk bekerjasama dengan kaum nasionalis sekuler dari pada Islam Santri ini adalah sebuah kajian yang sampai saat ini belum ditemukan alasan ilmiahnya.
Perbedaan mendasar antara keduanya ialah bahwa politik Islam Santri lebih kepada hal yang bersifat gerakan intelektual dan lebih rasional sedangkan politik Islam Abangan sangat bergantung kepada kekuatan tradisional-emosional antara pengikut dan pemimpin mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya suara yang masuk ke PKB karena adanya ikatan emosional antara PKB dan Basis NU, sedangkan dalam konteks PAN misalnya hal yang kontradiksi terjadi pemilih Muhammadiyah lebih rasional dalam hal ini sehingga suara PAN tidak mencerminkan suara Muhammadiyah.
Pemilu 2004 memberikan suasana baru bagi kelompok ini, dimana Islam Santri tidak akan dominan lagi untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara sehingga ide-ide serupa seperti memasukkan piagam jakarta dalam konstitusi negara tidak akan terdengar sehingga 2009. Sadar atau tidak ini ialah skenario global yang diperankan dengan cantik oleh Amerika Serikat, wajar sekali karena Amerika mempunyai kekuasaan untuk melakukan itu semua alasan-alasan ekonomi mungkin lebih mengambil peran terhadap terjadinya hal ini, dengan terpinggirkanya Islam Politik maka kemenangan demokrasi liberal akan terus abadi.
Diposting oleh arizka-giddens-shamsul's blog di 22:27
Kamis, 25 September 2008
budaya politik islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar