Jumat, 26 September 2008

abstraksi tarbiyah

Abstraksi Tarbiyah

(Vila Anggrek 1)



Hidup adalah pilihan. Begitu lah yang semua orang katakan,pikirkan dan rasakan. Sebagiannya mencederungi perilaku primitif. sebagian kecil yang lain malu untuk menunjukkan identitas Nabi mereka sendiri. Jika kita diturunkan hanya untuk diuji, lantas apa yang dipikirkan lagi. Pikiran yang selain untuk beribadah adalah buah dari ketidakyakinan atau nafsu yang berkuasa atas diri.Jika kau tak akrab dengan Al-Qur’an, bisa dipastikan kau bersahabat dengan kemaksiatan. Jika kau lalui malam dengan tertidur, sesungguhnya engkau asing dengan prilaku pemuda surga, Jika kau tak mampu menampilkan geliat ilmu dunia, tak ada karisma Islam didirimu, jika tak ada karisma, maka kau bukan siapa-siapa didunia ini. Paling hanya seonggok daging yang berteriak dalam ceramah untuk kemudian diludahi kaum yang kritis, dipuji kaum tak mengerti. Apa untungnya!

Bukalah kamus sejarah, dan temukan padanan untuk kata ‘islam’ dan ‘tarbiyah’. Disana kita hanya akan menemukan, sebuah substansi bahwa kedua kata itu mewakili seluruh hal yang berhubungan dengan perubahan, dalam lingkup kecil dia bernama perbaikan kualitas diri, dalam lingkup berikutnya dia mulai memberikan kemampuan perubahan social, dalam lingkup paling besar dia akan merubah kualitas kehidupan, kemanusiaan, moral dan harga diri manusia,.itulah Islam! Tak lebih dan tak kurang.

Jika dirimu tak termasuk pribadi yang dinamis itu, tentu kau tak terkategori barisan ‘islam’ yang unik itu. Jika tak ada perubahan dan keterusberubahan atas kualitas iman mu, yang salah adalah dirimu. Silahkan periksa dalam hatimu, pastikan kau menemukan karat jiwa. Riya, sum’ah, atau karat yang sudah akut ‘munafik’. Berdalih dengan kata ‘proses’ tak dibenarkan, karena perhitungan Allah tak membiarkan kedustaan hadir. Mungkin bisa benar didunia, tapi diakhirat hukuman neraka itu tak bisa diundur, tak ada grasi, abolisi. Hanya ada saqar dan lain bagi para koruptor. Koruptor uang, koruptor harga diri dan koruptor idealisme.

Cucu itu sudah menjadi nenek, anak pun sudah menjadi ayah yang punya istri dan punya anak yang segera menjadi ayah ibu. Waktu pada kesadaran manapun adalah tak terasa, hingga kita sadar orang-orang dan kita sendiri sudah masuk kubur yang dua atau tiga tahun kemudian dipugar pemerintah, karena tak mampu bayar sewa kuburan. Nisan kita dirobohkan untuk kemudian diganti nisan lain. Untuk seterusnya nama kita hilang bersama onggokan tulang yang dihancurkan, entah oleh bulldozer atau ulat dalam kubur. Tragisnya, tak ada yang mengenal kita.Karena seperti itulah adanya. Tak ada yang mengingat kita karena kita dulu tak pernah mengingat kesedihan orang lain. Orang yang hidup untuk dirinya sendiri, akan mati sendiri, sangat sendiri tak ada yang menangisi. Sangat betul jika dikatakan waktu adalah pedang, karena bagi pecundang dia akan bunuh diri dengan waktu, atau tepatnya waktu –pedang itu- membunuh karena kekesalan atas sifat pengecut tuannya.

Sekarang, detik ini apa yang kau tunggu. Menunggu sambaran petir hidayah sehingga kau hapal Al-Qur’an dan hadits. Menunggu istrimu –yang masih kau nanti- membangunkan mu setiap hari untuk shalat malam. Semuanya juga tak lebih baik dari mengeluhkan tentang ‘ketidaknikmatan’ menjadi ikhwah. Dengan gaya bahasa yang begitu kuyu sambil menapaki jalan madesu (masa depan suram) seorang demonstran. atau masih juga berharap mendapat seorang murabbi/yah handal yang mampu merubah realitas persepsi dan mendorongmu untuk menjadi mirip seperti dia. Sampai kenyataan yang lebih mirip angan itu, kau pancang dalam jiwa. Sampai saat itu sesungguhnya kau sudah mati sebelum ajal dari langit. Apakah tak lebih baik kau memulai seluruhnya. Pandangilah langit, barangkali disana Dia akan menjawab, tungguilah kereta sejarah, siapa tahu dia mengajakmu untuk melukis indahnya khilafah kembali. Tapi jangan mimpi dia menjemputmu, sebelum kau membawa tiketnya. Tiketnya mudah, memenuhi muwashofat kader tarbiyah. Tak lebih dan tak kurang. Lakukan sekarang sebelum sekelompok makhluk mantan aktivis menyodorkan beberapa lembar buku berjudul risalah futur, sambil berharap kita menjadi bagian mereka.

Tidak ada komentar: