Jumat, 26 September 2008

Kekuatan PKS

Kamis 22 Mei 2008
Mampukah PKS Menjadi Kekuatan Politik Baru di Indonesia?

Membaca Perolehan Suara PKS di Empat Pilkada

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]


A. Pengantar

Fenomena kemenangan calon yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi catatan tersendiri dalam pelaksanaan pilkada. Tercatat ada beberapa daerah seperti Jawa Barat (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf) dan Sumatera Utara (Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho), yang dimenangkan oleh kader PKS. Di tingkat kabupaten/kota, kader PKS mampu menang di Kota Depok (Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra) Kota Banjarmasin (Yudhi Wahyuni-Alwi Sahlan), Hulu Sungai Selatan (Muhammad Safi’i-Ardiansyah), atau Halmahera Selatan (Abdul Gani Kasuba-Rusli Wali).

PKS juga berkali-kali memasang kadernya di berbagai pilkada walaupun harus ”mengakui” keunggulan kandidat lain. Kita dapat menyebut pilkada Jakarta, di mana PKS mengusung Adang Daradjatun-Dani Anwar. Selain itu, PKS juga ikut berkompetisi di Banten (Zulkiflimansyah-Marissa Haque), Sumatera Barat (Irwan Prayitno-Ikasuma Hamid), Kalimantan Selatan (Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar), Nangroe Aceh Darussalam (Azwar Abubakar-Nasir Jamil), dan Maluku Utara (Thaib Armain-Abdul Gani Kasuba). Walaupun kandidat PKS tidak memenangi pilkada, mereka tetap dapat membuka mata rakyat bahwa sebuah kekuatan politik baru telah muncul di Indonesia.

B. PKS: Kekuatan Politik Baru?

Berdasarkan data pemilu 2004, tercatat bahwa PKS mampu mendulang 8.325.020 suara atau 7,34% dari total jumlah pemilih. Perolehan suara tersebut menempatkan PKS di peringkat ke-6 setelah Golkar (21,58%), PDIP (18,53%), PKB (10,57%), PPP (8,15%) dan Partai Demokrat (7,45%). Dari perolehan tersebut, PKS tercatat memenangi pemilu legislatif di DKI Jakarta (Daerah Pemilihan I dan II), di mana mereka mampu meraih 5 tiket kursi di DPR-RI untuk daerah pemilihan tersebut.

Sementara di daerah lain, PKS tidak memenangi pemilu tetapi mampu mengantarkan kader-kadernya di DPR. Nangroe Aceh Darussalam ”menyumbangkan” dua kadernya (Nasir Jamil dan Andi Salahuddin). Provinsi ujung sebelah timur, Maluku, mengirimkan seorang kader ke DPR-RI (Abdul Aziz Arbi). PKS secara akumulatif meraih 45 kursi di DPR-RI, setara dengan 8% dari total 550 kursi di sana.

Muncul pertanyaan, mengapa PKS dapat menjelma menjadi sebuah kekuatan politik alternatif beberapa tahun terakhir ini? Tak lain, PKS mampu mentransformasi diri dalam politik Indonesia karena mereka memiliki sistem kader yang kuat. Dalam tradisi PKS, orang-orang tua tidak duduk di kepengurusan Dewan Pimpinan partai. Orang-orang tua lebih banyak duduk di Majelis Pertimbangan atau Dewan Syuro. Selebihnya, anak-anak mudalah yang menggerakkan partai.

Bahkan, beberapa anggota DPR-RI tidak mencapai 35 tahun ketika diangkat, seperti Rama Pratama atau Andi Rahmat. Anggota DPR-RI yang tua pun dapat dihitung dengan jari, seperti Ustadz Soeripto, Ustadz Djalaluddin Asy-Syathibi, Ustadz Yusuf Supendi, atau Ustadz Abu Ridho (Abdi Sumaithi). Kekuatan anak muda inilah yang menyebabkan PKS dapat bergerak lincah dalam program kerjanya. Dengan dukungan kaum muda pulalah PKS mampu melakukan sosialisasi ke kalangan grass-root, prestasi yang jarang bisa dilakukan oleh partai-partai yang telah mapan.

Memang selain PKS ada Partai Demokrat yang mampu mendulang 56 kursi di DPR-RI. Akan tetapi, kemenangan Partai Demokrat lebih dikarenakan faktor popularitas Susilo Bambang Yudhoyono yang memang dekat dengan rakyat. Partai Demokrat juga mampu secara finansial. Perbedaannya, PKS tidak menonjolkan seorang figur sentral. Mereka lebih menonjolkan platform dan sikap politik yang jelas-jelas memasukkan Islam sebagai visi ideologis. Lantas, bagaimana strategi politik PKS dalam meraih dukungan besar di beberapa daerah yang notabene merupakan basis partai lain? Mari kita analisis.

C. Studi atas Empat Pilkada

1. Pilkada Jawa Barat

Berkaca dari pilkada Jawa Barat, PKS telah membuktikan bahwa mereka patut diperhitungkan pada pemilu 2009 yang akan datang. Jika kita tinjau secara regiopolitik, Jawa Barat bukanlah basis kekuatan PKS. PKS hanya menguasai daerah-daerah tertentu seperti Depok yang memang sejak tahun 2004 telah menjadi basis PKS. Secara total, perolehan suara mereka pun hanya berkisar antara 11%-12% saja.

Jelas, hitung-hitungan suara ini akan kalah dengan kandidat yang diusung oleh partai besar yang memiliki basis kuat di daerah ini. Para analis politik lebih mengunggulkan Dani Setiawan atau Agum Gumelar yang notabene lebih akrab dengan masyarakat Jawa Barat. Dani Setiawan, seperti kita ketahui, adalah calon incumbent yang memiliki basis kuat di kalangan birokrat dan masyarakat kelas menengah ke atas.

Adapun Agum Gumelar pernah mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden dari PPP. Suara dari PPP yang diambil pada Pemilu Presiden tahun 2004 saja telah menjamin 810.519 suara akan diperoleh oleh Agum. Ini belum termasuk suara PDIP, PKB, dan partai pendukung lain yang memiliki jumlah suara lebih besar. Sementara untuk Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, para analis menilai pasangan ini hanya akan menjadi kuda hitam. Analisis Saiful Mujani di MetroTV bahkan tidak menganggap pasangan ini sebagai unggulan, karena masyarakat dianggap masih belum terlalu kenal dengan Ahmad Heryawan yang sehari-hari tinggal di Jakarta.

Akan tetapi, fakta berkata lain. Kandidat PKS berhasil memenangi pilkada dengan meraup dukungan sebesar 40%! Fakta menunjukkan PKS berhasil memperoleh suara besar di kantong suara milik partai lain seperti Cirebon yang pada tahun 2004 merupakan basis PDIP. Di samping itu, PKS juga mampu mengakselerasi mesin politik dengan menggerakkan kader dan simpatisan untuk mendukung kandidat yang diusung. Ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa bagi PKS.

Dari pilkada ini kita dapat mendapatkan beberapa fenomena. Mari kita analisis fenomena-fenomena tersebut.

Pertama, masyarakat memiliki kecenderungan untuk memilih pemimpin baru yang membawa angin perubahan. Indikatornya terlihat dari menurunnya dukungan untuk Dani Setiawan yang merupakan calon incumbent. Padahal sebelum pilkada, LSI dan MetroTV masih mengunggulkan Dani Setiawan untuk memenangi pilkada. Mereka beranggapan bahwa popularitas Dani masih lebih tinggi dibanding calon lain.

Kedua, bergesernya preferensi masyarakat dalam politik. Jika kita menggunakan perbandingan dengan hasil pemilu 2004, terlihat bahwa PKS tidak memperoleh suara yang cukup untuk memenangi pilkada. Pasangan yang berpeluang kuat untuk memperoleh suara terbanyak dari partai politik ini justru adalah Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim yang didukung oleh koalisi beberapa partai. Dengan kemenangan Ahmad Heryawan, terlihat bahwa ada pergeseran preferensi masyarakat dalam memilih partai politik. Bisa jadi ini merupakan awal dari berubahnya peta kekuatan politik di pemilu 2009 yang akan datang.

Ketiga, PKS menjelma menjadi sebuah kekuatan politik baru di Jawa Barat. Hal ini tak dapat dipungkiri dengan kemenangan HADE. DI Jawa Barat, suara PKS yang hanya berkisar antara 11%-12% ternyata bertambah hingga mencapai 40% pada pilkada. Ini menunjukkan beralihnya simpati masyarakat yang pada awalnya merupakan pendukung partai lain hingga mau memilih kandidat yang diusung oleh PKS. Selain itu, PKS juga mampu melakukan konsolidasi kader dan konstituen hingga mesin politik dapat diakselerasi pada Pilkada.

Keempat, bangkitnya kepercayaan masyarakat pada kaum muda. Seperti diketahui, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf masih dikategorikan sebagai pemuda. Umur mereka belum mencapai 50 tahun dan pemikiran mereka pun merepresentasikan pemikiran kaum muda. Ditambah lagi dengan kondisi fisik yang prima. Sehingga, masyarakat pun dapat dianggap menaruh harapan besar dengan kehadiran kandidat kaum muda.

Kelima, kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf menunjukkan bahwa data Pemilu 2004 sangat sulit dijadikan acuan dalam memprediksi hasil pilkada. Hal ini mengingat banyak faktor yang mempengaruhi perolehan suara yang diraih oleh seorang calon sehingga banyak korelasi yang terbentuk antara satu variabel dengan variabel lainnya. Kemenangan HADE menunjukkan bahwa partai yang dianggap sebagai ”kuda hitam politik” pun masih bisa meraih kemenangan jika strategi pemenangan dirancang dengan tepat.

Lima fenomena tersebut pada intinya menegaskan bahwa demokratisasi telah berjalan dengan cukup baik di Jawa Barat, meski kita tak dapat memungkiri bahwa kelompok ”golongan putih” yang apolitik masih bercokol di sana. Akan tetapi, hasil yang diperoleh tetap merepresentasikan suara rakyat. Ini juga menjadi catatan bahwa akan ada pergeseran peta kekuatan politik pada tahun 2009 yang akan datang.

2. Pilkada Sumatera Utara

Kondisi serupa juga terjadi di Sumatera Utara. Di daerah yang notabene bukan merupakan basis kekuatan PKS ini, calon yang diusung PKS (Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho) juga berhasil memenangkan pilkada. Di daerah ini, PKS berkoalisi dengan 10 partai lain seperti PPP, PPNUI, PNI Marhaenisme, dan partai-partai lain.

Seperti di Jawa Barat, kemenangan ini cukup mengejutkan banyak pihak. Banyak yang mengira PDIP atau Golkar yang akan mendominasi. Apalagi kedua calon tidak merepresentasikan suara kaum Batak. Syamsul Arifin lebih dekat dengan etnis Melayu Deli, sedangkan Gatot Pujo Nugroho mewakili kaum perantauan di Medan. Praktis, banyak kalangan yang memperkirakan suara orang Batak yang merupakan mayoritas di Sumatera Utara akan beralih ke calon lain seperti Maratua Simanjuntak, Benny Siregar, atau RE Siahaan.

Memang, faktor etnopolitik cukup berperan penting di Sumatera Utara. Kita dapat melihat komposisi etnis yang ada. Jika dipetakan, daerah Tapanuli Selatan didominasi oleh etnis Mandailing yang beragama Islam. Sementara daerah pegunungan sebelah utara Medan didiami oleh Batak Karo dan Simalungun yang kebanyakan beragama Kristen.

Begitu pula dengan daerah pantai Barat Sumatera Utara, banyak didiami oleh Batak Pakpak meskipun masih banyak juga etnis lain yang tinggal di sana. Sedangkan daerah sekitar danau Toba mayoritas didiami oleh Batak Toba yang dikenal ”keras” dan beragama kristen. Adapun daerah Medan, Deli Serdang, dan sekitarnya lebih banyak didiami oleh etnis Melayu yang sering pula disebut sebagai ”Melayu Deli”.

Kembali jika kita lihat latar belakang etnis masing-masing calon, terlihat ada keberagaman di antara mereka. Calon nomor urut 1, Ali Umri-Maratua Simanjuntak lebih dekat dengan entitas Batak Toba. Hal ini disebabkan oleh latar belakang cawagub. Apalagi, mereka didukung oleh Partai Golkar yang pada Pemilu 2004 lalu berhasil mendapatkan 6 kursi di DPR-RI.

Sedangkan Calon nomor urut 2, Tritamtomo-Benny Pasaribu juga memiliki kedekatan dengan etnis Toba. Mereka diusung oleh PDIP yang memang merupakan salah satu kekuatan politik besar di Sumatera Utara. Calon nomor urut 3, RE Siahaan-Suherdi, merupakan konfigurasi ”Batak-Pendatang”. RE Siahaan berlatar belakang etnis dari Batak Toba, sedangkan wakilnya merupakan representasi non-Batak. Adapun calon nomor urut 4 (Abdul Wahab Dalimunthe-Raden Syafi’i) yang didukung oleh PAN, Partai Demokrat, dan PBR lebih merepresentasikan etnis Mandailing. Terakhir, Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho mewakili etnis Melayu Deli yang berbasis di daerah Langkat dan sekitarnya (Syamsul Arifin adalah Bupati Langkat sekarang).

Dari komposisi etnis di atas, terlihat bahwa suara masyarakat Batak akan tersebar ke tiga calon. Persebaran ini diperkirakan akan mengacu pada partai politik yang mengusung. Konstituen Partai Golkar tentu akan mendukung Ali Umri, sedangkan massa PDIP lebih cenderung pada Tritamtomo. Sisanya diperkirakan akan menuju RE Siahaan. Analisis Saiful Mujani sebelum penghitungan Quick Count di metroTV lebih cenderung mendukung RE Siahaan.

Lagi-lagi, LSI salah. Calon yang menang justru Syamsul Arifin yang hanya diplot oleh para analis politik sebagai kuda hitam. Syamsul Arifin mendulang 28% suara, disusul oleh Tritamtomo yang hanya mendapatkan 22%. Sama seperti Jawa Barat, perolehan suara ini mengindikasikan perubahan peta politik dan terkonsolidasinya suara konstituen PKS dan PPP untuk mengegolkan calon yang diusung.

Mengapa kandidat PKS dapat memenangkan pilkada di daerah yang notabene merupakan daerah non-Islam? Mari kita analisis.

Pertama, konsolidasi antarpartai Islam berjalan lancar di daerah ini. Kita lihat, hampir semua partai berplatform Islam kecuali PBR mendukung pasangan ini. Konsolidasi ini kemungkinan bertambah dengan suara konstituen PKB, karena sikap politik PKB ternyata mendukung pasangan non-Islam (RE Siahaan-Suherdi). Hal ini semakin memperkuat semangat untuk mendukung calon yang berlatarbelakang muslim.

Kedua, terpecahnya suara masyarakat Batak. Seperti kita lihat, ada tiga calon yang merepresentasikan masyarakat Batak Toba, yaitu Maratua Simanjuntak, Benny Pasaribu, dan RE Siahaan. Kondisi ini membuat suara masyarakat Kristen dengan gereja terpecah. Analisis Saiful Mujani menjelang penghitungan Quick Count menyebutkan bahwa dua gereja terbesar di Sumatera Utara berbeda pendapat dalam mendukung calon.

Ketiga, menurunnya dukungan untuk partai-partai besar. Dukungan yang paling jauh menurun adalah Partai Golkar. Pada Pemilu 2004, pemenang pemilu di daerah ini adalah Partai Golkar. Mereka mampu meraih enam kursi di DPR-RI serta memiliki modal suara yang cukup besar. Akan tetapi, perolehan suara mereka di Pilkada ini anjlok menjadi hanya sekitar 15%. Ini diakibatkan oleh terpecahnya kader-kader Partai Golkar, karena Syamsul Arifin, Abdul Wahab Dalimunthe, dan Ali Umri merupakan kader-kader Golkar.

Tiga fenomena ini secara umum juga menunjukkan kemenangan strategi partai-partai Islam dalam memenangkan calonnya, di samping memanfaatkan perpecahan yang melanda partai-partai lain. Pilkada Sumatera Utara ini dapat dijadikan sebagai momentum konsolidasi PKS dalam menghadapi Pemilu 2009 yang akan datang.

3. Pilkada DKI Jakarta

Fenomena lain yang juga mengindikasikan kemunculan PKS sebagai kekuatan politik baru adalah di DKI Jakarta. Pada pilkada ini ada dua calon yang maju, yaitu Adang Daradjatun-Dani Anwar yang diusung oleh PKS melawan Fauzi Bowo-Priyanto yang didukung oleh koalisi 20 partai. Jika dilihat sekilas, pilkada ini tak ubahnya seperti pertarungan David vs Goliath; berat sebelah. Walaupun PKS memenangi Pemilu 2004 di daerah ini, mereka tetap tidak memi;karena melawan koalisi 20 partai yang jika dihitung secara kasar akan memperoleh minimal 75% suara!

Di atas kertas, Adang-Dani diperkirakan para analis hanya akan mendulang suara sekitar 20%-25% saja. Jumlah ini merupakan asumsi suara PKS yang diperoleh pada Pemilu 2004. Mereka diprediksi akan mengalami kekalahan karena jumlah suara yang akan diterima oleh Fauzi Bowo-Priyanto cukup besar.

Pilkada pun berjalan. Hasilnya, seperti diprediksi oleh para analis politik, memang dimenangkan oleh Fauzi Bowo. Akan tetapi, hasil yang diperoleh ternyata tidak begitu jauh terpaut. Adang Daradjatun memperoleh suara sekitar 40%, sedangkan Fauzi Bowo memperoleh 60%. Ini berarti, perolehan suara Fauzi turun dari dukungan koalisi 20 partai. Hal ini juga membuktikan banyak suara yang ”lari” mendukung Adang Daradjatun.

Sekali lagi, ada beberapa implikasi yang dapat kita analisis pada perolehan suara PKS di DKI Jakarta ini.

Pertama, PKS mampu memaksimalkan kekuatan yang dimilikinya untuk memenangkan calon yang diusung. Dalam kasus pilkada ini, PKS mampu mengakselerasi kekuatan yang ada dari level wilayah hingga level ranting. Dengan demikian, kekuatan PKS di DKI Jakarta telah terkonsolidasi secara baik. Ini menunjukkan kesiapan PKS DKI Jakarta dalam menghadapi Pemilu 2009.

Kedua, Ada ”pelarian suara” dari partai politik lain ke calon yang diusung PKS akibat isu-isu politik yang dihembuskan menjelang pilkada. Sebelum pilkada memang ada beberapa calon gubernur yang telah siap berkompetisi melamar ke partai politik. Sebut saja Faisal Basri atau Sarwono Kusumaatmadja. Mereka bahkan secara terang-terangan menyatakan kesiapan untuk maju pada berbagai kesempatan.

Kita ambil kasus Sarwono Kusumaatmadja. Pada kasus ini, ada sedikit kesalahpahaman antara Sarwono dengan PAN dan PKB yang awalnya menyatakan diri mendukung pencalonan diri Sarwono sebagai calon gubernur. Akan tetapi, secara mengejutkan PAN mencabut dukungannya dan memilih untuk mendukung Fauzi Bowo-Priyanto beberapa hari sebelum pendaftaran ditutup. Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan dari pendukung Sarwono, sehingga muncul kemungkinan sebagian besar suara konstituen PAN yang tadinya mendukung Sarwono beralih ke Adang.

Ketiga, Perolehan suara ini dapat berimplikasi pada lonjakan suara yang akan diterima oleh PKS pada Pemilu 2009 nanti. Kenaikan suara sebesar 15% pada pilkada ini, menurut penulis, berpotensi diikuti oleh kenaikan suara PKS di Pemilu 2004 nanti. Syaratnya, PKS harus terus melakukan sosialisasi dan pencitraan diri sehingga dikenal di masyarakat luas.

Tiga fenomena di atas bisa menjadi modal awal PKS dalam menempuh Pemilu 2009. DKI Jakarta yang sejak awal telah menjadi basis PKS harus dijadikan pilar kekuatan dalam meraih konsituten. Ini tentunya memerlukan kerja keras disertai doa, agar dakwah parlemen terus meraih momentum untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

4. Pilkada Kalimantan Selatan

Terakhir, kita akan menganalisis perolehan suara PKS di Kalimantan Selatan, daerah kebanggaan kita. Di daerah ini, PKS mampu meloloskan dua orang kadernya di pemerintahan, yaitu Alwi Sahlan (Wakil Walikota Banjarmasin) dan Ardiansyah (Wakil Bupati Hulu Sungai Selatan). Selain itu, koalisi PKS dengan partai lain juga berjalan sukses dengan mengantarkan nama-nama seperti Adriansyah-Atmari (Tanah Laut), Idis Nurdin Halidi-Ahmad Fauzi (Tapin), atau Fakhruddin-Aunul Hadi (Hulu Sungai Utara).

Kalimantan Selatan secara kultural adalah daerah yang sangat religius. Di daerah ini kita akan sangat jarang mendapati daerah yang tidak memiliki mesjid, walaupun jamaah mesjid tersebut terkadang hanya seorang imam dan seorang makmum. Bahkan dalam persoalan politik pun, seorang politisi harus memiliki nuansa keislaman yang kental untuk ”bermain” di daerah ini.

Kita dapat mengambil contoh dalam Pilkada provinsi tahun 2005 yang lalu. Pada saat kampanye atau pencalonan, masing-masing kandidat pasti akan menyempatkan diri untuk bersilaturrahim ke seorang Tuan Guru (Kyai). Mereka saling menggalang dukungan di komunitas pesantren dan komunitas religius di pedesaan. Sedangkan di perkotaan, para kandidat berlomba-lomba memberi bantuan kepada mesjid/mushalla dan panti asuhan.

Pada pemilu tahun 2004, Partai Golkar memperoleh suara terbanyak dengan 323.298 suara, disusul oleh PPP dengan 220.735 suara. PKS sendiri menempati peringkat ketiga dengan 166.847 atau sekitar 10,71% dari total suara keseluruhan. PKS mampu memenangkan pemilu di dua kabupaten, yaitu Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan. Sedangkan di Kota Banjarmasin, PKS menempati peringkat kedua dengan 38.606 suara (13,99%).

Adapun pada Pilkada 2005, PKS memilih berkoalisi dengan PAN untuk mengusung Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar Al-Habsyi. Pasangan ini menghadapi empat kandidat lain, yaitu Rudi Ariffin-Rosehan NB (PPP-PKB), Gusti Iskandar SA-Hafiz Anshary (Golkar), Muhammad Ramlan-Baderani (Partai Demokrat-Koalisi partai kecil), dan Sjachriel Darham-Noor Aidi (PDIP-PBR). Hasilnya, Rudi Arifin-Rosehan memenangi pilkada dan menjadi gubernur-wakil gubernur terpilih.

Mari kita analisis hasil pilkada tersebut. Jika kita lihat lebih dalam, ada beberapa fenomena yang terlihat.

Pertama, terbaginya Kalimantan Selatan ke dalam beberapa daerah konsentrasi politik. Daerah pertama adalah daerah Hulu Sungai (HSS-HSU). Daerah ini adalah basis kekuatan PKS, terbukti dengan kemenangan Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar di semua daerah tersebut. Pada pemilu 2004, PKS juga dapat memenangi daerah HSS dan HST, dan menempati peringkat ketiga di HSU.

HSU sendiri adalah basis kekuatan PPP, karena daerah ini adalah kampung halaman KH. Ideham Khalid, mantan Ketua PBNU dan Ketua MPR-RI. Adapun Balangan dan Tabalong, meski termasuk daerah Hulu Sungai, tidak dikuasai PKS. Tabalong adalah basis kekuatan PAN dan Golkar, sedangkan Balangan dikuasai oleh PDIP.

Daerah kedua adalah Kabupaten Banjar dan Tapin. Daerah ini adalah basis kekuatan PKB yang memperoleh kemenangan di Tapin dan menempati peringkat ketiga di Kabupaten Banjar. Dua daerah ini kemudian menjadi lumbung suara Rudi Ariffin-Rosehan yang akhirnya dapat menutupi perolehan suara Ismet Ahmad-Habib Aboe Bakar yang menang di Hulu Sungai.

Daerah ketiga adalah Kotabaru dan Tanah Bumbu. Dua daerah ini secara etnografis merupakan permukiman para transmigran dan mayoritas penduduknya beretnis Bugis. Peta politik di dua daerah ini hampir sama dengan Sulawesi Selatan yang didominasi oleh Golkar. Terbukti dengan kemenangan Gusti Iskandar di Kotabaru. Meski demikian, Tanah Bumbu justru menjadi daerah kemenangan Rudi Ariffin-Rosehan. Selain di daerah ini, Golkar juga memenangi pemilihan di Barito Kuala yang menjadi penyumbang suara terbesar Partai Golkar. Bahkan Golkar mampu mendudukkan kadernya, Hasanuddin Murad, sebagai Bupati di sini.

Daerah keempat adalah daerah perkotaan, yaitu Banjarmasin dan Banjarbaru. Walaupun Golkar memenangkan Pemilu di daerah ini, kita tidak dapat mengklaim bahwa dua kawasan ini adalah basis kekuatan Golkar. Pada pilkada yang lalu, dua kawasan ini bahkan dimenangkan oleh Rudi Ariffin-Rosehan. Meski demikian, PKS dan PAN pun juga memiliki kekuatan yang tak dapat diremehkan, karena mereka mampu mendudukkan kader mereka sebagai walikota dan wakil walikota di Banjarmasin.

Kedua, konsentrasi kekuatan politik tersebut membuat peta politik di Kalimantan Selatan terlihat jelas. Jika kita kaitkan dengan latar belakang sosial-keagamaan pun, keempat daerah di atas memiliki ciri khas tersendiri. Daerah pertama (Hulu Sungai) lebih condong kepada kaum Habaib dan Tuan Guru lokal. Sehingga, orientasi keagamaan lebih condong kepada tuan guru yang berada di Hulu Sungai itu sendiri. Secara politik, mereka lebih condong kepada PPP dan PKS.

Hal ini berbeda dengan latar belakang sosial-keagamaan di Kabupaten Banjar dan Tapin. Walaupun sama-sama berbasis pada NU, tetapi orientasi masyarakat di daerah ini lebih condong kepada pemahaman agama Islam yang dibawa oleh Syekh Arsyad Al-Banjari. Mereka lebih mengorientasikan diri pada figur ulama Martapura atau Kalampayan, seperti Alm. KH. Zaini Ghani (Guru Sekumpul). Secara politik, mereka lebih condong kepada PKB.

Adapun daerah ketiga adalah daerah yang nuansa keagamaannya berbeda dengan daerah di Hulu Sungai atau Martapura. Orientasi keagamaan di daerah ini sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, masyarakat di daerah ini juga memiliki apresiasi yang kurang terhadap partai Islam. Mereka lebih memilih partai yang berbasis nasionalis tetapi membawa nilai-nilai Islam seperti Golkar. Orientasi politik mereka paralel dengan orientasi politik masyarakat Sulawesi Selatan.

Sedangkan daerah perkotaan (Banjarmasin dan Banjarbaru) lebih cenderung heterogen dan terdiferensiasi. Masyarakat di daerah ini memiliki tingkat pendidikan politik yang cukup baik sehingga pandangan politik pun beragam. Kalangan menengah ke atas, misalnya, lebih cenderung ke Golkar, tetapi banyak orang-orang lain dari strata ini yang mendukung partai lain. Kalangan aktivis Mesjid lebih cenderung ke PKS, tetapi aktivis di mesjid-mesjid yang berkarakter Nahdhiyyin cenderung memilih PKB atau PPP. Jadi, terdapat keberagaman yang menyebabkan masyarakat di kawasan ini terfragmentasi ke beberapa kekuatan politik yang agak sulit dipetakan.

D. Implikasi dan Prospek: Mampukah PKS Menjadi Kekuatan Politik Nasional?

Berbicara mengenai prospek ke depan, penulis menganalisis ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan evaluasi PKS. Hal-hal tersebut antara lain:

Pertama, PKS dapat memaksimalkan potensi suara di kantung-kantung suara seperti HSS di Kalimantan Selatan, Depok di Jawa Barat, DKI Jakarta dan sekitarnya, dan Sumatera Utara sebagai modal awal dalam menggalang dukungan di Pemilu 2009. Di daerah-daerah tersebut, PKS meraih kemenangan yang cukup besar pada Pemilu 2004 dan Pilkada. Potensi tersebut dapat dikembangkan melalui aksi simpatik dan pendidikan politik yang efektif, selain komunikasi politik yang intens dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Sekadar mengingat kembali, PKS mampu mendudukkan beberapa kaderya di jajaran kepala daerah seperti Ardiansyah, SHut sebagai Wakil Bupati HSS, Abdul Gani Kasuba, Lc. sebagai Bupati Halmahera Selatan, Drs. Alwi Sahlan, M.Si. sebagai Wakil Walikota Banjarmasin, Dr. Ir. Nurmahmudi Ismail, M.Sc. sebagai Walikota Depok, Ahmad Heryawan, Lc. sebagai Gubernur Jawa Barat, dan Gatot Pujo Nugroho sebagai Wakil Gubernur Sumatera Utara. Ini berarti, PKS telah memiliki potensi yang cukup besar untuk melipatgandakan suara pada Pemilu 2009.

Kedua, PKS perlu memperhitungkan para pemilih pemula. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah pemilih yang berusia cukup muda dan tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai. Sementara pemilih tua banyak yang telah meninggal dunia atau memiliki preferensi politik tertentu. Caranya, PKS dapat mengoptimalkan event-event dakwah yang akrab dengan kawula muda dan mencerminkan kepedulian terhadap penyelamatan generasi muda dari fenomena loss generation.

PKS juga dapat mengoptimalkan peran aktivis-aktivis dakwah, baik di kalangan kampus atau sekolah. Hal ini beranjak dari pengalaman DKI Jakarta dan Jawa Barat di mana potensi mahasiswa UI yang memang didominasi oleh aktivis dakwah dapat memberi sumbangan suara yang signifikan bagi PKS. Apalagi berbagai kampus di DKI Jakarta sejak lama telah dibina oleh Tarbiyah, apalagi di UI yang selalu meloloskan kader-kader dakwah sebagai pimpinan organisasi mahasiswa sejak era Eep Saefullah Fatah sampai era Edwin Nofsan Naufal sekarang (Sidiq, 2003).

Hal tersebut dapat dilakukan karena PKS memiliki basis kader yang cukup kuat dari kalangan aktivis mahasiswa atau orang-orang yang pernah berkecimpung dalam gerakan tersebut. Di kalangan tua kita mengenal Soeripto yang dulu pernah aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dalam menentang PKI pada tahun 1965. Beliau dulu memegang bendera Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) yang merupakan underbouw dari Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir (Setiawanto dkk, 2001). Namun, beliau aktif di dakwah kampus sejak tahun 1998 dan sekarang menjadi anggota legislatif dari PKS.

Di kalangan muda sendiri cukup banyak aktivis mahasiswa yang bergabung di PKS. Sebut saja Fahri Hamzah, SE (Ketua Umum KAMMI tahun 1998), Fitra Arsil, SH, MH (Ketua KAMMI 1998-2000), Andi Rahmat, SE (Ketua KAMMI 2000-2002), Rama Pratama, SE, Ak (Ketua SM UI 1997-1998), Haryo Setyoko (Ketua BEM UGM 1997-1998), atau Dr. Zulkiflimansyah, SE, M.Sc. (Ketua SM UI 1995-1996). Mereka banyak yang terlibat dalam pendudukan gedung DPR-MPR tahun 1998 yang berhasil membuat Soeharto mundur dari jabatannya (Sidiq, 2002).

Ketiga, PKS perlu melakukan konsolidasi-konsolidasi di level pusat maupun daerah. Konsolidasi ini dapat berbentuk (1) melakukan kegiatan yang melibatkan kader dalam magnitude massa yang besar; (2) melakukan kaderisasi dengan ekspos media massa yang tepat; atau (3) melakukan aksi-aksi sosial yang tidak menggunakan tenaga kader yang terlalu banyak tetapi mampu menarik simpati kalangan grass-root.

Konsolidasi ini bukan dimaknai sebagai unjuk kekuatan PKS jelang pemilu 2009, melainkan sebagai media sosialisasi PKS di masyarakat. PKS dengan sistem kaderisasi yang terarah memiliki kemungkinan besar untuk melakukan konsolidasi ini. Terlebih, militansi dan kedisiplinan kader yang terbina melalui liqo’ harian juga cukup kuat. Sehingga, PKS diharapkan dapat lebih terjun ke masyarakat untuk sosialisasi. Kasus pilkada Jawa Barat menjadi contoh nyata.

Tiga poin ini penulis tawarkan untuk kepada PKS agar perolehan suara PKS dapat memenuhi target pada 2009 nanti. PKS sebagai salah satu kekuatan politik nasional harus tetap konsisten dengan visinya untuk membangun negeri yang sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan PKS di lembaga-lembaga politik, baik eksekutif maupun legislatif, sangat diperlukan. Maju terus PKS, maju terus kekuatan politik dakwah!


Daftar Pustaka

Bastoni, Hepi Andi, 2006. Penjaga Nurani Dewan, Lebih Dekat dengan 45 Anggota DPR-RI Fraksi PKS. Bogor: Al-Bustan.

Tidak ada komentar: